Dari awal Rusia telah mengingatkan agar Ukraina berhenti bermimpi menjadi anggota NATO. Bagi Rusia, Georgia, Belarus, dan Ukraina adalah ”buffer states” dan tak akan membiarkan ketiga negara itu bergabung dengan NATO.
Didie SW
Harian Wall Street Journal terbitan 3 April 2022 menulis bahwa lima hari sebelum serangan militer Rusia ke Ukraina, 24 Februari lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz telah mengingatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk membatalkan niatnya bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun, peringatan diabaikan dan perang terjadi. Puluhan ribu orang jadi korban sia-sia.
Dari awal Rusia telah mengingatkan agar Ukraina berhenti bermimpi menjadi anggota NATO. Ini masalah realpolitik. Rusia tak keberatan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa (UE). Keanggotaan Ukraina dalam NATO secara geopolitik dan geostrategis merupakan ancaman nyata di depan pintu Rusia. Bagi Rusia, Georgia, Belarus, dan Ukraina adalah buffer states dan tak akan membiarkan ketiga negara itu bergabung dengan NATO.
John Mearsheimer, profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, dalam artikel sepanjang 12 halaman yang dimuat majalah terkenal Foreign Affairs edisi September 2014 dan diulangi pada pernyataannya yang ditayangkan saluran Youtube beberapa minggu lalu, telah mengingatkan hal itu.
Dari awal Rusia telah mengingatkan agar Ukraina berhenti bermimpi menjadi anggota NATO.
Mearsheimer mengatakan, awalnya Rusia dengan berat hati menerima keanggotaan Ceko, Hongaria, dan Polandia tahun 1999, diikuti dengan Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Romania, Slowakia, dan Slovenia tahun 2004. Namun, ketika KTT NATO 2008 di Bucharest memutuskan untuk menerima Georgia dan Ukraina—meski tidak menyebut waktunya—Rusia kehilangan kesabaran.
Wakil Menlu Rusia Alexander Grushko mengatakan, ”Keanggotaan Georgia dan Ukraina dalam NATO merupakan kesalahan sangat besar yang akan membawa konsekuensi serius pada keamanan pan-Eropa.”
Vladimir Pozner, wartawan Swiss keturunan Amerika-Rusia, menyatakan, selama 2000- 2007, Presiden Putin tak pernah mengganggu kepentingan Barat. Bahkan, pasca-serangan 911 tahun 2001, Putin mengizinkan wilayah udaranya dilewati pesawat militer AS ke Afghanistan untuk tujuan kemanusiaan dan Rusia diketahui memberikan data intelijen kepada AS.
Baca juga: Siap-siap Masuk Dekade Perang Dingin Ekonomi
Jauh sebelumnya, Rusia juga berkeinginan untuk bergabung dengan NATO. Tahun 1991, Presiden Borris Yeltsin telah menulis surat ke markas besar NATO di Brussels dan menyatakan keinginan Rusia untuk bergabung dengan organisasi itu, tetapi ditolak. Tahun 2002, NATO-Russia Council (NRC) dibentuk dalam KTT NATO-Rusia di Roma, sekaligus menggantikan Permanent Joint Council (PJC) yang didirikan tahun 1997.
Sebagaimana PJC, NRC dibentuk sebagai forum/mekanisme konsultasi, upaya mencari konsensus, kerja sama, keputusan, dan tindakan bersama berdasarkan asas kesetaraan.
Pada Mei 2002, Presiden George Bush dan Presiden Putin menandatangani The New Strategic Relationship, sebuah perjanjian tingkat tinggi yang bertujuan agar kedua negara dapat bekerja sama dalam menghadapi tantangan global.
NATO ingkar janji
Pada pertemuan antara Menlu AS James Baker dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev tahun 1990, kedua pemimpin sepakat NATO tak akan memperluas keanggotaannya ke Timur. Prof Johua Shifrinson menemukan fakta di Arsip Nasional Inggris, dimuat der Spiegel 28 Februari, pada 1991 terjadi pertemuan pejabat setingkat eselon 1 bidang politik negara-negara anggota NATO.
Dikutip Assistant Secretary of State untuk wilayah Eropa dan Kanada, Raymond Seitz, yang mengatakan, ”NATO tidak akan memperluas keanggotaannya ke Timur, resmi atau tidak resmi. Kita tidak ingin menarik keuntungan dan mundurnya tentara Uni Soviet dari Eropa Timur.” Beberapa negara eks anggota Pakta Warsawa dan pecahan Soviet kenyataannya telah bergabung dengan NATO.
Kemarahan Putin
KTT NATO 2008 di Bucharest membuat kesabaran Putin habis dan tak percaya lagi kepada NATO. Intinya, Rusia tak akan membiarkan Ukraina menjadi anggota NATO at all cost.
Ketika Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang pro-NATO mulai melakukan serangan militer ke dua wilayah yang memisahkan diri, Ossestia Selatan dan Ankhazia, Rusia melakukan intervensi. Serangan Rusia tidak dimaksudkan untuk menduduki Georgia, tetapi memberikan sinyal agar negara itu jangan sekali-kali masuk menjadi anggota NATO.
Baik Putin maupun Zelenskyy tampaknya salah perhitungan.
Kebetulan keadaan yang sama terjadi pada Ukraina. Ketika dua wilayah Ukraina, Donetsk dan Luhansk, menyatakan kemerdekaan dan segera diakui parlemen Rusia (DUMA) 21 Februari, Rusia segera melancarkan aksi militernya pada 24 April, disebut sebagai special military operation untuk demilitarize and denazify Ukraina. Tujuan sebenarnya untuk memaksa Presiden Zelenskyy menyerah dan menyatakan Ukraina negara netral atau mengganti Zelenskyy dengan pemimpin pro-Kremlin.
Baik Putin maupun Zelenskyy tampaknya salah perhitungan. Putin memperkirakan Ukraina bisa ditaklukkan dalam beberapa hari. Kenyataannya, sampai saat ini perang belum selesai, bahkan tersebar isu Putin marah kepada Menhan Sergei Shoygu. Shoygu diberitakan menderita stroke dan absen di publik selama seminggu.
Sebaliknya, Zelenskyy merasa yakin dirinya akan mendapat dukungan dari Israel dan NATO. Zelenskyy yang keturunan Yahudi dikenal sangat dekat dengan Israel dan membela Israel dalam konflik Israel-Palestina. Kenyataannya, PM Israel Naftalli Bennett berkunjung ke Kremlin, 5 Maret, dan mengadakan pembicaraan dengan Putin selama tiga jam.
Baca juga:Disrupsi Rantai Pasok Mengancam Pemulihan
PM Israel paham Rusia negara dengan penduduk keturunan Yahudi terbesar keempat setelah Israel, AS, dan Jerman. Saat ini diperkirakan ada sekitar 160.000 warga negara Rusia keturunan Yahudi. Zelenskyy juga mengira NATO tak akan membiarkan Ukraina jatuh ke tangan Rusia. Kenyataannya, NATO secara jelas menyatakan tak ingin terlibat perang langsung dengan Rusia kecuali mengirimkan peralatan perangnya.
Solusi dan peran Indonesia
Pertama, Ukraina jadi negara netral. Hal ini juga diindikasikan oleh Zelenskyy setelah melihat keengganan NATO membantu Ukraina walau sudah terlambat. Kuncinya adalah face-saving formula, baik untuk Zelenskyy maupun Putin. Kedua negara kembali ke Minsk Agreement dengan beberapa amendemen disesuaikan pascakonflik. Ketiga, NATO menyatakan pihaknya tidak akan memasukkan Ukraina sebagai anggotanya. Tidak mudah.
Sebagai Ketua G20 dan traditional leader ASEAN serta Non-Blok, Indonesia berada dalam posisi yang tepat untuk memfasilitasi perundingan ke jalan damai.
Sebagai Ketua G20 dan traditional leader ASEAN serta Non-Blok, Indonesia berada dalam posisi yang tepat untuk memfasilitasi perundingan ke jalan damai. Indonesia punya banyak pengalaman dalam hal ini. Model kerja sama ASEAN dapat juga ditawarkan. ASEAN juga didirikan pascakonflik ”konfrontasi” Indonesia-Malaysia dan ketidakharmonisan negara-negara di Asia Tenggara.
Belum lagi tingkat kompleksitas ASEAN jauh lebih tinggi. Kerja sama Euro Asian Economic Union (EAEU) yang beranggotakan lima negara, yaitu Rusia, Belarus, Kazakhstan, Armenia, dan Kirgistan, dapat mengikutsertakan Ukraina.
M Wahid Supriyadi, Dubes RI untuk Rusia dan Belarus 2016-2020, Penerima Diploma of Visiting Professor of International Relations dari Tomsk State University
Harian Kompas adalah surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta. Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang didirikan oleh P.K. Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama sejak 28 Juni 1965.
Mengusung semboyan “Amanat Hati Nurani Rakyat”, Kompas dikenal sebagai sumber informasi tepercaya, akurat, dan mendalam.