xkonservasi, xLingkungan Hidup
3 November 1999. Ini merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Morowali, Sulawesi Tengah. Pada tanggal itu, secara resmi mereka berpisah dari Kabupaten Poso dan membentuk wilayah administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali. Ibukotanya terletak di Bungku. Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf K, kabupaten ini tepat berada pada ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo dan Laut Banda, Maluku.
Sebelah selatan Morowali cukup dekat dengan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas wilayah Morowali adalah 14. 489,62 km². Karena begitu luas, pada tahun 2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara. Ibukotanya di Kolonedale.
Tanah di Kecamatan Bahodopi, Bungku Selatan, Bungku Pesisir, dan wilayah lainnya di Morowali kaya akan nikel. Permukaan tanah dengan mudah dijumpai nikel. Kiri-kanan jalan. Baik yang berada dekat pantai atau pun kawasan hutan. Pelabuhan-pelabuhan kecil dengan kapal yang masih tersandar terlihat jelas. Tumpukan ore (bahan mentah nikel) membentuk bukit seperti sedang baris-berbaris. Dengan mata telanjang semua pemandangan tersaji di pinggir jalan. Tak heran, ratusan perusahaan dalam dan luar negeri berdatangan mencari nikel di Morowali.
Menurut Andika, aktivis lingkungan dan salah satu peneliti muda dari Sulawesi Tengah, sejarah pertambangan nikel di Morowali dimulai sejak lama. Ia menyebut di tahun 1600-an, perdagangan biji besi bercampur nikel sudah dilakukan. Ini mengalahkan reputasi besi dari China maupun pembuatan keris oleh pengrajin di pulau Jawa.
Dalam penelitiannya, Andika menjelaskan bahwa pemanfaatan galian bahan-bahan mineral diperkirakan telah dipraktikan oleh kerajaan Mori, sebuah kerajaan besar di Morowali. Telah ada aktivitas perdagangan tembaga pada kerajaan pedagang Belanda dan Inggris di Pelabuhan Kolonedale tahun 1600-an. Ketika itu, perang pecah dengan kerajaan Luwu. Kerajaan Mori berhasil ditaklukan. Banyak orang Mori dimanfaatkan keterampilannya untuk membuat tembaga dan diperdagangkan dengan kerajaan Majapahit di tanah Jawa.
“Saat itu, usaha-usaha pemanfaatan sumber daya mineral dilakukan secara tradisional. Belum mengenal suatu konsep ekstraktif yang haus lahan. Bahan tambang diusahakan dalam galian skala kecil memanfaatkan sifat mineral yang laterit atau berada dipermukaan untuk usaha penempahan besi dan perdagangan logam senjata. Terutama, bagi kebutuhan peralatan perang misalnya, mata tombak, pedang, dan yang terbuat dari tembaga. Usaha itu dilakukan melalui keterampilan melebur besi,” ungkap Andika kepada Mongabay, Sabtu (14/02/2015).
Berebut nikel di Tanah Morowali
Usai ketegangan politik di Jakarta tahun 1965, Morowali yang tenang tiba-tiba didatangi oleh dua perusahaan tambang raksasa internasional; Rio Tinto dan PT. Inco. Dua perusahaan ini mendapatkan Kontrak Karya Pertambangan pada generasi ketiga setelah PT. Freeport di tanah Papua.
Tahun ini merupakan awal rezim orde baru berkuasa di Indonesia yang ditandai dengan dibukanya modal asing yang diperkuat melalui Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Lalu disusul dengan Undang-undang No 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Morowali yang jaraknya sangat jauh dari Jakarta menjadi sasaran empuk dari regulasi ini.
“Ini merupakan periode yang penting karena kehadiran Rio Tinto dan PT. Inco sejak 1968 hingga kini di Kabupaten Morowali. Perusahaan raksasa itu berekspansi secara serius di Sulawesi Tengah,” ujar Andika.
Menurutnya, hingga saat ini Rio Tinto belum melakukan operasi produksi. Belum terjadi perkembangan yang menunjukan proses ke komersialisasi nikel, baik di lapangan maupun dalam proses perizinan. Perusahaan masih lebih banyak melakukan proses kampanye persiapan awal penyelidikan umum dan pra konstruksi. Berbeda dengan PT. Inco yang terus memberikan sinyal aktivitas pertambangan di Blok Bahodopi Morowali.
Kontrak Karya (KK) Pertambangan pertama ini didapatkan oleh PT. Inco melalui persetujuan Presiden Republik Indonesia No. B 91/Pres/7/1968 tanggal 27 Juli 1968 terhitung saat produksi komersial pada 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008. Periodenya berlaku 30 tahun. Selanjutnya KK PT. Inco dimodifikasi dan diperpanjang berdasarkan persetujuan Presiden RI no.B-745/Pres/12/1995/ tertanggal 29 Desember 1995 yang berlaku selama 30 tahun hingga 28 Desember 2025.
“Lalu berdasarkan draft RT-RW Kabupaten Morowali 2003-2013, lokasi penambangan PT. Inco di Blok Bahodopi merupakan wilayah yang memiliki potensi galian tambang nikel yang terdapat di Kabupaten Morowali.”
Andika mengungkapkan, dalam perjalanannya, PT. International Nickel Indonesia Tbk atau sering disebut Inco Limited, kini berganti nama menjadi CVRD Inco Ltd yang berlaku sejak 3 Januari 2007. Perubahan itu pun menandai lahirnya nama baru yaitu, PT. Vale Indonesia. Seluruh dokumen resmi, mulai dari website hingga perlengkapan PT. Inco diubah dengan nama Vale. Perubahan nama ini seiring dengan peningkatan kepemilikan saham Companhia Vale do Rio Doce (CVRD) di perusahaan Inco Ltd menjadi 87,78 persen.
Andika menjelaskan lagi, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, ekspansi pertambangan di Kabupaten Morowali terus meningkat secara signifikan. Sebanyak 177 perusahaan asing dari 204 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang diterbitkan Bupati Morowali menguasai sekitar 600.089 hektar lahan. Selain itu, diperkirakan 45 IUP yang diterbitkan Pemerintah Morowali tumpang-tindih dengan IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
“Tumpang tindih dengan PT. Vale di Blok Bahodopi dan Blok Kolonodale menjadi contoh paling aktual. Dari 45 IUP yang tumpang tindih tersebut, 12 di antaranya berada di blok tambang Vale di Kolonodale, antara lain PT. Bangun Bumi Indah, PT. Cipta Hutama Maranti, dan PT. Graha Sumber Mining Indonesia. Dan sebanyak 33 IUP berada di blok tambang Vale di Bahodopi.”
Perubahan bentang alam
Dalam kertas kerja penelitian yang dimuat oleh Sajogyo Institute, Andika menjelaskan bahwa maraknya perusahaan tambang nikel membuat perubahan-perubahan landskap atau bentang alam Kabupaten Morowali terbilang pesat. Terjadi pada titik-titik vital yang diproyeksikan sebagai hotspot nikel, seperti pesisir Bahodopi menuju Bungku Selatan. Ekologi dan fungsi alam yang terbentang dari Kecamatan Bahometefe hingga Bahodopi mengalami banyak perubahan.
Tutupan hutan yang dulu hijau dan rapat, sekarang mengalami pembukaan yang masif. Sejauh mata memandang terlihat memerah sebagai penanda galian nikel. Debu pekat nan tajam akan bertiup seperti bekas ledakan ‘bom atom’, saat rombongan truk pengangkut ore melintasi jalanan di atas pegunungan yang terjal menuju pelabuhan.
Pemandangan semacam itu bukan sesuatu yang perlu dirahasikan lagi. Sepanjang pesisir pantai, terutama dari Desa Kolono hingga Dusun Fatuvia Bahodopi yang merupakan pusat perkampungan masyarakat. Sisa-sisa tanah mineral banyak terlihat menempel di jalan aspal yang dibangun tiga tahun terakhir.
Perusahaan tambang melintasi jalanan aspal itu untuk membawa ore yang terhubung langsung dengan jalan hauling yang mereka bangun sendiri. Jalan-jalan hauling itu meliuk-liuk di dataran semak belukar melintasi sawah produktif. Lalu memotong setiap pematang dan anak-anak sungai menuju pendakian jejeran Jambu Mente. Semua landskap itu ditimbun bersamaan dengan proses ganti rugi tanah.
Kawasan perairan dari Teluk Tomori yang merupakan bekas ibu kota sementara Kabupaten Morowali tak lepas dari ‘pesta pora nikel’. Laut penghasil ikan itu ditimbun dengan tanah merah dari pegunungan sekitar, sebagai material untuk membangun port (pelabuhan) parkiran tongkang ore nikel.
“Pelabuhan tidak hanya satu, kurang lebih 28 pelabuhan sejenis atau lebih cocok disebut reklamasi pantai yang berjejer di antara gugusan pulau-pulau kecil yang berakhir di garis hutan mangrove Cagar Alam Morowali. Permukaan laut yang dulu biru nan eksotik dalam ekosistem tropis dan dikelilingi gugusan-gugusan gunung dan bukit yang hijau, seketika berubah warna, seperti minuman jeruk,” katanya.
Dalam skema Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI, Koridor Ekonomi Sulawesi diharapkan menjadi lumbung tambang. Target ini tidaklah muluk-muluk, mengingat selama ini komoditas tambang nikel Indonesia, 50 persen dipasok dari Sulawesi. Morowali tentu menjadi sasaran empuk untuk dikeruk.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id