KALANGAN pengusaha batubara di Indonesia diharapkan tak perlu kuatir. Anjloknya harga batubara di pasar ICE Newcastle (Australia) pada Rabu, 6 Oktober 2021, hanya sementara.
Pada Rabu lalu itu, anjloknya harga batubara di ICE Newcastle, yang sudah menjadi barometer batu hitam ini, mencapai 236 dolar AS per ton alias anjlok 15,71 persen, dibandingkan hari sebelumnya, sebagaimana dilansir Suara Pemred dari CNBC, Kamis, 7 October 2021.
Walaupun begitu, tak perlu kuatir karena ini hanya sementara. Sebab, harga batu bara sudah naik selama 10 hari beruntun bernilai total 57,04 persen.
Dalam sepekan terakhir hingga Kamis lalu, harganya masih membukukan kenaikan 37,95 persen secara point-to-point, dan kenaikannya selama sebulan mencapai 32,32 persen.
Masa depan batubara masih panjang, dan tentu saja menggembirakan bagi pengusaha di Kalimantan, selama tentu saja kalangan ini komit mempekerjakan warga setempat atau sesama anak bangsa, alias bukan warga negara asing.
Percepatan penggunaan anergi hujau sedang diupayakan oleh seluruh negara.
Tapi, pencapaian energi terbarukan ini membutuhkan waktu yang diprediksi baru akan terwujud berdekade-dekade ke depan, bahkan bisa mencapai minimal setengah abad lagi.
Itu sebabnya, sumber energi dari pertambangan termasuk dari batubara masih sangat dibutuhkan apalagi untuk pembangkit-pembangkit listrik raksasa.
Penggunaan energi dari pertambangan diyakini mempercepat efek rumah kaca yang dampaknya mengerikan bagi umat manusia.
Namun permasalahannya, energi apa yang bisa dipertahankan selama masa transisi itu selain dari pertambangan termasuk batubara?
Dilansir dari The Conversation, Jumat 13 Agustus 2021, laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah mengisyaratkan konsekuensi mengerikan dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Beberapa hari kemudian, muncul peringatan keras dari Sekretaris Jenderal PBB António Guterres serta para ilmuwan di balik laporan tersebut terkait kebutuhan mendesak untuk sangat mengurangi batubara dalam bauran energi.
Namun, menjelang publikasi tersebut, faktanya adalah batubara masih dibutuhkan, termasuk di negara-egara yang memperjuangkan energi terbarukan.
Pada Juni 2021, terjadi kenaikan harga batu bara secarastabil, yang melewati 100 dolar AS (£72) per metrik ton, kemudian naim lagi sehingga melewati 130 dolar AS pada medio Juli 2021: Menjadi lebih 170 dolar AS pada hari itu, alias naik hampir empat kali lipat dari harga pada September 2021.
Kenaikan harga batubara dapat dikaitkan dengan kebangkitan permintaan setelah pandemi Covid-19 terutama di pasar Asia yang sedang berkembang, seperti China dan India, tetapi juga di Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan AS.
Permintaan listrik, yang masih terkait erat dengan batu bara, diperkirakan akan meningkat sebesar lima persen pada 2021 ini, dan empat persen lagi pada 2022.
Di sisi pasokan, ada juga beberapa masalah, seperti China yang tidak dapat memperoleh batubara dari Australia, karena larangan impor, dan gangguan yang lebih kecil pada output ekspor produsen utama dari Indonesia, Afrika Selatan dan Rusia, tetapi tidak bermasalah untuk pasokan jangka panjang.
Hal ini karena negara-negara produsen utama batubara belum membatasi produksi atau kapasitas ekspornya. Karena itu, harga batubara seharusnya tidak tetap tinggi untuk waktu yang lama.
Harga Batubara per Metrik Ton dalam Dolar AS
Kebangkitan permintaan energi dunia berarti pula pemulihan ekonomi dunia dari pandemi, tetapi lonjakan harga batu bara nota bene adalah pengingat terkait bagaimana energi masih bergantung dari bahan bakar fosil.
Konsumsi energi global mencapai 556 exajoule pada 2020, minyak, batu bara dan gas alam -masing-masing- menyumbang 31 persen (minyak), 27 persen (batubara), dan 25 persen gas alam) dari total kebutuhan energi global. Itu menambahkan hingga lebih dari empat perlima dari total.
Batubara, Sumber Energi yang ‘Keras Kepala‘
Batubara memiliki dua kegunaan utama, yakni sebagai pembangkit listrik, dan manufaktur baja. Sebagai pembangkit listrik, batubara ‘bertanggung jawab’ atas sekitar dua pertiga dari apa yang dikonsumsi untuk kebutuhan energi dunia.
Semakin cepat manusia menghilangkan batubara dari pembangkit listrik, maka semakin tinggi kemungkinan pencapaian target Perjanjian Paris, suatu obsesi dunia untuk menyelamatkan bumi yang diprediksi akan tercapai secara global hingga setengah abad ke depan.
Namun, batu bara tampaknya tangguh untuk tidak disebut ‘keras kepala’ terkait eliminasinya. Sejak 2010, persentase pangsa gas alam dalam total pembangkit listrik global tetap sama pada 23 persen, meskipun konsumsi listrik dunia telah meningkat sekitar seperempatnya.
Persentase pangsa energi terbarukan, tidak termasuk pembangkit listrik tenaga air, telah meningkat tiga kali lipat, dan pembangkitan aktualnya dalam terawatt hour (TWh) telah meningkat empat kali lipat.
Sementara batubara yang telah kehilangan pangsanya, karena turun menjadi 35 persen dari 40 persen, tetapo posisinya masih jauh di depan gas alam sebagai pesaing terdekatnya, karena jumlah batubara yang telah dibakar untuk listrik telah meningkat secara keseluruhan.
Campuran Listrik Global 2020 vs 2010
Kenyataannya, keberadaanbatu bara tetap masuk akal secara bisnis. Pembangkit listrik tenaga batu bara telah lama memiliki andil cukup besar untuk membuat biaya pembangunan menjadi layak secara ekonomis, dengan pembangkit terbesar memiliki kapasitas 5GW.
Bahan bakarnya relatif murah hampir sepanjang waktu, dan konsumen terbesar, yakni China, AS, dan India, semuanya menikmati pasokan yang aman secara politik.
Pembangkit berbahan bakar batu bara bersifat stabil, dapat diprediksi, sehingga cocok untuk memastikan tingkat minimum listrik yang terus dibutuhkan suatu negara , yang dikenal sebagai beban dasar.
Ini menjamin bahwa proporsi bahan bakar yang diubah menjadi listrik, yang dikenal sebagai utilisasi kapasitas, biasanya lebih dari 70 persen.
Hal ini dipengaruhi oleh dorongan terus-menerus untuk mengganti batu bara dengan energi terbarukan dan gas alam, yang mencapai 53 persen pada 2019, tetapi mengingat tingkat permintaan saat ini, diperkirakan akan lebih tinggi pada 2021.
Fakta ini bisa diterjemahkan sebagai aliran pendapatan tetap dari penjualan listrik berbahan bakar batu bara ke jaringan listrik di banyak negara, yang membuat sumber listrik ini menarik bagi investor.
China dan India: Pengguna Terbesar
Pertumbuhan ekonomi Cina yang spektakuler dalam 20 tahun terakhir, dan perluasan elektrifikasi ekonomi India yang cukup besar, sebagian besar didasarkan pada batu bara.
Berkat batubara, dunia telah menggandakannya sejak tahun 2000 dengan kapasitas yang menjadi lebih dari 2.000 GW.
Pada 2020, batu bara menghasilkan 63 persen listrik di China, dan 72 persen di India. Pada tahun yang sama, China memproduksi setengah dari batubara dunia, hampir empat miliar ton, sementara India berada di urutan kedua dengan sekitar 750 juta ton.
Kedua negara menyumbang dua pertiga dari konsumsi global, dan juga merupakan dua importir terbesar. Di tempat lain, batu bara berada di belakang.
Di AS, pembangkit listrik terbesar kedua setelah China, batu bara telah ‘mengalah’ demi gas alam sehingga membakar dua persen dari total energi listrik AS pada 2020 dibandingkan 43 persen pada 2010, sementara gas alam telah meningkat pada periode yang sama dari 24 persen menjadi 40 persen.
Di Jerman, pembangkitan batu bara telah disamai oleh angin.
Sedangkan di Inggris, batu bara hanya digunakan sebagai cadangan.
Demikian pula di Jepang dan Korea Selatan yang telah memperluas gas alam, nuklir, dan energi terbarukan mereka dalam upaya mengurangi dampak karbon dari pembangkit listrik mereka.
Bahkan, China telah bergabung dengan upaya tersebut lewat penambahan kapasitas tenaga surya dan angin baru.
Faktanya, Sulit Tinggalkan Batubara
Meskipun demikian, jelas bahwa tetap sulit dari perspektif bisnis untuk menghilangkan batu bara di seluruh dunia: Barat pada dasarnya mengekspor masalah tersebut ke China, karena begitu banyak manufaktur berat dunia telah pindah ke sana.
Pembangkit listrik tenaga batu bara adalah investasi jangka panjang, kerap 40- 50 tahun. Sebuah pabrik yang dibangun pada 2000, kini hanya setengah jalan hidupnya. Jadi mematikan pabrik itu sekarang ini, betapapun diinginkannya, hanya akan menghancurkan perekonomian para investor.
Dilansir dari Reuters, Selasa, 19 Oktober 2021, pasar batubara berjangka di China turun delapan persen ke batas bawahnya dalam perdagangan malam pada Selasa malam.
Hal ini karena otoritas terkait menyatakan sedang mencari cara untuk campur tangan dan membawa rekor harga tinggi bahan bakar kembali ke ‘kisaran yang wajar’.
Kontrak batubara termal yang paling banyak diperdagangkan di Zhengzhou Commodity Exchange, untuk pengiriman pada Januari 2021, turun menjadi 1.755,40 yuan (275 dolar AS) per ton, setelah menyentuh puncak sepanjang masa 1.982 yuan pada sesi siang pada Selasa menyusul meluasnya krisis listrik dan permulaan cuaca dingin.
Kekurangan batu bara, bahan bakar utama China untuk pembangkit listrik, telah menyebabkan terjadi penjatahan listrik untuk industri di banyak wilayah China sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi di negara dengan tingkat perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Penurunan delapan perden dalam kontrak berjangka batu bara di China merupakan penurunan tertajam sejak Agustus 2021, meskipun harga masih naik sekitar 260 persen pada 2021. Di Dalian Commodity Exchange, harga bahan baku pembuatan baja kokas dan batu bara kokas turun sekitar sembilan persen.
Aksi jual terjadi setelah Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) menyatakan bahwa intervensi Pemerintah China dalam harga batu bara teah dibahas dalam pertemuan produsen batu bara utama, asosiasi industri dan Dewan Listrik China pada Selasa.
“Kenaikan harga saat ini benar-benar menyimpang dari dasar-dasar penawaran dan permintaan,” kata NDRC. “Musim pemanasan semakin dekat, dan harga masih menunjukkan tren kenaikan irasional lebih lanjut.”
Disebutkan, Undang-undang China mengizinkan Dewan Negara, Kabinet China, dan pemerintah daerah, untuk membatasi tingkat keuntungan dan menetapkan batas harga ketika harga barang atau jasa penting naik tajam.
Pihak NDRC bersumpah untuk menindak setiap penyimpangan dan menjaga ketertiban pasar.
Kekurangan batubara di China disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk lonjakan permintaan pasca-pandemi, rendahnya stok, pasokan yang dilanda cuaca ekstrem, dan gangguan terkait transportasi.
Dalam pernyataan terpisah, NDRC mengaku akan memastikan tambang batu bara beroperasi pada kapasitas penuh, dan bertujuan mencapai produksi setidaknya 12 juta ton per hari.
Ini menempatkan tingkat produksi di angka tertinggi pada 2021, yang lebih dari 11,6 juta ton pada 18 Oktober 2021, naik lebih dari 1,2 juta ton dari akhir September 2021. setelah upaya habis-habisan pemerintah untuk meningkatkan pasokan, termasuk persetujuan untuk tambang batu bara baru.
Dalam pernyataan ketiga, NDRC menegaskan bahwa bursa Zhengzhou harus memperhatikan fluktuasi harga batu bara dan meningkatkan pengawasan harga, sambil menindak spekulasi , sesuatu yang berulang kali disalahkan oleh otoritas China atas harga komoditas yang tinggi pada 2021.
Bursa Zhengzhou mengkaim bahwa mengatak mulai sesi pada Rabu, 20 Oktober 2021 malam, pihaknya akan menaikkan batas perdagangan pada kontrak batubara termal, menjadi 10 persen, dan memberlakukan batasan di beberapa posisi perdagangan di kalangan anggota.
Permintaan dari Indonesia Meningkat
Dilansir dari CNBC, Rabu, 56 Oktober 2021, krisis energi di beberapa negara dunia akibat kelangkaan pasokan energi telah memicu naiknya harga energi termasuk gas, minyak, dan batu bara.
Kejadian itu memicu padamnya listrik, serta sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah negara termasuk di China dan Eropa.
Permintaan gas alam pun melonjak setelah negara-negara di seluruh dunia, yang sebelumnya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, tak mampu menyediakan energi yang cukup dari upaya mereka fokus ke energi terbarukan di tengah tingginya permintaan (demand).
Imbasnya, terjadi kekurangan pasokan, sehingga batu bara dan energi fosil lainnya kembali diburu, harga pun melesat.
Namun, Dimas W Pratama, analis NH Korindo Sekuritas, melihat dalam jangka panjang bahwa sentimen tren kebutuhan akan energi hijau (green energy) dalam hal energi terbarukan akan menjadi batu sandungan bagi kenaikan harga batu bara dan jenis energi sama lainnya dalam waktu panjang.
“Terkait rencana green energy ke depannya, pasti akan mengalihkan permintaan dari batu bara ke energi terbarukan. Tapi kalau kita lihat, proyeknya masih lama, karena infrastruktur harus dibangun terlebih dahulu sebelum terjadinya peralihan masa,” katanya dalam program Investime CNBC Indonesia, Selasa, 6 Oktober 2021.
Menurut Dimas, perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga dipastikan akan menahan kembali, sekaligus menurunkan permintaan akan green energy ini.
Selain itu, satu sentimen yang bisa menurunkan harga batu bara yakni kelebihan pasokan. “Pasokan dari produsen sendiri memang gencar untuk melakukan ekspor, kalau terjadi oversupply nantinya bisa menurunkan harga baru bara,” katanya.
Sebelumnya, Uni Eropa telah menargetkan untuk menjadi netral karbon pada 2050, dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 55 persen pada 2030, dibandingkan dengan tingkat tahun 2005.
Namun, rendahnya produksi listrik dari pembangkit listrik dengan tenaga turbin angin di Eropa memperburuk krisis energi. Cuaca yang tenang menjadi alasan mengapa keluaran turbin angin menjadi rendah.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merilis data jumlah produksi batubara sepanjang kuartal I 2021.
Disebutkan, total batubara yang dikeruk dari perut bumi di seluruh Indonesia mencapai 144 juta ton sepanjang Januari-Maret 2021.
Pandemi Covid-19 tak membuat produksi dan konsumsi batubara melambat.
Kenaikan produksi tak lepas dari manisnya harga komoditas emas hitam tersebut sejak beberapa waktu terakhir, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Dilansir dari Kontan, akhir pekan lalu, harga batubara ICE Newcastle kontrak pada Juli 2021 menembus 131 dollar AS per ton. Angka itu sudah melonjak 63,75 persen dibandingkan posisi pada akhir 2020.
Harga tersebut juga merupakan level tertinggi harga batubara sejak Januari 2011. Tren positif pasar batubara diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun ini.
Posisi teratas saat ini ditempati oleh perusahaan tambang batubara milik Grup Bakrie, PT Kaltim Prima Coal (KPC). Keluarga konglomerat ini juga menguasai saham di perusahaan raksasa batubara lainnya, PT Arutmin Indonesia.
Baik KPC maupun Arutmin, banyak mengeruk batubara di Pulau Kalimantan.
Sementara peringkat kedua adalah PT Adaro Indonesia, yang kepemilikan sahamnya terafiliasi dengan Garibaldi Thohir, kakak Menteri BUMN Erick Thohir.
Adapun untuk sepanjang kuartal I 2021, terdapat 10 perusahaan batubara di Indonesia dengan produksi terbesar. Ke-20 perusahaan ini: PT Kaltim Prima Coal; PT Adaro Indonesia; PT Kideco Jaya Agung; PT Borneo Indobara; PT Berau Coal; PT Bara Tabang; PT Arutmin Indonesia; PT Bukit Asam; PT Multi Harapan Utama; PT Ganda Alam Makmur.
Menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko, capaian ini setara dengan 23 persen dari target produksi yang dicanangkan tahun ini.
“Realisasi produksi batubara Triwulan I – 2021 sebesar 144 juta ton atau 23 persen dari target produksi 625 juta ton,” ujar Sujatmiko.
Sebagai informasi, semula produksi batubara ditargetkan sebesar 550 juta ton. Namun, pemerintah melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 66.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri Tahun 2021 menambah kuota sebesar 75 juta ton.
Indonesia sendiri dikenal dengan negara yang kaya akan sumber daya alam. Mulai dari sumber daya hayati hingga hasil tambang, seperti batu bara.
Dilansir dari situs Badan Pusat Statistik (BPS), pertambangan adalah kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi.
Tambang dapat dilakukan secara mekanis maupun manual pada permukaan bumi, bawah permukaan bumi, dan bawah permukaan laut.
Hasil pertambangan antara lain minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, biji timah, biji nikel, bijih bauksit, bijih tembaga, bijih emas, perak dan bijih mangan.
Salah satu potensi tambang terbesar di Indonesia adalah batu bara. Menurut data terbaru ESDM, cadangan batubara Indonesia masih 38,84 miliar ton dengan rata-rata produksi sebesar 600 juta ton per tahun.
Selain cadangan batubara, bumi pertiwi juga masih memiliki sumber daya batubara sebesar 143,7 miliar ton. Potensi cadangan batubara di Indonesia banyak ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera.
“Batubara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera,” ungkap Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin dalam siaran persnya, 26 Juli 2021, seperti dipublikasikan Kementerian ESDM.
Pulau Kalimantan menyimpan cadangan sebesar 62,1 persen dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yakni 88,31 miliar ton sumber daya, dan 25,84 miliar ton cadangan batubara.
Menurut perhitungan data, realisasi produksi batubara Indonesia pada 2020 berada di angka 558 juta ton. Dari angka tersebut, sebanyak 134 juta ton dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi batubara per tanggal 20 Agustus 2021 sebesar 376,25 juta ton, atau sebesar 60,20 persen. Sementara itu, penjualan batubara mencapai 299,35 juta ton atau sekitar 47,90 persen.
Produksi tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Tercatat pada 2020, produksi batubara mencapai 565,74 juta ton dengan penjualan sebesar 551,52 juta ton, atau sekitar 100,28 persen.
Data Persebaran Batubara di Indonesia
Menurut laporan dalam buku Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Indonesia Tahun 2020 yang diterbitkan Kementerian ESDM, berikut data sumber daya dan cadangan batubara Indonesia tahun 2020.
Berikut datanya: Kalimantan Timur (445); Kalimantan Selatan (224); Kalimantan Tengah (249);
Kalimantan Barat (11); Kalimantan Utara (51); Jambi (148); Sumatera Barat (56);
Sumatera Selatan (195); Riau (33); Sumatera Utara (4); Aceh (13); Bengkulu (35); Lampung (3); Sulawesi Tengah (3); Sulawesi Selatan (7); Sulawesi Barat (7); Sulawesi Tenggara (1); Papua (8); Papua Barat (9); Maluku Utara (4); Banten (8);
Jawa Tengah (2); Jawa Timur (1).
Angka sebaran wilayah cadangan batubara tersebut, merupakan hasil penjumlahan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Penanaman Modal Asing (PMA), IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), IUP tidak terdaftar, dan penyelidikan Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP).***
Sumber: CNBC, Reuters, The Conversation, Detik, Kontan, berbagai sumber
Pedoman SIber Tentang Kami Ketentuan Layanan Karir Beriklan
Copyright © 2015−2023 Suara Pemred Kalbar All Rights Reserved.