Sekitar 50 meter dari jalan Desa Sarimukti, beberapa eksavator tampak mengeruk tanah di kebun sawit. Tanah berwarna merah ditumpuk-tumpuk menggunung. Satu per satu tanaman sawit bertumbangan terlibas alat berat di Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara ini.
“Woiii…jangan lama-lama, nanti ditandai wajah mu diapa-apakan,” kata supir angkutan umum yang kami tumpangi mengingatkan kami yang sedang mendokumentasikan penambangan itu.
Di pemukiman, mobil truk roda 10 milik perusahaan-perusahaan tambang yang memuat nikel mentah (ore nikel) melintasi jalan tanah pengerasan di tengah kampung, menerbangkan debu merah ke tembok rumah warga di sepanjang jalan yang dilalui. Pemandangan ini lumrah saban hari.
Orang-orang sungkan membicarakan marak pertambangan nikel di sekitar perkampungan warga. Baik penambang nikel legal maupun ilegal alias penambang lahan koridor yang oleh warga disamarkan dengan sebutan ‘pelakor’.
Baharudin, warga Kelurahan Langgikima, transmigran dari Gorontalo medio 1990-an. Dia mengadu peruntungan menjadi petani sawit di Langgikima, belakangan ini beralih sebagai pengepul barang bekas dan besi tua demi menafkahi keluarga.
Baca juga: Nasib Petani Sawit Plasma di Langgikima (Bagian 1)
Sebelumnya, dia punya 11 hektar kebun sawit tersebar di Langgikima. Sekitar lima hektar tanaman sawit tak produktif dia jual ke sesama petani Rp8 juta perhektar. Belakangan dia mendapat informasi tanah-tanah itu dijual kembali ke penambang nikel ilegal Rp50 juta perhektar.
Lahan dia yang lima hektar itu pernah ditawar Rp80 juta per hektar oleh perusahaan tambang bijih nikel PT Makmur Lestari Primatama (MPL). Dia belum berniat menjual lahan.
Sekarang, Baharudin terpaksa menjual lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup lantaran hasil plasma tak menjanjikan.
Lahan dia yang lain berisi tanaman sawit berusia empat tahun diklaim masuk dalam area garapan perusahaan pertambangan nikel. Dia tak pernah tahu dan tak pernah ada uang ganti lahan. Baharudin enggan menyebut nama perusahaan nikel itu.
Namun, dia khawatir dengan rumor di tengah masyarakat kalau Langgikima dari perkebunan sawit akan jadi tambang-tambang nikel.
Alimudin, warga Langgikima yang selama ini bersama kawan-kawannya memperjuangkan nasib petani sawit hampir menyerah. Kini, dia ingin membangun kerjasama lahan dengan penambang nikel. Dia bersama warga lain sudah menebang tanaman sawit April lalu. Lahan itu mau mereka kontrakkan ke penambang nikel Rp300 juta per hektar selama delapan tahun. Hingga kini, belum ada kecocokan harga karena perusahaan-perusahaan tambang hanya mau mengontrak lahan kisaran Rp80 juta-Rp100 juta per hektar.
Dia bilang, banyak perusahaan tambang menginginkan lahan mereka. Dari semua perusahaan itu, hanya MLP dan PT Konutara Sejati yang izin sesuai dengan peruntukan.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), MLP dan Konutara merupakan dua dari puluhan perusahaan tambang nikel resmi yang mengantong izin operasi produksi di Langgikima sampai 2029. Wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) MLP terbit di bawah kewenangan bupati pada 2014. Sedang WIUP Konutara Sejati terbit di bawah kewenangan Menteri ESDM pada 2017.
Langgikima merupakan kecamatan dengan luas wilayah 476,75 km persegi, terdiri 11 desa dan satu kelurahan dihuni 1.213 keluarga.
Saharudin, Direktur Walhi Sulawesi Tenggara, mengatakan, secara topografi di Langgikima, wilayah pertambangan nikel berada di tanah ketinggian, sementara perkebunan sawit di dataran lebih rendah. Berarti, pertambangan nikel akan melepas limbah zinc, chromium hexavalent, nikel turun ke tanah yang lebih rendah.
“Ini cairan kimia berbahaya semua,” katanya, saat dikonfirmasi dalam pertemuan daerah lingkungan hidup (PDLH) Walhi Sulawesi Tenggara di Kendari, 21 Desember lalu.
Zat chromium hexavalent paling berbahaya. Apalagi, katanya, di bawah area pertambangan nikel ada pemukiman. Warga bisa terkena kena penyakit seperti kanker dan gatal-gatal.
Menurut Saharudin, tata ruang di Langgikima buruk. Pemerintah semestinya menata lanskap Langgikima sedemikian rupa seperti bukan seperti permainan lego yang saling tumpang tindih satu sama lain.
“Tambang…tambang–kebun sawit–perusahaan HGU–kebun sawit mandiri warga–program nasional transmigrasi,” katanya memperagakan dengan menindihkan selang-seling telapak tangan kanannya ke punggung tangan kirinya, dan sebaliknya.
Herman Sewani, Ketua Komisi I DPRD Konawe Utara, mengatakan, petani sawit harus bernegosiasi dengan perusahaan pertambangan nikel. “Daripada sama sekali tidak dapat apa-apa,” katanya.
Dalam Rencana Tata Ruang Konawe Utara 2012–2032, Langgikima dan Motui, masuk dalam pengembangan kawasan industri pertambangan. Dalam data terbarukan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara per Agustus 2022, sebanyak 49 perusahaan pertambangan nikel beroperasi di tujuh kecamatan. Langgikima, menempati urutan kedua dengan perusahaan tambang nikel ada 20 perusahaan, setelah Lasolo 22 perusahaan.
Sepengetahuan Herman, praktik jual beli lahan antara warga dengan perusahaan tambang nikel lumrah terjadi di Langgikima. “Ada yang ditawar Rp10 juta. Artinya ko (kamu) bayar saya dulu Rp40 juta, nanti ko kasih saya per kapal (pengapalan nikel) berapa?” katanya.
Herman juga tidak memungkiri kalau di Langgikima marak penambangan nikel ilegal. “Ada memang yang koridor-koridor itu.”
La Haruna, Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, mengatakan, perkebunan perusahaan sawit di Langgikima sudah masuk ke area pertambangan nikel. Dia dapatkan itu ketika mengkonfirmasi langsung ke Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Sulawesi Tenggara,
Berdasarkan informasi yang Haruna kumpulkan, sudah beberapa puluh hektar tanaman sawit telah ditebang. Ada petani yang menjual lahan ke perusahaan tambang nikel. “Kita juga tidak bisa melarang mereka, itu hak mereka.”
Dinas Perkebunan tidak menjelaskan mengenai kronologi peralihan perkebunan sawit jadi WIUP saat dikonfirmasi tim liputan kolaborasi.
Saharudin menegaskan, semestinya pemerintah memilah mana yang bisa bisa ditambang dan mana yang tidak.
Dia heran mengapa lahan masyarakat bisa masuk izin usaha pertambangan. Belum lagi, masyarakat yang ada di sana itu juga dari transmigrasi yang merupakan program nasional. Dan para transmigran harus dipindahkan atau dibangunkan pemukiman baru di tempat lain, lengkap dengan rumah beserta aset tanahnya, sebelum menerbitkan IUP.
“Masa depan hanya dinikmati orang-orang perkotaan. Masyarakat di wilayah pertambangan tak pernah bisa membayangkan seperti apa itu masa depan, karena mereka kehilangan semua. Termasuk masa depan anak-anaknya,” kata Saharudin.
Masyarakat resah dan tak tahu masa depan hidup di sana. Seperti Baharudin sudah merasakan langsung dampak tambang nikel yang mengeruhkan air sungai. Belum lagi, air sumur mengering tanpa diketahui apa penyebabnya.
Dia sempat mencoba peruntungan dengan bercocok tanam merica di sisa lahan, namun terkendala aktivitas pertambangan nikel.
“Saya berkebun (menanam) di bawah (tanah), tambang di atas sikat kita. Pokoknya tidak ada, gagal semua!.”
Liputan ini bagian dari program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak pada 2022