LUWU lintasjatimnews – Dalam bahasa setempat, Matano berarti dongi atau mata air. Masyarakat lokal percaya bahwa Danau Matano terbentuk karena ribuan mata air yang muncul akibat gerakan tektonik. Danau ini juga berfungsi sebagai sumber kehidupan dan sumber air bagi dua danau lainnya yaitu Danau Mahalona dan Danau Towuti. Ketiga danau tersebut masuk dalam Kompleks Danau Malili, yang dikelilingi perbukitan yang tersayat oleh patahan atau Sesar Matano.
Berlokasi di Pegunungan Verbek, Sorowako, Luwu Timur, Sulsel. Permukaan air danau berada pada ketinggian 382 meter dpl sehingga kedalaman airnya 208 meter dpl. Panjangnya 28 km, lebar 8 km. Danau Matano adalah satu dari tiga danau di Kab Luwu Timur, di ujung timur Provinsi Sulawesi Selatan. Sekitar 60 km dari pusat Kabupaten Luwu Timur, di Kec Malili, untuk mencapai dermaga penyeberangan perahu Sorowako di Kecamatan Nuha.
Kegiatan bongkar muat penumpang di dermaga ini cukup ramai. Rakit-rakit penyeberangan (raft) itu tidak hanya mengangkut warga dan barang, tetapi juga kendaraan bermotor roda dua dan empat. Beberapa rakit penyeberangan bersandar, perahu yang lainnya siap menyeberangkan penumpangnya dengan tujuan ke Dermaga Nuha, di seberang danau. Dermaga ini menghubungkan Provinsi Sulsel dan Sulteng. Khususnya masyarakat yang bermukim di Kab Morowali dan sekitarnya.
Menyusuri Danau Matano biasa dilakukan pelancong dengan menggunakan perahu tradisional (katinting), danau seluas 16.000 hektare. Pengunjung yang ingin berkeliling menyusuri Danau Matano tidak perlu merogoh dalam-dalam. Sebab, pemilik perahu tidak menetapkan tarif tinggi. Mereka lebih mengutamakan kesepakatan atau harga nego. Toh pihak Pemda sendiri tak memungut biaya apa pun dari para pelancong.
Di bibir Danau Matano, yang sebagiannya tebing batu papan, juga terdapat beberapa lubang goa. Di dalam goa-goa itu tersimpan pelbagai sisa peninggalan peradaban masa lampau yang nun jauh. Tiga dari enam buah goa berada tepat di bibir danau, dimana alur liangnya tembus dari tebing batu ke air danau.
Sebuah goa lainnya praktis menjadi teritori kerajaan kelelawar, lokasinya tidak begitu jauh dari permukiman penduduk. Di dalam goa berbau sangit itu, karena kotoran ribuan kelelawar, terdapat banyak tulang belulang dan tengkorak manusia. Masuk akal jika Warga Matano menyebutnya Goa Tengkorak. Tengkorak itu ada di sana sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum ajaran agama masuk ke Tana Luwu.
Danau ini juga menjadi habitat bagi ratusan spesies fauna endemik. Fauna yang ditemukan di sini tergolong unik. Pada umumnya tidak dijumpai di danau lain di republik ini. Di dalamnya terkandung spesies ikan endemik yang tergolong langka di dunia. Ikan, misalnya. Dijuluki ikan purba karena bentuknya yang mirip binatang purba—tak lazim dan berkesan kuno. Masyarakat setempat menamainya “ikan buttini”.
Ikan buttini ini termasuk jenis ikan yang paling digemari masyarakat setempat. Tak heran jika sebagian warga pesisir Danau Matano menggantungkan hidupnya sebagai nelayan pemancing ikan buttini. Bentuknya agah aneh/seram dengan bola mata menonjol keluar, kulitnya berwarna kecoklat-coklatan, tetapi dagingnya terasa gurih setelah dimasak dan dibumbui dengan tepat.
Oleh pemerintah, demi menjaga kelestarian lingkungan, Kawasan Danau Matano, Mahalona dan Towuti menjadi kawasan konservasi Taman Wisata Alam dengan nama Taman Wisata Alam Danau Matano, Taman Wisata Alam Danau Mahalona, dan Taman Wisata Alam Danau Towuti—berdasarkan SK Menteri Pertanian, 24 April 1979.
Di Danau Matano juga terdapat beberapa lokasi obyek wisata pantai dengan pasir putih yang fasilitasnya dibangun oleh perusahaan tambang PT Inco. Selain obyek wisata pantai, pengunjung juga dapat menikmati kesejukan air terjun Mata Buntu, kolam mata air hidup yang disebut Bura-bura, serta melihat langsung kuburan tua suku adat Matano di Dusun Matano.
Danau Matano ini memiliki daya tarik tersendiri dengan panorama alamnya yang eksotis, koleksi fauna purba, dan daerah sekitar danau sering terjadi gempa kecil. Pada 2018 tercatat 20 kali guncangan. Danau purba ini terbentuk dari patahan (strike-slip fault) akibat aktivitas tektonik yang terjadi pada masa Pleosen. Umur danau ditaksir 1 hingga 4 juta tahun. Sejauh ini, para ilmuwan telah mengidentifikasi 10 danau purba di dunia. Yakni Danau Matano, Danau Poso, Danau Biwa, Danau Baikal, Danau Kaspia, Danau Tanganyika, Danau Victoria, Danau Malawi, Danau Ohrid dan Danau Titicaca.
Seperti di danau-danau lain yang permukaan airnya tenang, Danau Matano merupakan surga dunia bagi para pencinta water ski atau ski air karena arus air yang cukup kalem. Arena yang sangat cocok buat pemula yang ingin mencoba olah raga tersebut. Ski air merupakan olahraga air, dimana pemainnya menaiki papan di atas air lalu ditarik menggunakan perahu.
Hingga kini, peminat arkeologi silih berganti untuk meneliti di sana. Mereka berusaha memecahkan rahasia masa lalu yang kini masih berupa misteri. Danau Matano juga mengandung situs arkeologi yang terendam (submerged landscape). Situs ini terbentuk akibat dari bencana alam gempa bumi karena posisinya berada tepat di jalur lempeng Matano.
Di masa lalu yang jauh, menurut arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Tri Wurjani, menyebut adanya peradaban zaman besi di Danau Matano. Kawasan Danau Matano dulu terkenal sebagai penghasil besi. Pemanfaatan besi juga diceritakan dalam naskah kuno Negarakertagama, tentang bagaimana Kerajaan Majapahit pergi ke Sulawesi yang ditaksir mengambil besi untuk membuat senjata.
Kondisi itu juga membuat masyarakat Matano sudah mengenal cara melebur bijih besi dari bahan mentah logam, bahkan mengenal perdagangan sampai pada tingkat ekspor ke luar daerahnya. “Namun budaya Matano masih belum cukup dikenal, hanya hasil produksinya populer dengan sebutan Pamor Luwu. Bahan mentah dari Pamor Luwu ternyata berasal dari Matano.
Reporter Belly Sabara