Hutan
Ratusan hektar hutan sagu di Sentani, Jayapura, Papua, terbakar pada 10 September lalu. Abraham Sawaki, pegiat sagu di Sentani mengatakan, perlu penataan hutan sagu hingga tak rawan rusak termasuk terbakar.
Hari itu, Selasa (24/9/19), Abraham, berada di bekas kebakaran hutan sagu di Kampung Kehiran, Distrik Sentani.
Saat kejadian, katanya, kobaran api sulit mati karena akses jalan ke lokasi hanya jalan setapak. Selain itu, banyak dahan sagu kering membuat api menjalar cepat.
“Penataan hutan sagu penting untuk mengurangi bahkan mencegah kebakaran,” katanya.
Penataan yang dimaksud, dengan pembangunan jalan dan pembersihan lahan. Untuk membersihkan daun-daun sagu kering, katanya, agar mencegah api menyebar cepat.
“Harapan saya ke pemerintah mungkin bisa kasi dukungan seperti akses jalan di hutan sagu.”
Kebakaran terjadi pada Selasa (10/9/19). Sawaki baru mengetahui kebakaran ini pada pukul 14:00, saat sudah meluas. Siang itu, katanya, angin kencang dan cuaca panas.
Api diketahui bermula dari sekitar Toware, Kampung Kwadeware, menjalar cepat. Warga di sekitar tidak bisa melakukan apa-apa. Api baru mati pada sekitar pukul 23.00.
Lokasi ini hutan sagu terbakar ini meliputi wilayah lima kampung, yaitu Kwadeware, Kehiran, Yoboi, Simporo dan Babrongko. Warga biasa menyebutnya sebagai dusun sagu.
Ini kali ketiga hutan sagu di Kehiran terbakar. Api diduga berasal dari aktivitas masyarakat yang membakar di sekitar hutan sagu. Hingga kini pelaku masih dicari oleh pihak adat dan kepolisian.
Kebakaran hutan sagu ini sempat memicu kemarahan kampung-kampung lain yang dusun sagu ikut terbakar. Masyarakat terutama yang menggantungkan hidup dari sagu jelas terdampak.
Selain itu, fungsi hutan sagu sebagai tempat penyimpanan air akan terganggu. Kondisi ini, diperkirakan berdampak pada meluapnya air Danau Sentani saat musim hujan tiba nanti.
Selain mematikan sagu, dipastikan binatang yang hidup di sana, seperti buaya dan babi hutan juga mati atau berpindah ke hutan yang masih utuh.
Di lokasi kebakaran tampak hutan sagu sudah berubah menjadi coklat. Batang-batang sagu bersama pohon lain di sekitar mengering. Pati dalam batang sagu yang terbakar tak bisa dimanfaatkan lagi.
Kebakaran hutan sagu juga terjadi di distrik lain di Kabupaten Jayapura. Belum diketahui pasti luas keseluruhan dan sebaran hutan sagu terbakar ini. Chris Kores Tokoro, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, sudah dihubungi namun tak memberikan respon.
Data terhimpun di berbagai media disebutkan luas hutan sagu terbakar di Sentani mencapai ratusan hektar. Kebakaran terjadi antara lain di Distrik Sentani Timur, Sentani, Ebungfau dan Waibu.
Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Jayapura bekerjasama dengan Universitas Negeri Papua melakukan kajian pengembangan dan pemanfaatan lahan sagu di Jayapura.
Tim ini survei di Distrik Sentani Timur, Sentani, Sentani Barat, Waibu, Demta dan Bonggo Timur. Pada enam distrik ini, luas lahan sagu sekitar 3.302,9 hektar.
Lahan sagu terluas ada di Distrik Sentani 1.964,55 hektar, Sentani Timur 473 hektar, Demta 375 hektar, Unurum Giay 277,3 hektar, Waibu 138,9 hektar dan Sentani Barat 277,3 hektar. Sebagian besar dusun sagu ini dalam hutan produksi dan alokasi penggunaan lain hingga rawan alih fungsi.
Charles Toto dari Papua Jungle Chef menggalang petisi meminta Gubernur Papua, Papua Barat dan Kementerian Dalam Negeri membuat peraturan melindungi hutan sagu tersisa di tanah Papua.
Pergub ini diharapkan melindungi hutan sagu dari ancaman penggusuran pembangunan dan perkebunan yang terus menggerus sagu. Hingga kini, petisi ini ditandatangani hampir 300.000 orang.
Tak hanya alih fungsi, kebakaran juga jadi ancaman bagi hutan sagu.
Di Kehiran, Kelompok Tani Howale pimpinan Sawaki berencana menanam ulang di area yang terbakar.
“Kami dari kelompok sagu, kami ada penanaman. Nanti, sagu yang sudah mati kita ganti dengan bibit baru.”
Kemarau, waspada
Ezri Ronsumbre, Kepala Sub bidang Pelayanan Jasa Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah V–Jayapura mengatakan, masyarakat harus lebih berhati-hati di musim kemarau.
Musim kemarau dalam periode angin timuran biasa berlangsung dari April hingga September atau Oktober, setiap tahun.
“Potensi kebakaran hutan terjadi saat tidak turun hujan dalam waktu lama. Akibatnya, ketersediaan air di tanah tidak ada, rumput-rumput jadi kering, pohon-pohon yang sudah tak produktif juga kering dan mati,” katanya.
Dengan kondisi ini, ditambah angin bertiup di siang hari dan suhu udara panas, api cepat menyebar kalau ada warga bakar-bakar atau buka lahan.
Dia mengimbau, warga menghindari membuka lahan pertanian dengan membakar di musim kemarau dan tak membakar sampah di sembarang tempat.
Pantauan Mongabay, kebakaran terjadi di lebih dari lima titik di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura,. Ada yang berupa hamparan rumput juga hutan seperti di Sentani. Belum ada data lengkap mengenai luas lahan terbakar.
BMKG wilayah V Jayapura mendeteksi delapan titik titik api di Papua per 17 September 2019. Dua titik api Kabupaten Jayapura, tiga titik api di Kabupaten Jayawijaya dan tiga di Kabupaten Merauke. Di Kabupaten Jayapura, titik api muncul di Distrik Waibu dan Distrik Sentani Barat.
Keterangan foto utama: Hutan sagu yang terbakar di Kampung Kehiran Distrik Sentani. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id