Hutan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sebagai tersangka dugaan suap dari tiga perusahaan tambang periode 2010-2012. Perusahaan-perusahaan itu, PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM). Potensi kerugian keuangan negara karena penerbitan izin tambang itu mencapai Rp5,8 triliun dan US$711.000.
Laode M Syarif, Wakil Ketua KPK mengatakan, penanganan perkara ini cukup lama, potensi kerugian negara pun sangat besar. “Kami sudah menyelesaikan penyelidikan dengan mengumpulkan bukti permulaan cukup dan meningkatkan perkara ini jadi penyidikan. Menetapkan Bupati Kotawaringin Timur SH sebagai tersangka,” katanya di Gedung KPK Jakarta, Jumat (1/2/19).
Supian Hadi, katanya, adalah Bupati Kotawaringin Timur, pada periode 2010-2015 diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi dengan meyalahgunakan kewenangan. Supian disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31/1999, sebagaimana diubah jadi UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Dia bilang, setelah dilantik sebagai bupati pada 2010-2015, Supian mengangkat teman-teman dekat juga tim sukses sebagai direktur dan direktur utama FMA. Mereka masing-masing mendapatkan jatah saham 5%. Pada Maret 2011, Supian memberikan surat keputusan izin usaha pertambangan kepada FMA untuik operasi produksi seluas 1.671 hektar.
“Izin diberikan dalam kawasan hutan. Padahal SH sebagai bupati mengetahui FMA belum memiliki beberapa kelengkapan perizinan seperti izin lingkungan, amdal, dan persyaratan lain,” katanya.
Sejak November 2011, kata Laode, FMA telah operasi produksi pertambangan bauksit dan ekspor ke Tiongkok. Pada akhir November 2011, Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, mengirimkan surat kepada Supian agar menghentikan seluruh kegiatan pertambangan FMA. FMA tetap beroperasi sampai 2014.
“Akibat perbuatan SH dalam pemberian izin usaha pertambangan atas nama FMA, itu tidak sesuai ketentuan. Menurut ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian keuangan negara yang dihitung dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan dan kerugian sektor kehutanan.”
Selain FMA, Supian juga memberikan izin eksplorasi kepada BI pada Desember 2010. Izin ini tanpa lelang wilayah izin pertambangan. Pada Februari 2013, Supian juga menerbitkan keputusan peningkatan IUP eksplorasi jadi IUP operasi produksi.
“Izin diberikan meskipun tanpa dilengkapi dokumen amdal. April 2013, SH menerbitkan keputusan izin lingkungan IUP bauksit BI dan keputusan mengenai kelaikan lingkungan rencana pertambangan bauktsit. Jadi sudah beroperasi, dikeluarkan izin lingkungan. Berdasarkan perizinan itu sejak Oktober 2013, BI ekspor bauksit.”
Perusahaan lain yang izin keluar oleh Supian yaitu AIM. Supian menerbitkan IUP eksplorasi AIM pada April 2011 tanpa proses lelang wilayah pertambangan.
“Akibat perbuatan SH, AIM eksplorasi merusak lingkungan dan diduga menimbulkan kerugian lingkungan,” ucap Laode.
Dia mengatakan, potensi kerugian keuangan negara dari penerbitan izin tambang ini mencapai Rp5,8 triliun dan US%711.000. Nilai kerugian ini, katanya, dihitung berdasarkan hasil eksploitasi pertambangan bauksit, juga kerusakan lingkungan dan kehutanan.
Menurut Laode, Supian diduga menerima suap dari ketiga perusahaan tambang melalui pihak ketiga. Jenis suap antara lain satu mobil Toyota Land Cruiser Rp710 juta, satu mobil Hummer H3 Rp1,35 miliar dan uang Rp500 juta.
“Dengan penyelidikan ini, bertambah lagi daftar kepala daerah yang dijerat kasus korupsi. Baik dalam dugaan penerimaan suap, ataupun penyalahguaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan kepada pengusaha,” katanya.
KPK prihatin atas kondisi ini. Kekayaan alam negeri yang melimpah, katanya, dikuasai hanya sekelompok pengusaha.
Dari kajian sumber daya alam KPK menemukan sejumlah persoalan terkait tumpang tindih wilayah, potensi kerugian keuangan negara dari praktek bisnis tak beretika, dan melanggar aturan, seperti menunggak pajak, tak bayar royalti, dan tidak jalankan jaminan reklamasi pasca tambang.
Dalam kesempatan sama, Febri Diansyah, Juru Bicara KPK mengatakan, penyelidikan perkara ini cukup lama, bermula dari laporan masyarakat. KPK, katanya, gunakan metode case building.
“Ini kasus korupsi dengan potensi kerugian negara sangat besar sektor sumber daya alam. Kerugian negara capai Rp5,4 triliun. Yang diterima tersangka sekitar Rp2,56 miliar.”
Laporan lama
Safrudin Mahendra, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) mengatakan, telah melaporkan kasus itu sejak lama. Kala itu, pimpinan SOB, almarhum Nordin, melaporkan dugaan korupsi FMA pada 2014. Meski terkesan lambat, SOB mengapresiasi kinerja KPK dengan menetapkan Supian Hadi, sebagai tersangka.
Data SOB, FMA merupakan perusahaan tambang bauksit yang memiliki areal konsesi 2.803 hektar, di Desa Sudan, Kecamatan Cempaga, Kotawaringin Timur. Izin usaha pertambangan (IUP) oleh Bupati Kotim Nomor 97/2011 tertanggal 28 Maret 2011. IUP diberikan tanpa ada lelang dan tak disertai Surat Keputusan Pencadangan Wilayah hingga harus batal demi hukum.
Kala itu, status FMA masih izin eksplorasi dan di kawasan hutan produksi konversi (HPK). Ada juga 270,30 hektar konsesi masuk area alokasi penggunaan lain di wilayah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (APL-KLHS). Sesuai SK Menhut No292/2011, ia harus mendapat persetujuan DPR kalau akan menambang.
“FMA belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal-red) dan izin pinjam pakai kawasan hutan tetapi perusahaan telah eksploitasi dengan pembersihan lahan serta stock file di lokasi itu,” katanya.
Padahal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan, IUP FMA tidak sah. KESDM membatalkan pertimbangan teknis untuk keperluan pengurusan IPPKH di areal pertambangan bauksit di lokasi itu.
Pencabutan itu, katanya, sebagai respon surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 540/713/Tamben tertanggal 25 November 2011. Isi surat itu memberikan klarifikasi kepada Menteri ESDM bahwa rekomendasi permohonan IPPKH untuk FMA dari Gubernur Kalteng adalah palsu. Selanjutnya, perusahaan ini mendapat peringatan dari gubernur melalui surat bernomor 540/650/tamben tertanggal 31 Oktober 2011. Gubernur, memerintahkan, perusahaan setop operasi dan meminta Bupati Kotim mencabut Izin FMA.
“FMA membuat rekomendasi dengan tanda tangan palsu Gubernur Kalimantan Tengah untuk mengurus IPPKH. Diduga dalam membuat surat rekomendasi ini bekerja sama dengan oknum pemerintah daerah baik di kabupaten maupun provinsi,” kata Udin, sapaan akrabnya.
FMA, katanya, masih eksplorasi tetapi telah eksploitasi dan mengekspor hasil tambang ke luar negeri, dengan mendapatkan surat pemberitahuan ekspor barang (PEB) bauksit hasil penambangan dari Kantor Pelayanan Bea Cukai tipe A3 Kotim.
Udin berharap, KPK tal hanya menyasar isu tambang tiga perusahaan itu juga tambang lain dan perkebunan sawit. Di Kotawaringin Timur, katanya, ada sekitar 47 perusahaan tambang baik bauksit, bijih besi, maupun batubara. Izin-izin itu perlu ada evaluasi, katanya, karena mayoritas terbit era Supian Hadi.
“Kalau semua diusut, potensi kerugian negara akan makin besar lagi. Namanya tambang bauksit, terutama di Kalteng open pit mining semua. Itu menyebabkan semua tumbuhan di atasnya dibuka habis, baru digali. Pasti akan berdampak buruk sekali terhadap lingkungan,” kata Udin.
Tahun 2012-2013, SOB pernah meninjau langsung ke lokasi tambang bauksit FMA. Tutupan hutan sudah rusak dan air sungai berubah jadi warna cokelat.
“KPK jangan hanya berhenti di Supian Hadi. Pasti ada pejabat publik lain yang terlibat terutama yang lebih tinggi. Izin perusahaan-perusahaan yang sudah memberikan gratifikasi kepada pejabat negara ini juga harus dievaluasi. Kalau perlu izin dicabut. Jangan hanya pejabat yang ditangkap, perusahaan juga.”
Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, kasus Supian Hadi mengkonfirmasi bahwa ada masalah perizinan di Kalteng, terutama sektor pertambangan dan perkebunan. Untuk itu, katanya, perlu evaluasi mendalam semua izin-izin itu.
“Sudah banyak kerugian Kalteng tetapi perusahaan-perusahaan yang berperilaku tidak baik itu selalu melenggang dan menyebabkan pemimpin-pemimpin di Kalteng korup.”
Kasus ini, katanya, bisa jadi momentum Pemerintah Kalteng memperbaiki tata kelola sumber daya alam, baik sisi administrasi maupun lingkungan.
Dimas menduga, kemungkinan akan ada tersangka lain karena dalam tindak pidana korupsi, tak mungkin hanya dilakukan seorang diri. Penerima maupun pemberi suap harus dijerat.
“Berbicara korupsi pasti ada dua hal, pemberi dan penerima. Si pemberi harus dihukum. Kerusakan lingkungan harus dipertanggungjawabkan.”
Melky Nahar, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mengapresiasi kinerja KPK. Menurut dia, penting bagi KPK mengidentifikasi kasus-kasus lain dan lakukan penanganan serupa.
“Ini kan tahun politik juga. Penting bagi KPK bekerja keras hingga tidak terjadi transaksi perizinan dan transaksi lain yang berhubungan dengan tambang.”
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pecemaran udara. Hutan pun terbabat. Foto: Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id