Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia memiliki ‘harta karun’ super langka atau dikenal dengan Logam Tanah Jarang (LTJ) atau rare earth element (RRE). Jumlahnya tak tanggung-tanggung, total potensi logam tanah jarang di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 miliar ton.
Hal tersebut berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 2015, dikutip dari “Kajian Potensi Mineral Ikutan pada Pertambangan Timah” yang dirilis Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM 2017.
‘Harta karun’ super langka ini akan semakin diincar dunia ke depannya karena dibutuhkan untuk bahan baku komponen teknologi canggih, seperti baterai, telepon seluler, komputer, industri elektronika, pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), hingga peralatan senjata atau industri pertahanan dan kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari ke-17 unsur logam tanah jarang, enam unsur di antaranya sangat diperlukan untuk pengembangan kendaraan listrik, yaitu lanthanum (La), cerium (Ce), neodymium (Nd) untuk baterai, praseodymium (Pr), neodymium (Nd), terbium (Tb), dan dysprosium (Dy) untuk generator dan motor listrik.
“Lokasinya tersebar di Pulau Sumatera (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), Pulau Kalimantan (terutama Kalimatan Barat dan Kalimantan Tengah), Pulau Sulawesi dan Pulau Papua) dengan perkiraan total potensi mencapai 1,5 miliar ton,” ungkap ringkasan eksekutif “Kajian Potensi Mineral Ikutan pada Pertambangan Timah” yang dirilis Kementerian ESDM pada 2017 lalu.
Dari kajian yang dilakukan, diketahui bahwa untuk mendapatkan LTJ tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu mendapatkan dari hulu penambangan timah dengan kadar yang lebih besar dan biaya lebih murah, dan dari pengolahan slag timah dengan kadar yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang pertama dan biaya yang lebih tinggi.
Bahkan, bila Indonesia menggarap dan mengeksploitasi LTJ ini dengan serius, Indonesia diprediksi bakal menjadi pesaing utama China dalam memenuhi permintaan LTJ dunia.
Perlu diketahui, China merupakan penghasil LTJ terbesar di dunia saat ini. Pasalnya, China memiliki endapan LTJ dalam bentuk primer berupa produk sampingan dari tambang bijih besi, dan sekunder berupa endapan aluvial dan endapan lateritik.
“Perolehan LTJ akan jauh lebih besar jika dilakukan dari sejak hulu penambangan timah, mampu mencapai 74% pada tahun 2045, dan Indonesia diprediksi akan menjadi pesaing utama China dalam memenuhi demand dunia,” bunyi kajian tersebut.
Dari pengolahan slag, enam kadar yang tertinggi yang dapat di-recovered adalah cerium (16.400 part per million, ppm), yttrium (13.900 ppm), lanthanum (7.470 ppm), neodymium (6.470 ppm), dysprosium (2.210 ppm), dan praseodymium (1.810 ppm).
Jika kapasitas smelter untuk pengolahan slag ini ditingkatkan hingga 3.000 ton per tahun, maka akan dapat memenuhi permintaan dunia hingga 1,13% pada 2045 sebesar 360 ribu ton. Kapasitas 10.000 ton per tahun dapat memenuhi permintaan dunia sekitar 4,23% pada tahun 2056 sebesar 437 ribu ton.
Namun sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih belum mengeksploitasinya.
Agar ramalan ini bisa terwujud, maka pemerintah dinilai perlu mengeluarkan regulasi khusus terkait pengelolaan LTJ, termasuk pembangunan industri pengolahan dari hulu penambangan timah hingga smelter.
“Untuk bisa mengembangkan pemanfaatan LTJ ke depan dengan lebih baik dan menyelesaikan permasalahan dalam pengolahan LTJ adalah perlu adanya regulasi yang khusus mengatur pengelolaan LTJ termasuk pembangunan industri pengolahan dari sejak hulu penambangan timah hingga smelter yang dibutuhkan,” ungkap kajian tersebut.
Perlu diketahui, hingga saat ini pun Pemerintah Indonesia belum juga mengeluarkan regulasi khusus terkait pengelolaan logam tanah jarang.
Namun demikian, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin sempat mengatakan bahwa saat ini pemerintah telah membentuk tim bernama tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang. Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun Instruksi Presiden (Inpres) untuk mempercepat pengembangan dan hilirisasi logam tanah jarang.
“Tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang dan penyusunan Inpres percepatan hilirisasi LTJ. Bapak, Ibu, dan teman-teman yang berminat partisipasi pada kesempatan lain, mari bersama-sama susun regulasi ini,” tuturnya dalam sebuah Webinar ‘Mineral for Energy’ pada Jumat (10/09/2021).
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono juga sempat mengatakan, kendala utama dalam pengembangan LTJ ini adalah infrastruktur, belum adanya data cadangan, dan juga tata kelola belum diatur.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT