Laut
Laut ternyata makin tidak nyaman dan aman bagi kehidupan satwa didalamnya, terutama bagi satwa laut bertipe makan filter feeder atau makan dengan menyapu makanan di laut. Apa sebabnya?
Ini karena makinbanyak mikroplastik atau serpihan sampah plastik di laut dan sangat mungkin dikonsumsi ikan seperti pari manta atau hiu paus.
Eh, manusia juga tak bisa menghindari makan serpihan kecil plastik ini karena hewan-hewan zooplankton juga bisa terkontaminasi. Rantai makanan menunjukkan zooplankton atau hewan kecil dimakan ikan lebih besar seperti lemuru atau tuna, lalu berakhir di meja makan kita.
Asumsi ini mulai dibuktikan sejumlah peneliti kelautan, mulai dari mengecek jumlah mikroplastik pesisir laut Bali dan NTT sejak akhir tahun lalu. Tepatnya di sekitar perairan jalur migrasi pari manta yakni Nusa Penida dan Taman Nasional Pulau Komodo.
Mereka adalah Elitza Germanov, Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan Neil Loneragan yang tergabung dalam kolaborasi Marine Megafauna Foundation, Universitas Murdoch Australia, dan Universitas Udayana Bali. Sejumlah poster publikasi temuan mikroplastik ini sudah disebarluaskan.
Mereka menemukan mikroplastik ditemukan pada setiap pelaksanaan survei di kedua lokasi selama musim hujan (wet northwest monsoon season). Kategori mikroplastik adalah serpihan plastik di bawah 5 milimeter.
Wilayah penelitian adalah tempat mencari makan bagi pari manta. Satwa yang memakan plankton ini juga kemungkinan memakan banyak potongan plastik.
Rata-rata serpihan plastik yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48 potong per meter kubik dan di Taman Nasional Komodo 1,11 per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi pari manta menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong plastik per jam.
“Dalam satu jam manta menyaring air 90 meter kubik (90 ribu liter). Maka dalam satu jam akan makan plastik 40-90 potong. Itu luar biasa besar keracunan Pari Manta,” ujar I Gede Hendrawan, Phd, salah satu peneliti yang terlibat dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences Universitas Udayana.
Dampak jangka panjang yang diperkirakan adalah reproduksi terganggu dan populasi hewan yang dilindungi ini menurun terus. Selanjutnya membahayakan ekosistem dan berpengaruh pada dua kawasan pesisir yang terkenal karena obyek wisata bawah lautnya itu. Misalnya di Nusa Penida, berenang atau menyelam bersama pari manta, merupakan salah satu wisata yang paling dicari.
Tahun pertama penelitian yang direncanakan selama 3 tahun adalah menjawab asumsi-asumsi tersebut. Pada tahap pertama yang terverifikasi adalah potensi polusi sampah plastik dan serpihannya di lautan.
“Kalau 100 mikro sudah tak bisa dilihat dengan mata,” lanjut Hendrawan. Plastik dipisahkan dengan menggunakan gravitasi dalam saringan air laut, dihitung, diukur dan mengkategorikan dengan menggunakan stereomicroscope. Partikel dibawah 200μm dan serat mikroskopik mendapat pengecualian.
Sampah plastik yang terdapat di laut diukur dari dua lokasi tempat mencari makan pari manta adalah Barat Laut dari Pulau Nusa Penida (Januari-Maret) dan Makassar Reef di Taman Nasional Komodo (April-Mei). Sampel air yang di peroleh berada di dekat lokasi makan Manta alfredi menggunakan plankton net ditarik dengan ukuran 200μm (diameter 15 cm selama 10 menit).
Sebaran mikroplastik diteliti saat musim hujan dan kemarau. Tahun pertama adalah verifikasi keberadaan berdasarkan musim dan rencana selanjutnya mengecek kandungan mikroplastik dan toksin di usus di Pari Manta.
“Sejauh mana pari manta mengandung mikroplastik dengan sampel usus. Bagaimana mendapatkan sampelnya?” tanya Hendrawan. Kemungkinan dari pari manta yang didaratkan nelayan karena masih ada pari terjaring. Setelah itu mengukur dampak mikroplastik pada pari manta.
Jenis plastik yang banyak ditemukan adalah plastik tipis dan pecahan plastik. Rata-rata perhitungan secara visual pada sampah antropogenik di Nusa Penida yaitu 9.215 potong per km persegi dan di Taman Nasional Komodo lebih sedikit yaitu 2.894 potong berdasarkan pengamatan visual.
Perbedaan estimasi sampah plastik dari kedua lokasi penelitian kemungkinan berkaitan dengan variasi jarak dari area padat populasi dan letak topografi. Misalnya kepulauan Nusa Penida lebih padat aktivitas pariwisata dan penduduk dibanding Komodo.
2016-microplastics-megafauna-indo-1
Simpulan peneliti adalah wilayah segitiga karang dunia (coral triangle) memiliki tingkat polusi mikroplastik yang tinggi. Pari manta memiliki umur panjang, termasuk salah satu hewan penyaring yang terancam (dalam daftar merah IUCN) yang mendiami wilayah segitiga karang. Pari manta menyaring air laut dalam jumlah yang besar (∼ 85-90m3h-1) dan mencari makan pada permukaan air di mana ditemukan proposi sampah mikroplastik yang banyak.
Menurut Hendrawan, hiu paus juga terancam karena termasuk satwa bertipe filter feeding, bisa menelan air 300 meter kubik per jam. Tiga kali lipat dari pari manta.
Zooplankton juga menurutnya disinyalir mengandung mikro. Ia mengatakan di Makassar pernah ada penelitian pada usus ikan di pasar-pasar. Para peneliti juga disebut sudah menyampaian hasil temuan ke masyarakat dengan melalui diskusi terfokus. Tapi secara umum warga menolak sampah plastik itu dari mereka.
Penelitian ini melibatkan operator selam di Pulau Komodo, Yayasan FortUna, Idea Wild, Taman Nasional Komodo, Asosiasi Kelautan Lembongan, Ocean Park Conservation Foundation Hongkong dan Yayasan PADI.
Para peneliti memberi catatan sejumlah referensi yang terkait riset ini misalnya Eriksen, et al. “Plastic pollution in the world’s oceans: more than 5 trillion plastic pieces weighing over 250,000 tons afloat at sea.” PloS one9.12 (2014): e111913.2. Jambeck, et al. “Plastic waste inputs from land into the ocean.” Science 347.6223 (2015): 768-771.3.Andrady. “Mikroplastics in the marine environment.” Marine pollution bulletin 62.8 (2011): 1596-1605.4.Paig‐Tran, et al. “The filter pads and filtration mechanisms of the devil rays: variation at macro and microscopic scales.” Journal of morphology 274.9 (2013): 1026-1043.5.Collignon, et al. “Neustonicmicroplastic and zooplankton in the North Western Mediterranean Sea.” Marine Pollution Bulletin 64.4 (2012): 861-864.
Hendrawan sendiri dan timnya di Udayana pernah melakukan riset lain terkait sumber sampah. Lokasinya di Pantai Kuta karena tiap musim angin Barat, pantai kesohor ini penuh sampah organik dan anorganik. Ekskavator akan hilir mudik mengangkut tumpukan sampah yang dikumpulkan petugas dan pengelola pantai.
Hasilnya hampir 80% sampah yang terlihat terdampar dari aktivitas darat. Misalnya bekas bungkus makanan, rokok, puntung rokok, kaleng, dan lainnya. Sisanya sampah dari aktivitas di laut misalnya jaring dan alat penangkap ikan. Artinya aktivitas manusia lah yang berkontribusi besar pada sampah di lautan.
Konsentrasi sampah ini menurutnya makin berbahaya di perairan yang pertukaran massa air lautnya lambat. Ia mencontohkan di Teluk Benoa, mulut teluk makin kecil dampak reklamasi Pulau Serangan.
Akumulasi sampah di teluk bisa plastik atau kandungan fosfat dan logam berat. “Kalau itu terjadi akan sangat berbahaya karena polutan tinggi. Pada manusianya sendiri dan mangrove juga susah hidup,” katanya. Solusinya adalah masalah di hulu yakni perilaku membuang sampah sembarangan dan pengelolaan sampah. Kemudian pembersihan di hilir, namun ia tak setuju dengan jalan reklamasi.
Agaknya membicarakan lingkungan dikaitkan dengan nilai ekonomi dibanding ekosistem lebih mudah memancing perhatian pemerintah. Dalam banyak persoalan terkait rusaknya pesisir di Bali, kegaduhan industri pariwisata lebih cepat menggerakkan aksi. Misalnya saat ide pemberian sanksi rehabilitasi karang satu hektar bagi perusak pada Oktober lalu.
(baca : Inilah Hukuman Berat yang Membuat Jera Perusak Terumbu Karang di Bali. Seperti Apa?)
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id