Hutan
Sri Mulyani, Menteri Keuangan sampai empat kali mengucapkan selamat kepada Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam konferensi pers virtual Kamis siang, 27 Agustus lalu. Sri dan Siti dengan bungah mengumumkan kepada awak media bahwa Dewan Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund/GCF), bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), menyetujui proposal pendanaan Indonesia.
Indonesia dapat pendanaan US$103,78 juta. Sri bilang, dana itu bentuk pengakuan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam pelestarian lingkungan dan kehutanan. “Semoga apa yang dicapai oleh Ibu Siti dan jajarannya ini memberikan kepercayaan makin besar bagi masyarakat, yaitu bahwa kita tidak hanya selalu muncul, headline-nya, waktu kebakaran hutan.”
Sebelum itu, Siti mengawali jumpa pers dengan menjelaskan alasan GCF menggulirkan dana bertujuan membantu negara berkembang mengurangi emisi gas rumah kaca. Singkatnya, duit itu diberikan atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi setara 11,2 juta ton karbon dioksida pada 2014-2016 lewat serangkaian program menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. “Pengendalian kebakaran hutan dan lahan menjadi faktor penting dalam penurunan deforestasi,” kata Siti.
Siti juga mengklaim pemerintah berhasil meredam kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dia bilang, pertama kali karhutla di Indonesia pada 1982. Puncaknya pada 1997-1998, dengan luas mencapai 11,89 juta hektar. Siti sebutkan, luas terbakar selama Januari-Juli 2020 sekitar 64.000 hektar.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebutkan, karhutla 2019 seluas 1,65 juta hektar, lebih kecil dibandungkan 2015, seluas 2,65 juta hektar. Tetapi ada yang tak dibicarakan dalam seremoni virtual Kementerian Keuangan dan KLHK itu, yakni, pelepasan emisi karbon dari kebakaran 2019 ternyata sama bahayanya dengan dampak kebakaran lima tahun lalu.
Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), platform pemantauan bumi yang dikelola Pusat Prakiraan Cuaca Jarak Menengah Eropa (ECMWF), misal, memperkirakan total emisi karena kebakaran hutan di Indonesia sepanjang 1 Agustus-18 September 2019 setara 360 megaton karbon dioksida. Angka ini hampir menyamai dampak bencana asap 2015 pada periode sama dengan emisi setara 400 megaton karbon dioksida.
Padahal area terbakar pada 2019 seluas 1,65 juta hektar, lebih kecil dibanding pada 2015 mencapai 2,6 juta hektar.
ECMWF mensinyalir pelepasan emisi besar tahun lalu dipicu kebakaran banyak terjadi di lahan gambut. “Di Indonesia, pembakaran gambut yang dapat membara pada suhu rendah dan di bawah tanah menjadi perhatian utama karena melepaskan karbon yang telah disimpan selama ribuan tahun,” kata Mark Parrington, peneliti senior ECMWF di CAMS, dalam siaran pers, September 2019.
CAMS yakin, kebakaran disengaja untuk membuka lahan, terutama bagi industri kertas dan sawit. “Terlihat jelas bahwa kebakaran tidak biasa dan menimbulkan kekhawatiran signifikan,” kata Parrington.
“Tingkat polusi sangat tinggi dan persisten di Indonesia tidak diragukan lagi merupakan ancaman bagi kesehatan manusia, flora, dan fauna.”
Analisis kebakaran hutan dan lahan 2015-2019 menunjukkan, kebakaran lahan gambut baru terus meningkat selama periode tersebut. Hal ini diperparah oleh aktivitas izin skala besar yang kini masih membuka kanal yang membuat gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
Upaya tim peliputan ini meminta penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang persoalan ini tak membuahkan hasil.
Memasuki paruh kedua tahun ini, ancaman lama itu datang lagi. Fire Information for Resource Management System, platform milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), menangkap titik panas dengan jumlah kembali meningkat sejak Juni lalu di wilayah Indonesia.
Enam provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla setidaknya hingga dua bulan ke depan: Riau, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Siti Nurbaya tampaknya belum boleh terlalu cepat berpuas diri.
***
Tiga eksavator berkelir merah saling memunggungi. Lengan panjangnya seakan berlomba menggaruk tanah. Satu unit terlihat membersihkan pinggir kanal selebar lapangan badminton. Dua lainnya, berjarak sekitar 50 meter di utara saluran air yang memanjang dari timur ke barat, menyisir dua petak tanam yang sudutnya mulai rapi bergaris-garis.
Petak tanam di konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH) ini berada di wilayah administrasi Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lapam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tanah hitam kecokelatan bekas garukan terlihat kontras dengan barisan pohon akasia yang menjulang di kejauhan. Air sisa hujan dua hari terakhir masih menggenang di penjuru lahan gambut yang cowak-cowak itu.
Pemandangan pada Rabu siang, 20 Mei lalu, itu amat kontras dengan situasi tujuh bulan sebelumnya. Kala itu, sekitar pekan kedua November 2019, api melalap ladang BMH di tepi Sungai Sugihan itu.
Samson Bunyamin, Kepala Desa Riding, masih ingat betul kepanikan warga kala itu. Asap mengepul, menyerang kampung. “Angin kencang sekali.”
Jerebu juga menyergap Desa Jerambah Rengas, kampung di sebelah Riding. Muhammad Syukrie menggambarkan asap begitu pekat, putih kehitaman, membubung dari balik pepohonan.
Ketua Kelompok Tani Makmur Sejahtera ini juga pontang-panting. Bersama anggotanya, Syukrie bersiaga siang-malam, khawatir bara menjalar ke kebun mereka. “Ketika itu, pemadaman dengan air hampir tidak mungkin. Jadi kami bikin sekat bakar,” kata Syukrie.
BMH adalah pemasok bahan baku Asia Pulp and Paper (APP), perusahaan bubur kertas bagian dari kelompok usaha Sinar Mas. Di Ogan Komering Ilir, perseroan menguasai hutan produksi seluas enam kali luas wilayah DKI Jakarta.
Konsesi perusahaan di wilayah Desa Riding dan Desa Jerambah Rengas merupakan area produksi bagian utara. Luas blok konsesi ini 193.700 hektar, membujur dari utara ke selatan, dari Kecamatan Pangkalan Lapam hingga berujung di Kecamatan Cengal.
Satu blok lain mengiris Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang—sekitar 20 kilometer di sebelah selatan Kecamatan Cengal. Blok ini melintang seluas 57.300 hektar. Sisi utara Sungai Way Mesuji, batas Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung.
Dua blok ini jadi fokus perhatian liputan ini. Seperti area di sekitar Pangkalan Lapam, konsesi BMH di pinggir Sungai Way Mesuji terbakar hebat pada September-Oktober 2019. Norman—bukan nama sebenarnya—berkisah, ketika itu helikopter water bomber tak henti hilir mudik di langit Kecamatan Sungai Menang untuk memadamkan api.
Sewindu lebih bekerja di konsesi BMH, dia kerap sesak napas akibat sering menghirup asap.
Dia tak tahu persis dari mana api tahun lalu berasal. Dia hanya bisa menduga-duga itu ulah masyarakat. “Ada yang buang rokok saat memancing, atau mereka bakar semak buat cari kayu. Macam-macam,” katanya.
Namun analisis atas citra satelit menghasilkan dugaan berbeda. Sensor pendeteksi titik panas (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite dan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) mencatat empat titik panas atau hotspot muncul pertama kali dari konsesi BMH di koordinat 105.60354, -3.88019, wilayah Desa Gajah Mulya, pada 11 September 2019.
Tiga hari berikutnya, jumlah hotspot bertambah banyak ke arah utara hingga meluber ke luar konsesi.
Titik panas di sebelah barat, dekat Desa Gajah Mati, juga muncul pertama kali pada akhir September 2019 dari area konsesi perusahaan, tepatnya di koordinat 105.5217, -3.8708. Titik sinyal kebakaran ini meluas dan merembet ke utara hingga akhir Oktober 2019.
Peta konsesi PT Bumi Mekar Hijau bak kanvas penuh polkadot merah ketika ditampalkan dengan sebaran titik panas periode September-November 2019.
Citra satelit Sentinel-2 pada 9 November 2019 menunjukkan, gambaran lebih mencekam. Konsesi BMH di wilayah Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati itu berubah wajah. Lahan yang tadinya tampak hijau menjadi hitam kecokelatan.
Menurut ahli forensik kebakaran hutan dan lahan Bambang Hero Saharjo, analisis hotspot merupakan salah satu instrumen untuk membuktikan asal api. Munculnya hotspot pertama kali di area konsesi kerap menjadi alat bukti dalam perkara karhutla yang menjerat korporasi.
“Biasanya akan terlihat hotspot itu muncul bersamaan dengan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan,” kata Bambang Hero, yang kerap menjadi ahli kasus karhutla. “Ini bukti yang tak terbantahkan.”
Pagi itu, Senin, 24 Agustus lalu, tepat di batas konsesi BMH dalam area Desa Gajah Mati, Norman menunjukkan lokasi kebakaran pertengahan tahun lalu. “Di balik situ kanal-kanal baru dibangun, sekitar 500 meter dari sini,” katanya sambil menunjuk rerimbunan pohon gelam. “Harus dibikin kanal untuk mengeringkan lahan. Kalau enggak, banjir. Akasia lawannya cuma api dan air.”
***
Tak sekali itu saja konsesi BMH terbakar. Perseroan ini juga terjerat perkara karhutla pada 2014-2015 hingga dihukum membayar ganti rugi Rp78,5 miliar—jauh dari nilai gugatan perdata Rp7,8 triliun yang diajukan KLHK.
Api menghanguskan area 28.000 hektar. Pemasok kayu untuk Asia Pulp & Paper Sinar Mas—kelompok usaha milik taipan Eka Tjipta Widjaja yang meninggal awal tahun lalu pada usia 97 tahun—itu digugat dengan dua perkara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat BMH memakai hukum perdata, sementara Markas Besar Kepolisian menggunakan hukum pidana.
Bambang Hero, juga guru besar perlindungan hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini, menjadi anggota tim ahli untuk dua gugatan itu. “Saya ke lokasi kebakaran ketika api masih membara,” kata Bambang pada akhir Agustus lalu.
Api lama padam, menurut Bambang, karena perusahaan itu tak punya sarana dan prasarana untuk memadamkan api. Selain tak punya menara api, BMH hanya menyediakan enam personel pasukan pemadam, yang bekerja dengan dua sepeda motor butut dan tinggal di mes ala kadarnya.
Gugatan perdata itu bergulir ke pengadilan. Deliknya: Bumi Mekar Hijau tak serius mencegah kebakaran. Hakim Pengadilan Negeri Palembang menggelar sidang lapangan di lokasi kebakaran pada November 2015 atau setahun setelah kunjungan Bambang Hero ke lokasi kebakaran. Hakim mengundangnya dalam sidang itu.
Dengan kemegahan sarana-prasarana itu, sebulan kemudian, hakim memutuskan menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup. Hakim ketua Parlas Nababan membebaskan PT Bumi Mekar Hijau dari ancaman membayar ganti rugi materiel dan pemulihan lingkungan sebesar Rp 7,6 triliun. Dalam gugatan banding ke pengadilan tinggi, hakim mengabulkan permohonan, tapi nilai ganti rugi turun tinggal Rp 78 miliar.
Bambang menyarankan, KLHK mengajukan permohonan kasasi. Meski setuju dengan saran Bambang, kementerian tak kunjung mengirim dokumen gugatan hingga batas permohonan kasasi terlewati. “Alasannya relaas pemberitahuan (putusan) dari pengadilan hilang.,” kata Bambang. Putusan yang dieksekusi kemudian didasari putusan banding.
Kala itu, kepolisian sebenarnya sempat hendak menjerat perusahaan dengan pidana korporasi dalam kasus sama. Namun penyidikan sempat diumumkan ke awak media lima tahun lalu itu menguap tak jelas kelanjutannya.
Elim Sritaba, Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas menegaskan, perusahaan menanggapi serius isu karhutla di semua wilayah operasional unit bisnis dan pemasok.
Berkaca pada kasus 2015, katanya, APP Sinar Mas mengembangkan sistem penanggulangan kebakaran hutan terintegrasi. “Kebijakan konservasi hutan kami mewajibkan, antara lain, semua unit bisnis dan mitra pemasok kami tidak membuka lahan dengan cara dibakar,” katanya dalam jawaban tertulis, Kamis, 10 September lalu.
Namun temuan investigasi ini mengindikasikan hal sebaliknya. Pembukaan lahan diduga tengah berlangsung beberapa saat sebelum api membakar konsesi BMH di sekitar Desa Gajah Mulya dan Desa Gajah Mati. Titik panas pertama juga berada di sekitar lahan yang diduga sedang disiapkan untuk penanaman baru.
Dugaan ada pembukaan lahan itu terlihat dari penampakan kanal-kanal dan blok tanam baru yang terekam citra satelit sepanjang Juni-Agustus 2019. Kanal itu ditengarai dibangun bertahap sepanjang lebih dari 11 kilometer dari timur ke barat, membelah wilayah Desa Gajah Mulya, lalu Desa Gajah Mati.
Sebelumnya, pada Mei 2019, citra satelit masih merekam wajah area ini hijau polos tanpa bopeng.
Kalau ditampalkan dengan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) 2017, kanal sepanjang 2,8 kilometer yang dibangun paling akhir di sisi barat juga terindikasi membelah kawasan gambut lindung KHG Sungai Beberi-Sungai Way Mesuji. Padahal, sesuai Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 71/2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, wilayah lindung gambut semestinya hanya bisa untuk kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan jasa lingkungan.
Pasal 26 regulasi sama juga melarang pembukaan lahan baru dan saluran drainase di gambut lindung.
Citra satelit itu cocok dengan pernyataan Norman tentang pembangunan kanal oleh BMH untuk mengeringkan lahan. Penelusuran dengan kamera tersembunyi di pesawat nirawak pada akhir Agustus lalu juga dengan jelas menunjukkan wajah teranyar konsesi BMH di wilayah Sungai Menang.
Dari foto-foto udara itu terlihat hitamnya lahan yang terbakar tahun lalu sudah berganti dengan petak-petak tanam yang dibatasi kanal-kanal dengan lebar sekitar 9 meter. Jaringan kanal ini menjulur dari barat ke timur, berbelok ke kiri dan kanan, membentuk lambang petir raksasa.
Sejumlah blok tanam di sepanjang tepian kanal utama juga mulai tampak bergaris-garis, tanda sedang disiapkan untuk penanaman. Di sisi timur, masih di jaringan kanal baru yang sama, blok dan petak tanam serupa telah dipenuhi barisan akasia. “Cepat saja mengerjakannya. Perusahaan punya ekskavator banyak,” kata Norman.
Ketika hendak dimintai konfirmasi, kantor BMH di Jalan R. Soekamto, Kompleks PTC Nomor I/62, Palembang, Jumat, 4 September lalu, tampak lengang. Kantor yang berlokasi di kompleks ruko itu tertutup rapat. Seorang pekerja perusahaan lain yang berkantor di kompleks sama menyebutkan, BMH pindah beberapa bulan lalu.
Elim Sritaba menolak ditemui langsung. Dia memilih menanggapi permohonan konfirmasi secara tertulis. Sayangnya, Elim tak merespons semua pertanyaan dengan detail. Pertanyaan tentang kemunculan api di konsesi BMH, misal, tak dia jawab lugas.
Elim hanya mengatakan karhutla dan penangananya merupakan isu yang kompleks. “Meskipun kami tidak membuka lahan dengan cara dibakar, berdasarkan pengalaman kami, tidak tertutup kemungkinan muncul hotspot atau menjalar api di wilayah operasional kami,” katanya.
Ihwal kanal dan blok tanam baru yang diduga membelah gambut lindung, Elim juga tak menjawab tegas. Menurut dia, para pemasok kayu APP Sinar Mas telah menyerahkan peta gambut berdasarkan hasil pemetaan light detection and ranging dan menyurvei kedalaman gambut di konsesi masing-masing.
Para pemasok itu, katanya, menerima rencana kerja usaha (RKU) dengan revisi peta fungsi ekosistem gambut yang disetujui pemerintah. “RKU revisi ini menjadi acuan para pemasok APP dalam melakukan aktivitas di konsesinya.”
***
Bumi Mekar Hijau, hanya satu dari ratusan perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit dengan lahan diduga terbakar tahun lalu. Sedikitnya, ada 454 konsesi terindikasi terbakar. PT Kalimantan Prima Agro Mandiri (KPAM) dan PT Kumai Sentosa (KS) masuk daftar itu.
Lahan KPAM di Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, diduga terbakar hebat sekitar September 2019. Romanus Soekarno, 37 tahun, warga Desa Jambi, Kecamatan Manis Mata, menyaksikan sendiri kobaran api kala itu.
Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Jambi ini sedang berpatroli mengendarai sepeda motor ketika seorang anggota organisasinya menelepon dan mengabarkan soal kebakaran di sisi timur Sungai Berais. Sungai ini membelah konsesi KPAM dan area nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) yang saban hari dipantau MPA Desa Jambi.
Menurut Karno—panggilan Romanus Soekarno—semua anggota MPA berupaya memadamkan api yang mulai merambat ke area HCV itu. “Tapi tinggi api lebih dari 10 meter. Kami hanya bisa pasrah,” katanya ketika ditemui akhir Agustus lalu. Pegawai perusahaan, katanya, juga dikerahkan dari kantor yang berlokasi di sisi utara area terbakar.
Pada masa-masa kebakaran itu, malam hari menjadi pemandangan tak terlupakan bagi Madi, anggota MPA Desa Jambi. “Apinya merah sekali.”
Pengalaman buruk juga membekas di ingatan Maria Septiana, istri Karno. Dia harus menyewa perahu cepat, berlayar selama 20 menit menyusuri Sungai Jelai, untuk mendatangi dokter terdekat di Kecamatan Sukamara. Putrinya yang kedua mengalami sesak napas gara-gara terpapar asap. “Dia tidak bisa mengeluarkan suara,” kata Maria.
Seperti halnya Bumi Mekar Hijau, KPAM ditengarai tengah membuka lahan untuk area penanaman baru ketika api berkobar.
Citra satelit pada 14 September 2019 menguatkan dugaan ini. Petak-petak kebun yang dua bulan sebelumnya tak ada ketika itu mulai berjajar rapi di bagian selatan konsesi. Pada periode itu, blok tanam baru ini masih terpisah dari blok tanam lama yang diduga dibuka pada 2018. Lahan di antara dua kebun itulah yang tergambar bak kawah, dengan lidah api menjulur ke angkasa, sepekan kemudian.
Pada akhir Agustus lalu, pemandangan di area konsesi KPAM sudah jauh berbeda. Bekas kobaran api tak ada lagi di lahan sama. Lahan kosong yang tadinya terbakar berubah jadi petak tanam baru. Sawit-sawit muda berderet di atasnya. Di petak lain, ajir atau kayu pancang penanda rencana penanaman juga telah berbaris rapi. Dua truk penuh sawit muda tampak menuju lokasi itu.
Carl Dagenhart, Head of Stakeholder Engagement IOI Corporation Berhad, induk perusahaan KPAM, berjanji memberikan jawaban tertulis untuk merespon permohonan wawancara dan konfirmasi tentang kebakaran di konsesi KPAM pada 2019.
“Kami sedang mengumpulkan informasi yang relevan,” kata Dagenhart lewat surat elektronik, 10 September lalu. Namun, hingga Sabtu sore, 12 September lalu, jawaban yang dijanjikan tak kunjung tiba.
***
Bara api pun terjadi di PT Kumai Sentosa, pada 2019, area perusahaan sawit ini berlokasi di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Tak mudah pergi ke desa ini, perlu empat jam pelayaran dengan perahu kelotok sewaan dari pesisir Teluk Kumai untuk sampai ke desa yang dikelilingi Taman Nasional Tanjung Puting itu. Tak ada sarana transportasi laut reguler di sana.
Pada Ahad siang, 9 Agustus lalu, suasana Desa Sungai Cabang jauh berbeda dibanding setahun lalu. Di belakang kampung ini membentang kebun sawit seluas 11.890 hektar milik Kumai Sentosa. Setahun lalu, sekitar Agustus 2019, api membara hingga diduga menghanguskan lebih dari separuh luas konsesi perusahaan.
Indirayanto, warga Sungai Cabang, tak ingat persis kapan api bermula. Yang jelas, kala itu warga Sungai Cabang tengah berbaur dengan karyawan perusahaan dalam pertandingan voli untuk perayaan peringatan Kemerdekaan Indonesia. Seketika perlombaan buyar. Manajemen Kumai Sentosa memanggil semua karyawan untuk memadamkan api di lahan perusahaan.
Sejak itu, ucap Indirayanto, situasi menjadi genting. Api menjalar cepat, menerjang kebun pisang, kelapa, jengkol, sengon, jabon, hingga karet milik masyarakat yang memanjang 11 kilometer hanya dalam hitungan hari. “Biasanya tidak selejang itu. Tidak habis kebun. Yang ini habis,” katanya.
Seorang warga Sungai Cabang yang enggan disebutkan namanya membenarkan cerita Indirayanto. Kala itu, dia masih bekerja sebagai buruh harian di Kumai Sentosa hingga ikut dalam rombongan yang dikerahkan perusahaan untuk pemadaman.
Menurut dia, peralatan yang tersedia tak memadai untuk melawan kobaran api. “Saat memadamkan, (mesin) Robin pecah. Ada juga yang ikut terbakar,” katanya. “Kami pulang, motor seperti berjalan di atas api. Sebulan memadamkan, saya berhenti kerja.”
Analisis citra satelit menemukan hotspot pertama kali muncul secara bersamaan pada 21 Agustus 2019 di luar dan di dalam area perusahaan. Titik panas di luar konsesi ini berada di taman nasional. Namun jarak kedua hotspot ini sekitar 5,5 kilometer.
Lahan di konsesi Kumai Sentosa diduga baru dibuka secara masif sebelum kebakaran, termasuk berupa pembangunan kanal. Hotspot di konsesi perusahaan bahkan pertama kali muncul di kanal yang ditengarai baru selesai digaruk pada pekan ketiga Juni 2019.
Yang menarik, 10 titik panas pertama ini muncul berbaris dua banjar dengan jarak beraturan.
Kanal baru itu menambah panjang jaringan yang terbangun sejak 2018. Kalau ditampalkan dengan peta Kesatuan Hidrologis Gambut 2017, terlihat jelas saluran air yang memanjang dari utara ke selatan ini mencabik fungsi lindung KHG Sungai Buluh Besar. Kini, lokasi itu sudah ditanami. Sawit-sawit muda mulai tertancap di sejumlah blok tanam. Di sisi barat, kanal selebar 10 meter menjadi batas area konsesi dan taman nasional.
Hingga laporan ini diturunkan, manajemen Kumai Sentosa tak merespon surat permohonan wawancara. Surat yang dikirim ke kantor perseroan di Jalan Raya Sungai Tendang, Kumai, Kotawaringin Barat, pada Rabu, 9 September lalu, tak berbalas. Kantor itu hanya berupa rumah, tanpa plang perusahaan, yang berdiri di atas tanah lapang. Deretan ekskavator hijau terparkir di depannya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memproses hukum Kumai Sentosa. Kepada awak media, Rabu, 12 Agustus lalu, kuasa hukum Kumai Sentosa, Tahmijudin, menyatakan, kliennya akan kooperatif menghadapi perkara pidana karhutla yang segera sidang di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. “Nanti kita lihat fakta-fakta persidangan,” katanya.
***
Auriga Nusantara, kelompok sipil pemantau tata kelola sumber daya alam, mencatat setidaknya terdapat 29 korporasi yang menjadi tersangka pidana kebakaran hutan dan lahan yang terakumulasi sejak 2015. Dari jumlah itu, hanya 10 telah dibawa ke pengadilan.
“Enam divonis bersalah, dua bebas, dan dua lain masih dalam persidangan,” kata Syahrul Fitria, Direktur Media dan Komunikasi Auriga, Jumat, 4 September lalu.
Sisa perkara yang tak disebutkan Syahrul adalah enam kasus yang masih dalam penyidikan dan dua kasus penyelidikan dihentikan. Sisanya, sebelas kasus tidak jelas. “Menghilang begitu saja,” kata Syahrul. “Salah satunya kasus pidana BMH.”
Hasil gugatan perdata tampak lebih menggembirakan. Dari 50 perusahaan yang digugat karena diduga membakar lahan konsesi sepanjang 2014, sebanyak 17 korporasi harus membayar ganti rugi. Total Rp17,82 triliun.
Dari jumlah itu, sembilan perusahaan divonis bersalah dan wajib membayar biaya ganti rugi serta pemulihan lahan Rp3,45 triliun. Dari semua putusan itu, hanya Rp269,8 miliar bisa dieksekusi, yaitu dari PT Riki Kurniawan Kartapersada dan Bumi Mekar Hijau.
Menurut Syahrul, eksekusi putusan pengadilan sulit karena KLHK tidak menyertakan permintaan sita aset dalam persidangan. Akibatnya, meski menyatakan bersalah, hakim tak menyertakan permintaan sita aset kepada perusahaan-perusahaan itu.
Akibat lain, mereka bisa mangkir membayar denda karena tak ada aset sebagai jaminan pengganti.
Ketika api sedang besar-besarnya membakar hutan dan lahan di sejumlah daerah, Oktober 2019, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK mengumumkan penyegelan 64 konsesi perusahaan. Ketika itu, delapan korporasi juga sebagai tersangka.
Namun api yang diduga kembali membakar area produksi BMH tak tersentuh penegak hukum. Harianto, Kepala Seksi Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah III Sumatera mengatakan, tim sedang menangani sengketa kebakaran hutan dan lahan terhadap 14 perusahaan pemilik konsesi perkebunan dan kehutanan.
“Semua dikenai sanksi administrasi. Beberapa sedang ditingkatkan ke ranah perdata, ada juga yang ditangani polisi untuk gugatan pidana,” katanya. “Kasus Bumi Mekar Hijau ditangani langsung oleh pusat.”
Di Jakarta, tak satu pun pejabat di Direktorat Jenderal Gakkum KLHK yang bersedia diwawancarai. Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup Jasmin Ragil Utomo, belum mau berkomentar. “Saya masih sibuk,” katanya, Kamis, 3 September lalu.
Begitu pula Direktur Penegakan Hukum Pidana Yazid Nurhuda yang meminta permohonan wawancara kepada atasannya. Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Gakkum KLHK tak menjawab pesan dan menolak panggilan telepon.
Di kepolisian, Kepala Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Supriadi memastikan lembaganya tak menangani kasus karhutla di BMH. “Kami sudah menetapkan satu korporasi sebagai tersangka kebakaran hutan, tapi bukan Bumi Mekar Hijau,” katanya.
Hingga berita ini ditulis, manajemen BMH juga belum bisa dimintai konfirmasi.
Chief Sustainability Officer Asia Pulp & Paper Sinar Mas Elim Sritaba mengatakan perusahaan sudah mewajibkan unit bisnis dan pemasok bahan baku membuka lahan dengan benar. “Tidak dengan cara membakar,” katanya melalui keterangan tertulis.
Nasib Kumai Sentosa memang berbeda dengan Bumi Mekar Hijau dan Kalimantan Prima Agro Mandiri. Area sama-sama diduga terbakar hebat pada 2019, tetapi hanya Kumai yang terseret ke meja hijau. Dua perusahaan lain yang terafiliasi dengan raksasa kertas maupun sawit itu seolah-olah tak tersentuh.
Tim kolaborasi: Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika (Tempo), Kepala proyek: Agoeng Wijaya (Tempo), Penulis dan penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Ibrahim Arsyad, Aseanty Widaningsih Pahlevi, Aisha Shaidra (Tempo); Kennial Laia (Betahita); Lusia Arumingtyas, Budi Baskoro (Mongabay); Aidila Razak, Koh Jun Lin (Malaysiakini), Tim multimedia: Krisna Adhi Pradipta, Harfin Naqsyabandy, Harry Amijaya (Tempo), Tim analisis data: Dedi Pratama Sukmara, Yustinus Seno, Sesil Maharani, Hafid Azi Darma (Auriga Nusantara), Agoeng Wijaya (Tempo), Koh Jun Lin (Malaysiakini).
***
Keterangan foto utama: Kebakaran di konsesi PT Kumai Sentosa pada 5-22 Agustus 2019
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id