Oleh: Muh Imran Tahir
Siapa yang tidak mengenal sulawesi? Pulau yang unik di peta Indonesia karena mirip dengan huruf K. Sejak dulu orang Sulawesi terkenal dengan keberaniannya atau ‘warani’ mengarungi samudera raya menggunakan perahu pinisi. Keberanian itu selanjutnya digambarkan dalam semboyan “Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai”. Selain berani, juga terkenal dengan kejujuran atau sifat ‘malempu’ dalam memegang prinsip serta kokoh dalam mempertahankan harga diri di atas kebenaran. Kedua falsafah tersebut seolah menyatu dalam kultur budaya sulawesi yang beragam bahasa, suku dan etnis.
Setidaknya ada 31 suku yang tersebar di pulau Sulawesi diantaranya; Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Tolaki, Minahasa, Kaili dan yang lainnya. Pulau Sulawesi terletak di bagian tengah Indonesia dengan luas 180.681 km² atau setara 4 kali luas negara belanda. Tidak mengherankan jika Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia dan terbesar ke-4 di Indonesia. Jumlah penduduknya mencapai 20,34 juta jiwa yang tersebar di enam provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan terakhir Propinsi Gorontalo.
Sejarah Sulawesi dapat kita tarik ke belakang tepatnya pada abad ke 15 di mana dulu Sulawesi masih disebut Celebes. Celebes pada awalnya adalah nama yang diberikan para pelaut Portugis. Menurut buku The Concise History of World Place-Names (Oxford University Press, 2018) yang disusun John Everett-Heath, nama Celebes diduga muncul sebagai pelafalan Sulawesi menurut lidah Portugis. Kata Celebes banyak digunakan dalam peta dan catatan pelaut sejak abad ke-15. Pemerintah Hindia-Belanda juga menggunakan nama tersebut, sebutlah organisasi pemuda di tanah air seperti Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes.
Celebes kemudian menjadi Sulawesi saat Jepang berkuasa dari tahun 1942 hingga 1945. Nama Sulawesi berasal dari kata sula yang artinya pulau dan wesi atau bessi yang berarti besi. Menurut orang-orang tua dulu (ada tomatoa), awalnya tidak ada pulau sulawesi, hanya laut di antara dua pulau. Namun kemudian dua pulau tersebut bertabrakan hingga membentuk pulau sulawesi seperti saat ini. Dalam perspektif tektonik dan ilmu geologi, ada Tomatoa yang dianggap sebagai tabrakan tentu tidaklah keliru, sebab dinamika pulau Sulawesi saat ini merupakan hasil dari proses geologi yang sangat kompleks.
Dinamika tersebut menyebabkan bentang alam sulawesi terdiri dari pegunungan, aliran sungai, dan juga kaya dengan bahan tambang seperti logam, emas dan bahan galian lainnya. Salah satu logam tersebut yaitu biji besi yang bisa ditemukan di daerah Bontocani, Kabupaten Bone, Danau Matano Kabupaten Luwu Timur, Lengkabana dan Pegunungan Verbeek yang berada di Sulawesi Tengah. Fakta ini semakin menguat dengan berkembangnya senjata tradisional yang disebut badik atau kawali yang bahan dasarnya dari tempaan besi dan baja yang mengandung meteorit. Konon sumbernya berasal dari besi Luwu di sekitar Danau Matano, Kabupaten Luwu Timur.
Wilayah Sulawesi Selatan memang sejak zaman dahulu terkenal dengan besi Luwu yang berkualitas tinggi. Sejarah juga menyebutkan bahwa di zaman kerajaan Majapahit, kerajaan Luwu telah menjalin kerjasama dalam hal impor besi ke Pulau Jawa untuk menopang produksi senjata pusaka legendaris seperti Keris Majapahit yang menjadi kebanggaan penduduk Jawa. Saat ini penambangan logam berupa biji nikel diakusisi oleh PT Vale Indonesia. PT Vale (yang saat itu bernama PT International Nickel Indonesia) didirikan pada bulan Juli 1968. Kemudian di tahun tersebut PT Vale dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya (KK) yang merupakan lisensi dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi, penambangan dan pengolahan bijih nikel.
Nikel termasuk logam transisi dan memiliki sifat keras, tergolong dalam grup logam besi-kobalt yang dapat menghasilkan paduan yang sangat berharga. Manfaat nikel digunakan sebagai bahan baku otomotif seperti mesin kendaraan, stir mobil, velg ban, body kendaraan dan komponen pendukung lainnya. Campuran nikel membuat permukaan komponen otomotif lebih mengkilap, tahan karat dan kuat. Nikel juga digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan baterai, seperti di laptop, gadget yang kita gunakan sehari-hari.
Konsekuensi dari dinamika tektonik pulau Sulawesi yang kompleks dan dinamis, ternyata tidak hanya menjadikan Sulawesi sebagai penghasil tambang seperti logam dengan kualitas terbaik di Indonesia. Namun demikian ada potensi bencana gempabumi dan tsunami yang harus diwaspadai. Peningkatan aktivitas kegempaan di Sulawesi disebabkan oleh pertemuan empat lempeng tektonik yaitu Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan lempeng Filipina. Pertemuan lempeng yang bersifat konvergen dengan empat buah lengan yang dikenal dengan sebutan Lengan Selatan, Lengan Utara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara. Menurut Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi 2017 yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR, setidaknya terdapat 46 segmen sesar yang merupakan sumber gempabumi yang harus diwaspadai di pulau Sulawesi.
Wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo juga terdapat sumber gempabumi berupa subduksi di utara pulau Sulawesi yang berpotensi menimbulkan gempabumi besar dan membangkitkan gelombang tsunami. Wilayah Sulawesi tengah terdapat sesar palu koro yang merupakan salah satu teraktif di dunia. Sesar-sesar lainnya meliputi sesar Poso, Batui, Balantak dan masih banyak lagi yang belum terpetakan dengan baik. Untuk wilayah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya terdapat sesar kendari, Lawanopo dan Buton. Wilayah Sulawesi Barat terdapat sesar Makassar strait, Mamuju dan Saddang. Wilayah Sulawesi Selatan terdapat sesar Walanae, Sorowako, Matano dan yang lainnya.
Beberapa contoh kejadian gempabumi yang pernah terjadi dan menimbulkan kerusakan di wilayah Sulawesi diantaranya gempabumi Palu 1938 dan 2018 (M7.9 dan M.7.5), Tinambung 1969 (M6.1), Pinrang 1997 (M6.0), Kendari 2000 (M6.0), Manado 2007 (M6.5), Sorowako 2011(M6.2), Mamuju 2021 (M6.2). Gempabumi Tinambung 1969 membangkitkan geolombang tsunami di perairan majene setinggi 4 meter dengan jumlah korban jiwa 65 orang. Gempabumi Palu 2018 di sulawesi tengah menelan kerugian Rp18.48 trilyun dengan jumlah korban jiwa sebanyak 4340 orang. Gempabumi Palu juga menyebabkan tsunami dahsyat di teluk palu dengan ketinggian 11,3 meter serta fenomena likuifaksi di sejumlah tempat di wilayah Sulawesi Tengah.
Tingginya aktivitas seismik di pulau Sulawesi menjadi alarm bagi pemerintah daerah khususnya, dan masyarakat pada umumnya untuk senantiasa meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempabumi dan potensi gelombang tsunami.
Edukasi, sosialisasi dan simulasi bencana secara berkelanjutan adalah bentuk upaya yang konkrit dalam mendukung kesiapsigaan masyarakat terkait mitigasi bencana gempabumi. Di samping itu, pemerintah daerah khususnya di daerah rawan bencana seperti di Palu, Mamuju, Manado, Luwu Timur, Kendari dan yang lainnya sudah seharusnya mendesain bangunan tahan gempabumi dan atau setidaknya mendirikan bangunan yang ramah gempabumi. Upaya mitigasi bencana gempabumi dan tsunami disadari bukanlah perkara mudah untuk diwujudkan dan memerlukan waktu yang tidak singkat.
Namun demikian, dengan berkomitmen untuk memulainya dari sekarang maka upaya mitigasi tersebut perlahan akan membentuk karakter masyarakat kita untuk tangguh dan dapat hidup ramah berdampingan dengan bencana gempabumi dan tsunami. Bencana alam adalah sunatullah yang sudah menjadi ketetapan oleh Sang Pencipta. Sebagaimana anugerah kekayaan alam yang kita syukuri, maka bencana alam yang terjadi juga harus disikapi dengan bijak dengan bersabar serta terus belajar agar jumlah korban jiwa dapat diminimalisir.
(Penulis adalah Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG Wikayah IV Makassar)
Follow Us
Copyright©2021 Makassartoday.com, All right reserved
Copyright©2021 Makassartoday.com, All right reserved