Fenomena terjadinya penurunan tanah atau land subsidence di daerah pesisir Pantai Utara (Pantura) seperti di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, kian memprihatinkan. Catatan Badan Geologi Kementerian ESDM, sepanjang 2020 saja penurunan tanah terjadi sekitar 6 cm per tahun.
Hal itu berdasarkan hasil penyelidikan geologi terpadu di Pantura meliputi daerah Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, dan Demak.
“Jadi, fenomena geologi di sepanjang Pantura ini menarik sekali di mana kami semua para peneliti sepakat di sana ada penurunan. Cuma memang besarannya ada yang bervariasi ada yang 9 cm, 10 cm itu tergantung dari pengukurannya,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono pada diskusi virtual Badan Geologi yang diselenggarakan Rabu (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sejumlah daerah di Pantura tersebut, Kota Pekalongan menjadi sorotan. Lantaran kota batik tersebut mengalami penurunan tanah sehingga berdampak terhadap banjir rob.
“Kami dari Badan Geologi sudah membuat alat pantau sejak tahun 2020 lalu. Kita memantau sejak Maret, lalu Juli ada penurunan 1,3 cm, Agustus 2,3 cm, dan September 2,7 cm sehingga total penurunan selama setahun 6 cm,” papar Budi.
Sementara berdasarkan temuan tim peneliti ITB, hasil penurunan tanah di Pekalongan bisa mencapai rata-rata 10 cm per tahun bahkan maksimal 17 cm. Pengukuran tersebut memakai alat global positioning system (GPS).
Terkait hal itu, Budi menjelaskan bahwa hasil pengukuran penurunan tanah bisa berbeda tergantung dari metode pengukurannya. Namun terlepas dari perbedaan itu, yang jelas seluruh peneliti sepakat bahwa telah terjadi penurunan muka tanah di kawasan Pantura.
“Mengenai perbedaan ini tidak dijadikan persoalan, justru saling melengkapi saja. Barangkali variasinya ini tidak merata 6 cm semua. Barangkali penurunannya ada yang cepat dan lambat, tergantung dari kondisi geologinya,” ujar Budi.
Sementara itu, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani melihat penurunan muka tanah di kawasan Pantura disebabkan luasnya sebaran tanah lunak di daerah itu. Tercatat ketebalan tanah lunak di Pekalongan mencapai 40 meter di bawah permukaan.
“Jadi penyebab penurunan tanah di Pekalongan ini karena keberadaan tanah lunak ada pada daerah itu. Berdasarkan kajian geofisika tim kami, ketebalan tanah lunak itu hingga 40 meter di bawah permukaan. Memang menunjukkan ke arah utara semakin tebal, hasil analisa kami pun menyimpulkan penurunan tanah ke arah utara semakin tinggi,” paparnya.
Andiani menjelaskan, ada dua patok yang dipasang di Pekalongan untuk menghitung penurunan tanah yang terjadi. Tahun ini, pihaknya berencana memasang lagi beberapa patok agar mengetahui persis berapa sebetulnya penurunan tanah di daerah tersebut.
Dia juga menampik dugaan bahwa penurunan tanah di kawasan itu disebabkan karena adanya eksploitasi air tanah yang berlebih. Pasalnya, letak lokasi industri dengan area rawan penurunan tanah tidak berdekatan.
“Berdasarkan kajian kami, meskipun ada pengambilan air tanah di daerah industri, proses penurunan air tanah tidak berhimpit dengan penurunan tanah. Sehingga kami tidak menganggap karena penurunan tanah,” ujarnya.
Selain itu, Andiani menyatakan bahwa penurunan tanah di Pekalongan tidak disebabkan oleh gempa tektonik. Sebab, tidak ada gempa berskala besar yang terjadi di kawasan tersebut.
“Benar-benar karena faktor sebaran tanah lunak tersebut,” ujar dia.
Adapun kajian geologis hasil pemantauan penurunan tanah tersebut sudah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi hingga Pemda setempat. Sejumlah rekomendasi diberikan meliputi upaya mitigasi, adaptasi, dan monitoring.
“Sebetulnya kajian kami sejak Maret sampai September sudah kami lakukan sosialisasi kepada seluruh KL dan Pemprov dan Pemkot Pekalongan terkait dengan amblesan tanah. Rekomendasi sudah kami lakukan dan tetap komunikasikan dengan mereka,” tutur Andiani.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT