ADVERTISEMENT
Terbitnya izin dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk menambang emas di Pulau Sangihe jadi kontroversial. Soalnya, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP3K) No 1/2014 melarang pertambangan di pulau kecil yang luas daratannya kurang dari 2000 km2. Luas Pulau Sangihe hanya 736 km2, berarti tak boleh ada aktivitas pertambangan. Mengapa Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjend Minerba) Kementerian ESDM berani menerbitkan izin produksi No 163.K/MB.04/DJB/2021 kepada perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) seluas 42.000 hektar –melebihi separuh luas pulaunya?
Kementerian ESDM (Ditjend Minerba) terkesan mengabaikan UU No 1/2014. Jika pemerintah membiarkan tindakan perampasan ruang dan sumber daya perairan pulau kecil (Ocean Grabbing of Small Island), sama saja ia memproduksi kemiskinan, kesenjangan, dan kerusakan ekologi. Kejadian ini bukan sekali ini di Sulawesi Utara. Sebelumnya, Pulau Bangka di gugusan Taman Laut Bunaken di Minahasa Utara juga mengalami hal serupa. Apakah tindakan ini merupakan manifestasi Undang-Undang Cipta Kerja No 11/2021 dan UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009 dan revisinya UU No. 3/2020?
Soalnya pemerintah juga telah mengeluarkan (i) PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah; (ii) PP No 27/2021 tentang, penyelenggaraan bidang kelautan dan perikanan; dan (iii) PP No 43/2021 tentang “Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah” yang melahirkan istilah “Hak Pengelolaan dan/atau perizinan terkait memanfaatkan ruang laut. Dalam pasal ini atas istilah “hak atas tanah”. Apakah semua regulasi menjustifikasi perampasan ruang dan sumber daya perairan pulau kecil?
Perampasan
Perampasan pulau kecil di negeri ini sudah berlangsung lama. Saya mengadopsi terma “perampasan pulau kecil” dari Bennet et al (2015) yaitu: (i) sebagai tindakan merampas hak masyarakat pulau kecil, pelakunya dapat memanfaatkan, mengontrol, dan mengakses ruang laut (space) dan kandungan sumber dayanya (resouces) di daratan maupun perairannya yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat; (ii) perampasan berlangsung lewat proses tata kelola yang tidak wajar dengan cara melemahkan keamanan/kehidupan penduduk pulau kecil sehingga kesejahteraan sosialnya menurun sekaligus memperparah kerusakan ekologi; dan, (iii) perampasan dilakukan lembaga-lembaga publik/aktor negara maupun kelompok kepentingan pribadi.
Merujuk pemahaman ini, perampasan Pulau Sangihe menyangkut: sumber daya emas maupun ruang daratan/perairan seluas 42.000 hektar. Bagaimana implikasinya? Pertama, ruang daratan dan perairan Pulau Sangihe telah dialihkan pemerintah kepada PT TMS sehingga tertutup bagi kepentingan perusahaan di luar pertambangan. Akses penduduk/masyarakat adat Pulau Sangihe kian terbatas hingga terpinggirkan. Otomatis, lahan penduduk dan komunal (masyarakat adat) juga terancam diokupasi.
Kedua, terjadinya perubahan rezim hak kepemilikan sumber daya daratan maupun perairan di Pulau Sangihe (property right). Terbitnya hak konsensi izin produksi tambang emas membatasi akses dan preferensi warga terhadap Pulau Sangihe. Padahal sebelumnya merupakan sumber daya milik bersama warga pulau sejak dahulu kala (common property area).
Ketiga, terjadinya perubahan rezim “pengalokasikan” ruang dan sumber daya Pulau Sangihe akibat adanya hak konsensi dan izin tambang emas yang keluarkan pemerintah pusat (Kementerian ESDM). Sebelumnya kawasan ini adalah lahan pertanian warga, kawasan hutan yang hulunya menopang sumber mata air, habitat satwa dan tanaman endemik. Di perairan pesisirnya ada ekosistem mangrove dan terumbu karang yang berfungsi sebagai habitat ikan.
Perubahan lokasi ruang dan sumber daya ini jelas merampas hak-hak warga pulau. Bakal menyebabkan degradasi, fragmentasi habitat, dan perubahan struktur geologi tanah Pulau Sangihe. Ancaman kemiskinan dan krisis ekologi menghantui. Belum lagi konflik sosial bakal menyeruak.
Keempat, perubahan rezim “pemanfaatan” ruang dan sumber daya Pulau Sangihe akibat pergeseran orientasi. Lahan pertanian tanaman pangan, kawasan hutan, dan sumber mata air akan hilang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang di pesisir bakal rusak akibat pencemaran. Ruang hidup satwa dan tanaman endemik hilang akibatnya terancam punah. Semua ini terjadi akibat munculnya aktivitas pertambangan emas (ekstraktif).
Pemerintah mestinya berkaca dari kasus-kasus pulau kecil yang sulit dipulihkan pascatambang lewat reklamasi di negeri ini. Contohnya, Pulau Bangka di Minahasa Utara akibat tambang biji besi, dan Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep yang berlangsung semenjak era kolonialisme. Akibatnya, ruang dan sumber daya pulau mengalami degradasi yang parah. Alhasil, kutukan sumber daya alam (resource curse) tak terelakkan. Kita berharap Pulau Sangihe tak mengalaminya.
Cabut Izin
Fenomena pertambangan di laut dan pulau kecil tak hanya di Indonesia. Di Papua Nugini penambangan emas dan tembaga berlangsung di perairan laut sedalam 1600 m (deep sea). Kejadian ini memicu perlawanan masyarakat adat pulau kecil Duke of York Islands secara kreatif. Mereka membangun kontra narasi sebagai bentuk refleksi ontologis dalam memaknai laut dalam. Mereka mementaskan perlawanannya lewat teater partisipatif dan karya seni patung.
Secara politik, kampanye ini merepresentasikan praktik “degrowth” biru (blue degrowth) sebagai kontra narasi pertumbuhan biru yang diusung korporasi tambang. Esensinya laut dimaknai sebagai bagian bumi (graun) termasuk ikan dan roh-rohnya. Graun tetap baik jika kesatuan alam, makhluk hidup, dan roh di lautan tak terganggu. Pemaknaan ini disebut “formasi geo-spiritual”. Pertambangan laut dalam otomatis menggerus makna geo-spritual (Szerszynski 2017 ).
Mereka menolak klaim, pertambangan bakal memperbaiki kehidupannya dan mewujudkan “pertumbuhan biru” (Riset Childs, 2019). Kenyataannya, pertumbuhan biru justru bersifat eksploitatif/ekstraktif. Inilah cara masyarakat adat di Papua Nugini melawan perampasan laut lewat pertambangan. Hal ini dilakukan agar terjamin keberlanjutan mata pencaharian, mencegah degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi laut. Kasus Papua Nugini ini juga dialami di Namibia.
Namibia hendak memaksimalkan manfaat sumber daya mineral lautnya secara berkelanjutan lewat pertambangan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya. Ia mengusung konsep ekonomi biru yang sejatinya hanya mengakomodasi agenda-agenda neoliberalisme berbasis negara. Ia menerapkannya dalam eksploitasi pertambangan laut di perairan ZEEI-nya.
Padahal konsep ekonomi biru tak dipercayai Sandberg et al. (2019) akan mampu memperlambat dan membalikan degradasi lingkungan. Apalagi dipraktikkan di perairan laut dalam. Makanya, lahir degrowth sebagai tawaran alternatif (Weiss dan Cattaneob 2017) dengan cara mereorganisasi masyarakat dan mengurangi konsumsi di negara maju (Chiengkul 2018 ). Supaya, menghentikan secara masif eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif di negara berkembang.
Tawaran ini sebagai kritik terhadap pembangunan ekonomi yang mengusung pertumbuhan. Degworth berupaya mengeksplorasi bentuk-bentuk pertukaran alternatif, termasuk resiprositas dan redistribusi (Martínez-Alier 2012). Meskipun dalam ranah intelektual masih terjadi perdebatan/diskursus yang tajam.
Apa yang bisa dipetik dari kasus di kedua negara ini dalam konteks Pulau Sangihe di negara kita? Pertama, perampasan sumber daya pulau kecil berimplikasi luas terhadap sosial-ekonomi, ekologi, dan geo-spitual hingga kultur masyarakatnya. Dampaknya, tak hanya mendisrupsi mata pencaharian dan ekologinya. Melainkan juga nilai-nilai geo-spiritual yang direflekasikan lewat makna ontologis dari ruang laut maupun pulau kecil.
Kedua, masyarakat lokal/adat di Pulau Sanghie mesti bersatu padu bersama semua komponen civil society yang menolak pertambangan emas di pulau itu. Mereka mesti membangun model kampanye penolakan yang kreatif. Caranya, mereka mesti menggali dan merefleksikan makna filosofis yang berakar dari relasi spiritual dan kosmologis antara manusia, sumber daya pulau kecil, dan roh-roh (geo-spiritual) yang diyakini masyarakatnya. Jika tambang diteruskan, bukan hanya menghilangkan mata pencaharian, lalu sumber mata air dan degradasi ekologi pulau. Melainkan juga menggerus nilai-nilai spiritual dan tradisi masyarakat yang memuliakan alam.
Ketiga, munculnya tawaran degrowth biru berkelanjutan sebagai pendekatan alternatif. Pendekatan ini merupakan antitesis kapitalisme neoliberal (ekonomi biru) yang bersifat eksploitatif/ekstraktif. Mengapa demikian? Perampasan ruang dan sumber daya kelautan telah memproduksi kesenjangan dan ketidakadilan mencakup: (i) perampasan sumber daya kelautan, (ii) pencemaran dan buangan limbah yang memproduksi ketidakadilan ekologi, (iii) degradasi lingkungan yang mengurangi jasa ekosistem (iv), hilangnya mata pencaharian nelayan skala kecil (v) hilangnya akses yang menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan berbasis sumber daya kelautan, (vi) ketidakmerataan distribusi manfaat ekonomi, (vii) mereduksi nilai-nilai sosial-budaya, (viii) marginalisasi perempuan, (ix) pelanggaran hak asasi manusia, dan (x) pengabaian partisipasi stakeholder utama dalam pengambilan keputusan dan tata kelola kelautan dan perikanan (Bennet et al, 2021).
Tindakan pemerintah pusat mengizinkan pertambangan emas di Pulau Sangihe, jika diteruskan, sepuluh kesenjangan, ketidakadilan, dan kerusakan ekologi tersebut tak terhindarkan. Di Indonesia telah banyak pulau kecil mengalaminya akibat pertambangan. Di antaranya: (i) timah dan mangan di Pulau Bangka, Belitung, Singkep pertambangan (Kepulauan Riau) sejak era kolonialisme; (ii) pasir besi di Pulau Bangka, Minahasa Utara, (iii) tembaga di Wetar, di Maluku, (iv) emas Pulau Gebe, Mauluku Utara, (v) nikel di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, dan (vi) emas di Pulau Romang, Maluku.
Jalan terbaik menyelamatkan masyarakat Pulau Sangihe dan sumber dayanya tak dirampas yang berujung ketidakadilan, kesenjangan, dan degradasi ekologi adalah menyetop perampasannya. Caranya mencabut izin pertambangan emas yang telah diterbitkan pemerintah pusat kepada PT TMS. Semoga!
Muhamad Karim dosen Universitas Trilogi, Direktur Center for Ocean Development and Maritime Civilization (COMMITs)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT