Sosial
Gerimis turun pagi hingga malam hari. Tiada henti. Pendakian menuju kampung di Puncak Gunung Tembaga, makin sulit, harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit, terpeleset ke jurang, atau masuk lubang bekas tambang di sekitar jalur pendakian.
Jalan setapak berbatu dan berundak. Tampak ratusan lubang bekas tambang mengangga, berdiameter satu meter, hanya tertutup potongan kayu. Banyak pula tak tertutup. Selama perjalanan terlihat pohon cengkih, kayu putih, pala dan sagu.
Di setengah pendakian, puluhan pondok beratap terpal biru dibangun. Setiap pondok punya lubang tambang. Anak-anak bermain di depan pondok. Tampak para pengangkut batuan tambang hilir mudik, bergantian naik dan turun. Mereka saling menyapa, dan sesekali belanja di warung, di pinggir jalur pendakian.
Meto Alkatiri dan keluarga asal Ambon. Sejak 2016, mereka memutuskan tinggal di Gunung Tembaga, Dusun Hulung, Desa Iha, Kecamatan Huamual, Seram Bagian Barat, Maluku.
Pria berusia 34 tahun ini kala datang jadi pemikul batu cinnabar, bahan utama membuat merkuri atau air raksa. “Dulu pemikul hasil tambang di Gunung Botak. Ketika ditutup, pindah ke Gunung Tembaga,” katanya.
Sore, pertengahan Juli lalu, Meto baru naik dari lubang tambang miliknya pada kedalaman 15 meter. Istrinya, Indah, tampak mendulang batu cinnabar di depan halaman pondok, sembari mengawasi kedua anak mereka bermain.
Pondokan beratap dan berdinding terpal warna biru, berukuran 5 x 10 meter, berlantai tanah.
Kala itu, musim angin timur. Hujan angin dan udara dingin terasa setiap hari. Di dalam pondok, ada lubang sedalam 12 meter tertutup papan tebal 10 sentimeter. Berjarak satu meter, ada tiga tempat tidur dari jahitan karung plastik.
Di bagian depan, dua kamar berukuran 2,5 meter x 2,5 meter tersekat terpal. Ketika hujan, lantai becek dan licin. Kedinginan, kehujanan dan panas terik matahari, mereka rasakan.
“Tidur di sini (dekat lubang), termasuk masak dan mandi,” ucap Meto.
Di pondok, Meto tak hanya bersama anak dan istri. Adik laki-lakinya beserta istri juga tinggal bersama. Mereka ikut menambang dan mendulang.
Awalnya, tahun lalu, kala tambang emas Gunung Botak, Pulau Buru, ditutup pemerintah Maluku, dia terpaksa ke Ambon jadi buruh kayu.
Sebulan kemudian, dia mendengar dari kawan soal penambangan batu cinnabar di Gunung Tembaga. Bersama adik laki-lakinya, dia berangkat.
Awal tiba, tak ada sanak saudara, hanya ikut kawan. Dia jadi bekijang atau pemikul hasil tambang. Memikul dari gunung ke kampung di pesisir pantai Desa Iha.
Setiap bulan dia terima bagi hasil Rp950.000. Berbeda jauh ketika Meto memikul hasil galian tambang di Gunung Botak, setiap hari bisa meraup Rp3.000.000.
Berbekal pengamatan harian, dia mulai mendulang di pinggir pantai. Akhirnya Meto nekat menggali lubang, mencari pinjaman modal dari pengepul. Bersamaan itu, anak dan istri, dia ajak menambang.
“Semua hasil tambang dijual ke pemodal, dipotong pinjaman. Sampai sekarang belum lunas,” katanya.
Meto, punya tiga lubang tambang. Hanya satu lubang aktif sedalam 35 meter. Kalau beruntung, dia dapat puluhan kilogram cinnabar perhari.
Di dalam lubang, tiap hari Meto dan keempat rekan harus bertaruh nyawa. Dia mengikis tanah dan batuan, mencari reff (urat) batu cinnabar. Tak ada alat pengaman di lubang tambang. Hanya lampu di kepala, tanpa helm pelindung.
Sistem penambangan cinnabar hampir semua sama, mulai vertikal, lalu horizontal, kembali vertikal, kemudian horizontal. Begitu terus hingga kedalaman dirasa cukup. Tak ada penyangga di setiap lorong horizontal yang sudah tergali.
Kayu hanya terpasang sebagai penopang. Di empat sisi pinggir lubang vertikal. Meto terkadang takut bahaya reruntuhan batu selama bekerja di lubang tambang itu. Meskipun begitu, bagi Meto dan penambang lain, lebih takut pulang tak bawa uang daripada terpendam di dalam lubang tambang.
Kala hujan deras, Meto, memilih tak menambang karena takut longsor. Dia dan istri hanya mendulang di depan pondok. Setiap hari, dapat sekitar dua kilogram cinnabar dari hasil berdulang. Harga sekilogram cinnabar di gunung Rp115.000 dan pesisir Rp120.000.
“Kami jual seminggu sekali. Jika uang belanja habis, hasil tambang langsung dijual,” katanya.
Setiap hari, Meto, dan keluarga habiskan uang untuk keperluan konsumsi. Dia harus membeli air bersih Rp6.000 untuk lima liter. Juga mengeluarkan uang belanja harian. Harga barang di atas gunung tiga kali lipat harga di pesisir. Dia juga harus membeli solar Rp70.000 buat lima liter untuk genset (listrik).
Dalam lubang, mereka hanya hanya angin blower plastik. Sesekali pewangi disemprotkan di mesin blower agar tak melulu menghirup udara lembab di lubang.
Meto tahu cinnabar untuk membuat merkuri tetapi tak tahu bahaya terkena paparan cinnabar dan merkuri bagi kesehatan. Baginya, duit hasil tambang lebih penting, dibandingkan memikirkan dampak.
Dari pondok Meto, ada puluhan pondok penambang lain. Ada pula pondokan hancur berikut lubang tambang yang sudah ditinggal pergi.
Kala kepala menengadah, terlihat lereng, dan tebing curam. Ada juga pondok-pondok penambang, di Puncak Gunung Tembaga. Ratusan bangunan semi permanen. Ada berdinding papan, anyaman bambu, sampai sebagian semen.
“Penambang datang tak hanya dari Maluku. Ada dari Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan,” kata Meto.
Meto punya rencana kembali ke Gunung Botak di Namlea, Pulau Buru. Dia mendengar Gunung Botak kembali dibuka untuk penambang. Penghasilan di Namlea, lebih besar dibandingkan di Gunung Tembaga. Apapun risiko dia hadapi, demi biayai anak sekolah dan keluarga.
“Jika pemerintah ada alternatif tak menambang dan menghasilkan uang saya mau. Jika tak ada, jangan larang kami,” katanya.
Bertaruh nyawa demi cinnabar juga dilakukan Ghani Matdoam. Pria dari Maluku Tenggara ini sudah lebih lama setahun menambang di Gunung Tembaga. Dia tahu tambang cinnabar dari rekannya.
Ghani belum punya modal bikin lubang. Dia hanya mendulang di lubang-lubang bekas tambang, atau bekas urukan tambang. “Sehari dapat tiga kilogram. Dikumpulkan dulu, baru dijual,” katanya.
Sebelum di Gunung Tembaga, Ghani jadi pemikul bahan galian emas di Gunung Botak, Pulau Buru. Dia tak tak tahu bahaya batu cinnabar dan merkuri. Dia hanya tahu cinnabar bahan bikin merkuri, dan mengikat emas.
Pondok biru ‘perkampungan’ tambang, hanya berjarak satu hingga lima meter. Warung-warung memutar musik bervolume keras. Antarwarung dan pondok saling memutar. Suara musik bercampur teriakan anak-anak bermain di sekitar lubang-lubang bekas tambang dan pondok mereka.
Ada pemikul hasil tambang, hanya pekerja dan ada pemilik lubang-lubang sekaligus penambang. Maswan Kaisupi, warga Desa Iha, penambang yang memilki lubang galian. Dia termasuk penambang lama di Gunung Tembaga.
Maswan punya tiga lubang tambang aktif. Dua lubang punya hasil baik. Setiap lubang bisa dapat hingga 100 kilogram, bahkan ada sampai 500 kilogram. Pencatatan Maswan, sudah lebih dari empat ton cinnabar dari kedua lubang itu.
Lubang tambang Maswan mulai 50-70 meter dengan sembilan pekerja. Mereka dari Ternate dan Buton. Mereka hanya memakai lampu kelapa (head lamp), dan sarung tangan. Blower dari plastik panjang masuk ke lubang, hanya bantuan udara agar tak lelah dan cukup oksigen.
Para pekerja ini mendapat bayaran dengan bagi hasil. Total penjualan tambang dikurangi biaya makan dan minum, dan beli solar. Sisanya, bagi rata.
“Ada 1.000 lebih penambang di sini (Desa Iha). Mereka dari Jawa, Makassar, Manado dan Ternate,” kata Maswan.
Maswan bisa menjual cinnabar langsung ke pengepul di Gunung Tembaga. Dia tak berkontak langsung dengan pembeli besar di Jakarta, Ambon, Sukabumi atau di Surabaya.
Menurut dia, pengepul yang berhubungan langsung dengan pembeli besar. Di pesisir, ada pembeli eceran maupun besar.
Dia bercerita, awal mula cinnabar ditemukan masyarakat sekitar akhir 2010. Sebelum ada tambang, masyarakat bekerja tani sagu dan mencari ikan di laut.
“Sekarang semua beralih jadi penambang. Di Desa Luhu masih banyak bertani dan nelayan.”
Dia dengar banyak pembeli ditangkap, dengan alasan cinnabar dilarang. Maswan tahu, operasi penambangan mereka di Gunung Tembaga ilegal. Warga, katanya, siap mengurus izin, asal tak ditutup.
Di Gunung Tembaga, ada aturan bagi penambang. Mereka bebas menggali lubang, namun tak boleh ada meminum keras, dan berjudi.
Aturan adat ini jika ada yang melanggar kena hukum cambuk tujuh kali. Jika tiga kali melanggar dicambuk 21 kali dan keluar dari kampung.
“Di Gunung Tembaga, dilarang dompeng. Selain merusak lingkungan, risiko longsor besar,” ucap Maswan.
Sepemahaman dia, nambang pakai dompeng dengan menyemprotkan air ke badan gunung. Air ambil dari laut. Tak hanya gunung rusak, laut juga rusak.
Maswan tahu risiko menambang di lubang berisiko kematian. Tahun 2014, satu orang meninggal, empat selamat. Peristiwa itu karena penambang tak mendengarkan nasihat penambang lain, bahwa lubang di bawah sudah luas dan dalam, hingga rentan runtuh.
“Jika hujan tak ada menambang di lubang. Hanya berdulang, risikonya besar,” kata Maswan.
Aturan lain bagi penambang, setiap kilogram penjualan kena retribusi 5.000 untuk desa. Per bulan, setiap lubang tambang kena retribusi Rp100.000.
Uang itu, katanya, untuk keperluan bersama. Ketika ada musibah pada penambang, dana dapat dipakai.
Bagaimana kalau ada perusahaan masuk? Maswan berharap, tak ada perusahaan masuk di Gunung Tembaga. Walau dia tahu beberapa kali orang asing dari Tiongkok dan Korea datang dan melihat langsung kualitas batu dan penambangan.
“Penambang tak masalah membayar retribusi. Saya setuju pemerintah mengatur penambangan, tapi tidak ditutup,” katanya.
Para penambang, kata Maswan, ingin pemerintah mengatur penambangan cinnabar di Gunung Tembaga. Ada koperasi atau izin penambangan rakyat, hingga hasil tambang yang keluar satu pintu.
Dengan begitu, katanya, warga tetap mendapatkan penghasilan dari tambang, dan pemerintah dapat memberikan aturan hukum jelas.
“Jika tambang ditutup, perekonomian warga mati. Pemerintah punya solusi apa agar penambang sejahtera?”
Sama seperti Maswan, Ahmad Marinda dari Desa Loki dan Emiyanti dari Toraja tetap ingin penambangan cinnabar lanjut. Ahmad sudah habis modal Rp100 juta untuk membuat lubang, dan belum balik modal.
Saat ini, dia berjualan di Gunung Tembaga. Emiyanti meninggalkan anak-anak sekolah di Ambon untuk mendulang cinnabar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak.
Mayoritas penambang tak tahu dampak paparan batu cinnabar dari aktivitas menambang di lubang, maupun berdulang. Bagi mereka terpenting dapat uang, risiko mereka akan hadapi.
“Jika pemerintah tutup tambang, berikan kami kerja yang menghasilkan untuk membiayai hidup dan anak-anak kami,” ucap Emiyanti.
Tak hanya di gunung, penambangan cinnabar juga ada di pesisir. Para penambang biasa disebut bekodok.
Pondok-pondok dari papan dan tembok semen berdiri di Pantai Dusun Hulung, Desa Iha, Kecamatan Huamual. Berjarak 50 meter dari bibir pantai, jika air pasang, hanya 20 meter. Puluhan tumbuhan mangrove rusak dan mati. Sampah-sampah berserakan di bibir pantai, dari plastik, kaleng, batang kayu hingga pakaian.
Diran, mendulang cinnabar di pinggir pantai. Dia mengeruk pasir pakai wajan, mencampurkan dengan air dan memutar-mutarkan.
“Cinnabar berat, ia akan ada di bagian bawah. Warna merah hitam,” katanya.
Perempuan 49 tahun asal Wakatobi, Buton, ini belasan tahun berjualan makanan ringan di Pelabuhan Liang, Ambon, sebelum memutuskan menambang cinnabar.
Dia dan suami bikin kamp berukuran 3×3 meter. Berjarak 25 meter dari bibir pantai. Atap daun sagu dan dinding papan.
Suaminya terlebih dahulu menambang cinnabar di Pulau Seram, setahun lalu. Iming-iming penghasilan besar menambang, Diran mencari peruntungan di Pulau Seram. Dia tinggalkan anak yang sedang bersekolah di Ambon.
Jika tekun, sehari dia dapat dua kilogram cinnabar. Kalau tak musim hujan dan ombak tak besar, Diran akan mendulang di pantai. Suaminya menambang di gunung. Terkadang turun membawa hasil, kadang sudah membawa uang.
Diran tak menjual cinnabar harian ke pengepul, kalau uang belanja habis, baru akan jual.
Kalau membandingkan antara jual makanan di pelabuhan dan mendulang, katanya, pendapatan tak jauh beda. Seminggu, dapat Rp1 juta dari mendulang cinnabar.
“Pada bulan puasa sekilo (kilogram-red) sampai Rp150.000, karena penambang sedikit,” katanya.
Abdul Rajab Paltiha, warga Desa Iha, sejak 2012, mendulang cinnabar di Pantai Hulung. Awal tahu cinnabar dari tetangga. Tawaran pendapatan besar dari menambang, membuat Abdul tergiur sampai mengurangi jadwal mengajar di sekolah.
Dia guru kontrak mata pelajaran olah raga, di SD, SMP hingga SMA di Desa Iha dan Desa Luhu. Setiap Senin-Kamis, dia naik ke Gunung Tembaga, menambang lubang milik temannya.
“Jumat dan Sabtu total mengajar di sekolah. Sisanya menambang, termasuk hari libur sekolah,” kata Abdul.
Sehari dia dapat dua kilogram cinnabar, sekitar Rp 220.000 perhari. Gaji guru honor Rp300.000 perbulan.
Pendapatan menjanjikan itulah yang bikin Abdul lebih mengutamakan menambang dibandingkan mendidik siswa di sekolah. “Sehari saya menambang, setara gaji sebulan sebagai guru,” katanya.
Abdul tahu bahaya cinnabar dan merkuri tetapi dia merasa masih sehat dan tak terdampak. Tak semua penambang tahu bahaya cinnabar dan merkuri macam Abdul.
Meto, Ghani, Diran dan hampir semua penambang, tak tahu bahaya cinnabar maupun merkuri bagi kesehatan. Mereka tak pernah dapatkan sosialisasi dari pemerintah.
Kini, ada sekitar 2.000an penambang di Gunung Tembaga. Jumlah ini sudah berkurang dari sebelumnya, karena sebagian mereka kembali ke Gunung Botak, yang mulai buka lagi.
***
Namanya Indra Sukawatiningsih, berambut ikal dan panjang. Para penambang memanggil dia, Mama Indra. Sejak 2014, Indra jadi pengepul dan pembeli cinnabar di Dusun Hulung, Desa Iha.
Dia dari Jawa Timur, ikut suami ke Pulau Seram. Di Desa Iha, ada lima pengepul cinnabar besar, kebanyakan warga asli Ambon.
“Saya salah satu pengepul besar disini,” kata Mama Indra, bercerita.
Awal jadi pengepul dan pembeli, karena ada kenalan bos besar atau pembeli dari Ambon. Kala itu, dia menjual cinnabar merah 500 kilogram, ketika harga perg Rp45.000. Sebulan dia bisa menyiapkan cinnabar 16 ton.
“Tergantung pembeli dan pemesanan. Sistem saya ada duit, ada barang,” katanya.
Pengiriman cinnabar dilakukan Indra, sehari hingga dua hari sekali, ketika pesanan melimpah. Indra tak akan mengirim cinnabar jika pembeli tak membeli tunai. Baginya, model ada uang ada barang memudahkan dia membeli cinnabar dari penambang.
Pembeli cinnabar Mama Indra datang dari Sukabumi, Bogor, Bekasi, Jakarta dan Surabaya. Awalnya, pemesan hanya dari Ambon dan Jakarta. Tanpa dia ketahui, nomor handphone tersebar ke para pembuat merkuri.
Tak semua pembeli cinnabar Mama Indra kenal. Baginya, tak penting. Terpenting, mau bayar kontan, barang akan dia kirim.
Dulu, cinnabar merah lebih dicari dan harga tinggi. “Cinnabar ada dua, merah dan hitam. Dulu harga merah tinggi, saat ini disamakan.”
Mama Indra membeli cannabar siapapun asal bagus. Tak hanya membeli di pesisir, karyawan dia akan membeli cinnabar dari penambang di gunung.
Adapun sistem pengiriman cinnabar Indra, melalui berbagai cara. Dulu dia dengan leluasa mengirim melalui jasa cargo pesawat Garuda Indonesia.
Dia mengirim dua ton, tiap dua hari sekali untuk pembeli di Jakarta dan Bogor. Kala itu, katanya, perputaran uang cepat, tak seperti kini. Sekarang, dia was-was barang kiriman tertangkap dan kena sita polisi maupun tentara.
“Jika barang ditahan, bos tak bisa beli lagi, kami mati rezeki,” katanya.
Dia tahu para pembeli cinnabar adalah para pengolah dan pembuat merkuri. Indra menyebut beberapa nama mereka.
Indra pernah datang dan melihat sendiri pembuatan merkuri di Bogor, dua dua tahun lalu.
Dia ceritakan cara olah merkuri, dengan keringkan cinnabar terlebih dahulu, lalu giling jadi bubuk. Kemudian campur kapur dan biji besi dan bakar pakai kayu. Tetesan uap pembakaran mengalir ke wadah besi dan jadi merkuri.
Kini banyak penangkapan pedagang cinnabar. Indra tak mau alami kerugian. Tekan risiko, cinnabar di gudang dia keluar jika sudah pembayaran kontan.
Mekanisme pengantaran melalui pelabuhan seperti Pelabuhan Liang, Hitu atau pelabuhan besar, ditentukan pembeli. Cinnabar akan diturunkan di pinggiran pantai lain di Ambon, tergantung koordinasi pembeli dengan pemilik speedboat.
“Pembeli yang atur semua. Jika mereka minta jasa keamanan atau apapun, mereka yang atur,” katanya.
Indra sering pakai jasa perahu cepat milik warga Iha. Biasa, cinnabar kirim ke Pelabuhan Hitu. Saat ini, tempat penurunan cinnabar dirahasiakan pembeli. Setiap pengantaran pakai dua perahu paling sedikit lima ton. Saat itu, lima ton cinnabar Indra siap kirim kepada pemesan di Jakarta.
“Tinggal dikirim saja, pemesan sudah ada. Tunggu koordinasi.”
Berbahaya
Jossep William, pendiri Medicuss Foundation sudah lakukan penelitian dampak merkuri pada darah warga Desa Iha dan Desa Luhu. Temuan penelitian mereka memperlihatkan, sampel sudah melampaui ambang batas sembilan mikrogram per liter.
Sebanyak 21 warga yang diambil sampel darah, hanya satu kandungan merkuri dianggap normal.
William bilang, paparan penambangan cinnabar tetap ada. Dalam bentuk batu, dampak tidak terlalu hebat, dibandingkan sudah merkuri. Kala terpapar lama, pelahan pasti muncul efek. Perbandingannya, jika keracunan merkuri sekitar lima hingga 10 tahun, cinnabar lebih panjang.
Temuan mereka, banyak terkena dampak merkuri di usia tua. “Cinnabar jangan diubah merkuri, dampak sepanjang massa. Paparan berbahaya bagi manusia, tumbuhan dan hewan.”
Menurut dia, pemeriksaan dilakukan Kodam Patimura pada penduduk di Desa Iha dan Desa Luhu, menunjukkan pada tubuh mereka mengandung kadar merkuri tinggi. Walaupun mereka tak pernah membakar cinnabar menjadi merkuri. Pemaparan langsung dari cinnabar terjadi.
Tambang di Seram ini, katanya, mulai akhir 2010, berarti sudah sekitar tujuh tahun mereka terpapar.
“Ancaman merkuri tak hanya penambang yang menggadaikan nyawa, melainkan ancaman kemanusiaan bagi banyak orang.
Dia menceritakan, untuk membuat merkuri dari cinnabar perlu suhu pembakaran dari 100-500 derajat celcius. Meskipun begitu, paparan panas matahari bisa membuat racun merkuri keluar.
Memang, katanya, belum ada pembuktian, terkait berapa persen racun keluar dari cinnabar terkena matahari. Tak hanya matahari, penambangan di lubang juga berisiko orang terkena paparan racun merkuri.
Selama ini, menekan merkuri tak menyebarkan racun dengan memasukkan ke tong plastik, lalu dicor beton dengan ketebalan tertentu. Baginya, lebih baik kalau setop pembakaran merkuri.
Medicuss Foundation juga penelitian di Gunung Botak, Pulau Buru pada 2015. Mereka tak dapat menghitung pemakaian merkuri setiap bulan karena begitu banyak tong merkuri dan tromol di lokasi. Perhitungan pemakaian merkuri hanya bisa di Desa Gogrea, dari menghitung gelundung tromol yang beroperasi.
“Di Gogrea sebulan memerlukan enam ton merkuri. Jika dibandingkan Gunung Botak satu banding 30,” kata William.
Dua bulan lalu dia penelitian melalui google earth, melihat Teluk Namlea. Di sana, tampak robekan seperti selaput susu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sependapat dengan dia kalau robekan itu bukan benda padat. Di Google Earth tak menjelaskan soal itu. Mereka duga kuat paparan limbah merkuri. “Perlu pembuktian lebih lanjut, apakah itu merkuri atau bukan.”
William meyakini dampak merkuri di Pulau Buru, sudah parah. Temuan Medicus dari keterangan warga, buaya di Sungai Namlea, banyak mati, bahkan sapi. Dugaan karena paparan merkuri.
Sampel Medicus dan Kodam Patimura pada 40 warga, 21 dari penambang di gunung. Hasilnya, warga di bagian pantai terpapar racun lebih tinggi dibandingkan warga gunung.
“Harus ada tindakan cepat dan tepat dari pemerintah terkait cinnabar dan merkuri. Jika lambat, makin banyak racun masuk ke tubuh manusia dan dampak meluas,” ucap William. Bersambung
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id