Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur mencatat 40 nyawa manusia melayang karena keberadaan lubang bekas tambang di Benua Etam -sebutan Kalimantan Timur.
Hilangnya puluhan nyawa manusia terdata sejak 2011 lalu hingga 2021. Jatam menyebut fakta tersebut menunjukkan bahwa selama satu dekade semenjak kejadian pertama, kasus ini belum diselesaikan tuntas.
“Makanya kami enggak berhenti menuntut pemerintah agar persoalan ini segera diatasi,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (8/11) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masih menukil data dari Jatam Kaltim, Samarinda menjadi daerah terbanyak kasus hilangnya nyawa di lubang bekas tambang. Dari 40 kasus yang ada, sebanyak 23 perkara berasal dari ibu kota Provinsi Kaltim ini.
Kasus kematian lain berasal dari lubang tambang di Kutai Kartanegara (Kukar) sebanyak 13 perkara dan satu kasus masing-masing dari Kutai Barat (Kubar) dan Penajam Paser Utara (PPU). Sementara di Paser ada dua kasus.
Catatan kematian di lubang tambang versi Jatam turut memasukkan kasus pada 22 Agustus 2019 di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kukar. Saat itu Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim menjamin lokasi kejadian bukan lubang bekas tambang. Jatam mengaku tetap memasukkan kasus itu karena lokasinya tak jauh dengan konsesi perusahaan tambang.
“Paling baru yang dari korban Samarinda akhir Oktober lalu,” sebutnya.
Dari semua kejadian yang ada, kata dia, sebanyak 33 kasus itu berasal dari kalangan remaja dan anak-anak. Sisanya orang dewasa.
Rupang menyebut Jatam Kaltim mencatat ada 1.735 lubang bekas tambang batu bara menganga di Bumi Mulawarman. Ribuan lubang-lubang itu tersebar di berbagai kabupaten/kota di Kaltim.
Kukar menjadi daerah paling banyak lubang tambang yakni 842 lubang. Lalu Kota Tepian Samarinda menyusul dengan 349 lubang, sementara di Kabupaten Kutai Timur terdapat 223 lubang. Sisanya ada di kawasan seperti Paser, PPU hingga Berau.
Jatam menyayangkan urusan tambang sekarang bukan lagi tanggung jawab pemerintah daerah, melainkan melekat di pemerintah pusat.
“Tapi pemerintah di daerah jangan berlindung di balik kebijakan tersebut. Kan masih ada fungsi pengawasan. Nah, pemprov bisa memberikan advis sebagai perpanjangan tangan pusat. Itu yang namanya supervisi,” tuturnya.
Dengan kata lain, lanjut Rupang, pemda tak bisa berdiam diri. Jika ada perusahaan yang bandel, kepala daerah punya tanggung jawab untuk menegur.
Jatam juga mendorong gubernur memberikan rekomendasi kepada pusat, terkait kinerja perusahaan tambang di daerah.
“Jadi jangan sampai ada sesat pikir. Persoalan ini harus tuntas, agar perkara serupa tidak terjadi lagi. Ingat, lubang bekas tambang itu bak magnet bagi anak-anak untuk berenang, jadi jangan salahkan mereka,” kata Rupang.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT