Hutan
Sejak beberapa minggu terakhir, Samsur D (51) tahun tidak lagi tidur di rumahnya. Ia harus berjaga-jaga di kebun karet tetangganya di Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan Riau. Kasur di rumahnya yang berjarak tiga kilometer tak lagi dirasakan empuk. Ia harus melupakan kenyamanan dan kehangatan itu. Sebab, “kehangatan” yang lain justru sedang mengintai sumber kehidupan keluarganya, kebun seluas beberapa hektar.
Dua minggu terakhir, Samsur D memilih tidur di atas rerumputan di antara pohon karet berusia dua tahun di atas gambut yang tidak terbakar, lebih tepatnya belum terbakar. Bukan istri yang menemaninya tetapi sebilah parang, alat penyemprot hama yang berisi air dan sebuah kaleng cat yang berfungsi sebagai timba.
“Ini sudah minggu kedua. Api masih menyala sedangkan kami hanya punya ini (parang) untuk menebas gambut yang masih terbakar lalu disiram air agar api tak menyeberang ke lahan kami. Kalau api dah sampai ke seberang, habislah semua,” kata Samsur kepada Mongabay Indonesia Sabtu (31/8/2013).
Saban malam ia harus mematikan api yang terus membara di dalam gambut di perkebunan itu agar tidak menjalar ke kebun miliknya di seberang kanal selebar satu meter. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang telah terjadi sejak akhir Juni lalu di desanya hingga akhir minggu kemarin masih membara dan membakar apa saja yang tumbuh di atasnya.
“Kalau kebun yang terbakar ini sudah ditinggalkan pemiliknya. Kini pemilik kebun di sebelah yang belum terbakar inilah yang menunggui, menjaga api agar tak nyebrang,” ujarnya.
Jika Samsur masih berhasil membendung api, lain halnya dengan Tukimin (55) yang kebun sawitnya seluas 3 hektar telah hangus terbakar dan hanya menyisakan dua hektar yang kini terancam terbakar. Sawit itu sudah mulai menghasilkan.
Sejak satu pekan lalu, Tukimin terus membendung api berharap sisa kebun yang menjadi tumpuan ekonominya tidak ikut dimakan api. Tidak seperti Samsur yang tidur di kebun, Tukimin memilih hanya memantau api saja namun ia melakukannya setiap pagi hingga siang dan jam tujuh sampai jam 10 malam.
“Kalau ditanya kerugian, ya sampai ratusan juta rupiahlah, karena usianya (sawit) dah enam tahun. Kami juga menanam karet,” ujar Tukimin. Siang saat Mongabay menemuinya di ladang, kakek bercucu sepuluh itu ditemani sang istri, Ngatiah yang sedang memikul galon berisi air minum dan membawa sejumlah perbekalan untuk makan.
Sejak akhir Juni lalu, kebakaran lahan itu terus merambat hingga ke kebun dan ladang masyarakat yang kini setidaknya telah membakar puluhan hektar. Sejumlah warga mengatakan sumber api pertama kali terlihat di blok E19 di konsesi perusahaan sawit milik PT MAL (Mekar Alam Lestari), anak perusahaan Duta Palma pada akhir Juni lalu.
“(waktu itu) Kami jaga tiga hari tiga malam di lokasi. Api cepat menyebar. Jam 11 siang nampak apinya, sore dah sampai ke pinggir jalan. Awalnya memang di kebun perusahaan itu. Dari situlah lalu api sampai ke sini,” kata Rais (33) pemilih kebun yang lokasinya berbatasan dengan lahan perusahaan.
Seorang pekerja perusahaan yang diwawancarai sejumlah wartawan termasuk Mongabay di lokasi kebun PT MAL pada Sabtu siang kemarin membenarkan adanya kebakaran pada Juni lalu di kebun blok E19. Berbeda dengan peralatan yang dipakai masyarakat untuk memadamkan api, perusahaan mengerahkan eskavator untuk memperlebar kanal di batas kebun masyarakat dengan perusahaan dan pompa air yang memadai.
Tidak adanya curah hujan di daerah tersebut membuat gambut dan hutan semakin rentan terbakar. Terlepas dari siapa yang menyulut api pertama kali, dari pantauan Mongabay pada Sabtu itu di sepanjang jalan lintas Bunut-Bono setidaknya terdapat 6 titik api besar. Di antara yang pailng besar terdapat di areal PT Arara Abadi di Desa Balam Merah, Kecamatan Bunut yang telah terjadi sejak beberapa hari terakhir.
“Kami tak tau siapa lawan kami (yang membakar). Ada api di sana, kami pergi ke sana, eh yang di sini terbakar. Padahal kami sudah tempatkan petugas di setiap blok untuk memantau api. Hari ini sudah tiga tanki (air) dikerahkan,” kata Santoso humas Arara Abadi saat mengawasi proses pemadaman api di kebun akasia perusahaannya, Sabtu sore kemarin.
Menurut data Eyes on the Forest (EoF), lembaga non pemerintah yang berbasis di Riau setidaknya terdapat 4,134 titik api di Sumatra antara tanggal 1 hingga 27 Agustus lalu dan 67% di antaranya berada di Riau dengan jumlahnya yang mencapai 2,771 titik api.
Analisa EoF yang membandingkan data titik api selama Agustus dengan Juni lalu terungkap sekitar 65% atau 1.806 titik api di bulan Agustus terpantau di lahan bergambut yang memicu pelepasan secara besar-besaran emisi gas rumah kaca. Sekitar 28% atau 775 titik api terpantau di konsesi HTI milik Sinar Mas dan APRIL sementara sisanya terlihat di hutan alam dan perkebunan sawit skala besar. Sementara itu perluasan perkebunan sawit di kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo menyumbang 20% atau 540 titik api.
Kembali maraknya titik api di Riau telah menyebabkan aktifitas masyarakat terganggu. Beberapa sekolah di Pelalawan dan Pekanbaru telah meliburkan siswanya seiring dengan memburuknya kadar polusi udara akibat asap kebakaran hutan dan lahan.
Meski dua hari terakhir hujan turun di sejumlah daerah, termasuk di Desa Kuala Panduk, namun gambut yang berasap yang berarti masih terdapat bara api di dalamnya tetap terlihat. Samsur, warga Kuala Panduk yang kini masih berjuang membendung alur api di dalam gambut hanya terlihat pasrah memandang kepulan asap di sekitar kebunnya.
“Entah sampai kapan kami di sini. Yang kami tau katanya ada heli yang membantu pemadaman, tapi di sini tak pernah kami lihat melintas di daerah sini,” ujarnya.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id