Konten Premium
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan kapasitas serap bijih bauksit dari empat smelter hingga awal tahun ini berada di angka 13,88 juta ton.
Kapasitas pengolahan bijih bauksit itu terbilang minim jika dibandingkan dengan produksi bijih bauksit setiap tahunnya. Apalagi, pemerintah menegaskan bakal mulai menghentikan izin ekspor mineral mentah pada Juni 2023 mendatang.
“Targetnya harus bisa diselesaikan tahun ini bulan Juni, setelah itu tidak diperkenankan ekspor bauksit dalam kondisi belum terproses,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Berdasarkan rekapitulasi Kementerian ESDM pada 2020 lalu, produksi bijih bauksit di Indonesia sempat mencapai 26,3 juta ton. Hasil produksi itu diekspor sebanyak 22,8 juta ton, sementara sisanya dialokasikan untuk pasokan industri pengolahan alumina domestik sebesar 1,74 juta ton.
Adapun, produksi alumina di Indonesia pada saat itu berada di angka 1,17 juta ton. Alumina keluaran smelter grade alumina (SGA) diekspor sebesar 0,99 juta ton dan chemical grade alumina (CGA) diekspor sebesar 52.000 ton.
SGA yang dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri sebanyak 150.000 ton untuk pemurnian aluminium dan CGA dialihkan untuk industri seperti kertas, detergen, kabel sebesar 25.000 ton.
Sementara itu, produksi aluminium di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250.000 ton yang memerlukan impor alumina SGA sebesar 350.000 ton. Di sisi lain, kebutuhan aluminium domestik mencapai 1 juta ton. Dengan demikian, setiap tahunnya dilakukan impor aluminium sebesar 748.000 ton untuk menutupi defisit bahan baku tersebut.
“Kita masih impor aluminium, untuk itu memang penyelesaian pembangunan smelting untuk proses aluminium itu bisa diselesaikan sehingga bisa menyerap kapasitas input 100 persen,” kata Arifin.
Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian ESDM pada akhir Desember 2022 lalu, terdapat tujuh smelter bauksit yang masih dalam tahap konstruksi dengan perkembangan proyek di kisaran 30 hingga 99 persen.
Sementara itu, satu smelter milik anak usaha patungan PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam), PT Borneo Alumina Indonesia baru mencapai 23,67 persen.
Kedelapan smelter tersebut memiliki total kapasitas input sebesar 27,41 juta ton dan kapasitas produksi alumina sebesar 9,98 juta ton.
Dengan tambahan delapan smelter tersebut, Indonesia ke depan akan memiliki 12 smelter bauksit dengan kapasitas input sebesar 41,29 juta ton dan kapasitas produksi alumina sebesar 14,28 juta ton.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mendorong pemerintah untuk berinvestasi lebih intensif pada pembangunan smelter bijih bauksit menjelang moratorium ekspor bahan baku aluminium itu pada Juni 2023 mendatang.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, investasi pemerintah pada lini pengolahan bijih bauksit itu penting di tengah kurangnya kepercayaan investor dan lembaga pemberi pinjaman untuk ikut berinvestasi pada pembangunan smelter tersebut.
“Kalau bank Himbara saja mengatakan proyek itu tidak feasible, bagaimana dengan bank-bank asing,” kata Ronald saat dihubungi, Senin (9/1/2023).
Menurut Ronald, komitmen pemerintah untuk ikut berinvestasi lebih intensif pada smelter bauksit bakal ikut membenahi tingkat keekonomian proyek yang dinilai terlalu berisiko tersebut.
Hitung-hitungan APB3I menunjukkan, kebutuhan investasi pembangunan smelter alumina dapat menyentuh di angka US$1,2 miliar atau setara dengan Rp17 triliun. Nilai itu ikut memperpanjang kepastian balik modal yang dinilai terlalu riskan bagi investor dan pemberi pinjaman.
“Pemerintah bisa ikut menanamkan modalnya melalui BUMN, nanti bisa dibentuk joint operations, misalnya ada 30 perusahaan bikin tujuh smelter dibagi empat perusahaan gabung jadi satu di situ modal jadi banyak,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :
Bergabung dan dapatkan analisis informasi ekonomi dan bisnis melalui email Anda.