Laut
Terumbu karang (coral reefs) merupakan salah satu bagian dari ekosistem laut yang sangat penting karena memiliki fungsi ekologi, biologi, dan ekonomi. Diantaranya fungsi ekologisnya adalah menjadi tempat berbiak dan berlindungnya ikan-ikan, bahkan disinyalir dapat meminimalisir krisis iklim.
Sebanyak 76% populasi terumbu karang dunia berada di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle). Wilayah ini meliputi 6 negara yakni Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, Solomon, dan Malaysia.
Hal itu diungkapkan Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman dalam diskusi bertajuk “Sustaining The Coral Triangle Ecosystem Through Blue Economy” yang diselenggarakan YKAN, Rabu (8/6/2022).
Dia bilang, kawasan segitiga terumbu karang dunia penting dilestarikan. Karena dalam beberapa penelitian ditemukan ternyata keanekaragaman hayati dalam wilayah coral triangle ini lebih besar populasinya lebih banyak dibandingkan terumbu karang di luar wilayah itu.
“Salah satu penelitinya adalah Peter Mous dari YKAN melakukan penghitungan. Berapa jumlah karang maupun organisme lain di wilayah Indonesia sampai ke arah pasifik. Dibuat garis dihubungkan yang keanekaragaman hayatinya sama, membentuk segitiga yang meliputi 6 negara: Indonesia, Filiphina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini dan Solomon. Itu keanekaragaman hayatinya tinggi,” paparnya.
baca : Ekosistem Terumbu Karang Terjaga, Masyarakat Merasakan Manfaatnya
Ilman mengungkapkan, dari penelitian itu diketahui bahwa lebih dari 120 juta lebih penduduk yang tinggal di wilayah tersebut bergantung pada keanekaragaman hayati sebagai sumber penghidupan masyarakat tersebut. Wilayah ini juga menjadi sumber perikanan dunia. Artinya, sumber protein masyarakat dunia, bergantung pada wilayah coral triangle tersebut. Hal ini yang menjadi dasar bahwa wilayah coral triangle ini disebut Amazonnya laut.
Berbicara ekonomi biru, jelas Ilman, sebenarnya merupakan versi lain dari ekonomi hijau atau ekonomi berkelanjutan di darat. Di mana istilah ekonomi hijau ini dinisbatkan tanaman di darat yang umumnya berwarna hijau. Sedang ekonomi biru, secara sederhana merupakan ekonomi berkelanjutan di wilayah laut yang identik warna airnya biru. Istilah ekonomi biru sering didengar pada 10-15 tahun terakhir.
“Pada prinsipnya, laut ini adalah sumber ekonomi. Tapi sebenarnya punya keterbatasan. Kalau tidak dikelola dengan baik, maka bisa jadi sumber daya di dalamnya tersebut akan habis. Nah, prinsip-prinsip ekonomi yang memanfaatkan sumber daya di laut, dengan mengedepankan asas berkelanjutan,” katanya.
Tantangan Ekonomi Biru
Pengelolaan wilayah laut memiliki banyak tantangan. Ilman menjelaskan, di antara tantangan pengelolaan wilayah laut berbasis ekonomi biru ini meliputi eksploitasi berlebihan, aktivitas manusia dan limbahnya, perubahan iklim, serta ketidaktepatan pengelolaan.
Menurutnya, eksploitasi berlebihan sering dijumpai di banyak tempat, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Aktivitas eksploitasi berlebihan ini yang menyebabkan sumber perikanan tidak lagi bisa dimanfaatkan karena ikannya habis atau semakin berkurang.
“Aktivitas manusia di darat yang menghasilkan limbah yang sangat besar. Dan limbah tersebut kerap mencemari wilayah laut. Tapi bisa juga, aktivitas di wilayah laut menghasilkan limbah sehingga dapat juga menyebabkan pencemaran,” ujarnya.
baca juga : Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan
Isu perubahan iklim juga menyebabkan berkurang atau rusaknya sumber daya alam di lautan. Tidak hanya ikan, tapi juga biota lain yang turut terdampak dari perubahan iklim ini. Dia contohkan, adanya pemutihan terumbu karang. Padahal, terumbu karang tempat hidup ikan dan fungsi ekologis lainnya.
Ilman menambahkan, bukan tidak mungkin terjadi ketidaktepatan pengelolaan akibat adanya kebijakan yang kurang atau tidak tepat. Akibatnya, pengelolaan yang tidak tepat itu alih-alih mendukung ekonomi birunya, akan tetapi justru memberi dampak kurang baik bahkan buruk bagi keberlangsungan ekosistem lautnya.
“Dari beberapa tantangan ini, menunjukkan bahwa menjalankan ekonomi biru ini tidaklah mudah. Karena banyaknya tantangan yang harus dihadapi dan perlu komitmen bersama. Baik masyarakat maupun pemerintah,” jelasnya.
Dia membeberkan, program yang mungkin bisa dijadikan referensi dan ini juga yang dijalankan YKAN, yaitu pengelolaan terumbu karang di kawasan coral triangle yang menyentuh ekonomi sosial masyarakat. Artinya, konservasi dilakukan melalui program yang berasas ekonomi biru, dan masyarakat juga menerima manfaatnya. Seperti budidaya perikanan dan perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Dia cerita, upaya peningkatan produksi rumput laut di wilayah Indonesia Timur. Saat pertama kali YKAN ke wilayah dimana coba menjalankan program tersebut, ternyata petani rumput laut banyak merusak padang lamun karena dianggap mengganggu pertanian rumput lautnya. Tidak hanya itu, justru mangrove pun jadi korbannya. Karena batangnya ditebang untuk dijadikan penyangga lahan pertanian rumput lautnya.
Padahal, padang lamun ini menjadi tempat berlindung ikan-ikan dan penyerap karbondioksida untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Sedang mangrove tak kalah banyak fungsinya dalam hal keberlangsungan ekosistem di laut.
“Kami datang, coba sosialisasi pertanian rumput laut tanpa merusak padang lamun dan terumbu karang. Setelah 3-4 tahun dijalankan, nyaris 100% petani rumput laut sadar akan pentingnya padang lamun, terumbu karang dan mangrove. Dan produksi rumput laut ternyata meningkat. Contoh lain, edukasi pembatasan penangkapan teripang di salah daerah yang juga pernah kami sambangi dan pariwisata berkelanjutan,” beber Ilman.
baca juga : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan
Peran Masyarakat Kota dan Non Pesisir
Masyarakat kota atau masyarakat desa yang jauh dari pesisir, katanya, dapat mengambil peran untuk mendukung ekonomi biru. Diantara cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi penggunaan plastik dan komitmen tidak membuang sampah ke sungai atau sekitarnya. Karena sampah yang dibuang sembarangan apalagi di area sungai akan bermuara ke laut.
“Hampir semua sampah, khususnya sampah plastik yang dibuang sembarangan di area sungai berakhir di laut. Banyak penelitian sudah mengatakan bahwa ikan di laut terdampak dari plastik yang dibuang ke laut. Dan ikannya mengandung mikroplastik,” katanya.
Menurut Ilman, sebenarnya banyak upaya yang dilakukan pemerintah, swasta dan juga masyarakat di banyak tempat untuk menanggulangi persoalan plastik ini di wilayah pesisir. Seperti bersih-bersih pantai dan upaya peduli lingkungan lainnya.
“Yang perlu dilakukan adalah kita coba perbaiki pola pikir untuk mengupayakan bagaimana produksi plastik ini berkurang. Hal itu dengan cara mengurangi penggunaan atau dengan cara kita tidak bergantng pada plastik dan mencari penggantinya dengan sesuatu yang ramah lingkungan,” katanya.
Nilai ekonomi terumbu karang di salah satu wilayah yang masuk dalam coral triangle ini, pernah dilakukan Heriawan Maulana, dkk tahun 2016 sebagaimana tercatat dalam jurnal ilmu lingkungan Universitas Diponegoro.
baca juga : Harapan Setelah Pandemi COVID-19 adalah Ekonomi Biru
Dalam penelitiannya yang berjudul Kajian Kondisi dan Nilai Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pantai Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dikatakan, persentase tutupan terumbu karang di Pantai Wediombo sebesar 25,29%.
Penelitian itu menyebutkan bahwa menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, kondisi terumbu karang di Pantai Wediombo masuk dalam kategori rusak sedang. Pertumbuhan karang didominasi bentuk terumbu karang coral massive (CM) dan coral encrusting (CE), diduga sebagai bentuk adaptasi terumbu karang terhadap lingkungan dengan gelombang dan arus kuat.
“Berdasarkan pemanfaatan perikanan tangkap, maka nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang di Pantai Wediombo sebesar Rp. 634.553.504, sedangkan nilai manfaat sekarang dari ekosistem terumbu karang di Pantai Wediombo sebesar Rp. 20.304.872,” ungkap penelitian tersebut.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id