ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyampaikan, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah kita bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen.
Demikian dikatakan Prof. Rokhmin Dahuri saat memberikan orasi Ilmiah pada Wisuda ke-104 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dengan tema “Lulusan Yang Tangguh, Adaptif, Dan Beriman-Taqwa: Kunci Sukses Kehidupan Di Era Ketidakpastian Global”, Kamis (17/11).
"Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Menurut World Bank, ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia," ujarnya.
Namun, lanjutnya, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 276 juta orang, maka per 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 4.140 dolar AS per kapita. Artinya, hingga saat ini (sudah 77 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (upper-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 13.205 dolar AS (World Bank, 2022), yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945.
Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 64.010 dolar AS dan 31,510 dolar AS.
“Sementara itu, tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1,” kata Guru Besar Kehormatan Mokpo National University, Korea Selatan ini.
Jelasnya, technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.
Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari rendahnya pertumbuhan ekonomi (rata-rata di bawah 7% per tahun), tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi (kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya vs miskin), disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 504.469/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 26,16 juta orang atau 9,54% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 63 dolar AS (Rp 984.360)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 67 juta orang atau 23% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2022).
Dalam hal ketimpangan ekonomi, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara.
Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfarm International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).
Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit, ungkapnya, adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 56% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), bila luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahnnya (Odum, 1976; Clark, 1989).
“Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan yang semakin parah,” tandasnya.
Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah di luar Jawa, belum dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB. Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia.
Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor industri manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%.
“Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 4.140 dolar AS,” sebut Guru Besar Emiritus Shinhan University, Korea Selatan itu.
Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 24,4% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021).
Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah, tingginya angka kemiskinan, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan lingkungan yang parah di dunia (UNEP, WWF; 2020).
Modal Dasar Pembangunan Indonesia
Kendati begitu banyak permasalahan dan tantangan, kita tidak perlu berkecil hati. Pasalnya, Indonesia merupakan sedikit dari negara-negara di dunia yang memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang tahun lalu mencapai 276 juta orang (BPS, 2021).
Ini merupakan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China 1,4 milyar orang, India 1,2 milyar orang, dan Amerika Serikat 370 juta jiwa (PBB, 2021). Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Selain itu, selama kurun waktu 2020 sampai 2032 Indonesia mengalami ‘Bonus Demografi’ (Demographic Devident), dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) melebihi jumlah penduduk berusia tidak produktif.
Apabila pemerintah mampu mengelola ‘Bonus Demografi’ itu secara cerdas dan benar, meningkatkan kualitas (kapasitas inovasi, etos kerja, dan akhlak) SDM (Sumber Daya Manusia) nya, dan menciptakan lapangan kerja yang mensejahterakan bagi seluruh penduduk usia kerja yang terus bertambah; maka ini bakal meningkatkan produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berkelanjutan.
“Dan sebaliknya, bila pemerintah gagal memanfaatkan ‘Bonus Demografi’ tersebut, maka Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias akan gagal menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Kemudian, sambungnya, modal dasar kedua adalah berupa kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sangat besar, baik SDA terbarukan (seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan keanekaragam hayati) maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), jenis mineral lainnya, dan bahan tambang.
Beragam jenis SDA itu tersebar di wilayah laut dan daratan, dari Sabang hingga Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai P. Rote. Kekayaan SDA yang melimpah ini mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk di dunia.
Mulai dari produk pangan dan minuman, sandang (tekstil, garmen/pakaian, sepatu, dan jenis pakaian lainnya), perumahan dan bangunan, farmasi dan obat-obatan (kesehatan), teknologi dan manajemen pendidikan, elektronik, otomotif, mesin dan peralatan transportasi, teknologi informasi dan digital, bioteknologi sampai nanoteknologi.
Modal dasar ketiga adalah berupa posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dan di antara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung (hub) Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) atau perdagangan global. Dimana, sekitar 45% dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai rata-rata 15 trilyun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya (UNCTAD, 2018).
Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip dan besar secara berkelanjutan. Sayangnya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus.
“Artinya nilai total impor lebih besar ketimbang total nilai ekspor Indonesia. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor ketimbang sebagai produsen dan pengekspor,” ucapnya.
Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebabnya karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan. Sejak awal era Reformasi, setiap ganti Presiden, Menteri, gubernur, Bupati, dan Walikota; kebijakan dan program nya berganti pula.
“Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan. Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.
Dewasa ini, terangnya, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya.
Namun, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Sri-Edi Swasono, 2014) dan sejak Reformasi kita menempuh demkorasi liberal. Bukan berdsarkan pada Pancasila. “Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.
Tetapi, lanjutnya, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain, dan tidak mempercayai kehidupan akhirat. Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing.
“Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja,” sebutnya.
Dinamika Peradaban Global Di Abad-21
Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, secara garis besar ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.
Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021). Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya. Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.
Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.
Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).
“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.
Ketiga, sambungnya, perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).
Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).
“Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, seperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global,” tuturnya.
Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).
Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).
Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015). Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut.
Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu menjelaskan, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa.
Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technology-innovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).
Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup harus pada level yang baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan ekonomi dan industri harus ramah lingkungan berkelanjutan (sustainable).
Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan enam kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) peningkatan kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air; (4) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (5) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif dan atraktif; dan (6) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. “Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.
Menurut United Nations (2008), “transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti menggeser sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu: untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri”.
Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi struktural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut. Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.
Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0. Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Pancasila, Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).
Lahirnya paradigma Green Economy, sejak akhir 1980-an sejatinya merupakan response dan koreksi atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme) seperti saya uraikan diatas. Menurut UNEP (2011) “Green Economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (Ekonomi Hijau adalah sistem ekonomi yang menghasilkan perbaikan kesejahteraan manusia serta pemerataan sosial, dan secara simultan mengurangi risiko atau kerusakan lingkungan dan kelangkaan ekologis).
“Secara lebih operasional, Green Economy dapat kita maknai sebagai sistem ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon) atau tanpa karbon (zero-carbon emission), tanpa membuang limbah atau sedikit limbah (zero or low-waste), menggunakan SDA secara efisien dan tidak melampui kemampuan pulihnya, dan secara sosial hasilnya (pertumbuhan ekonomi atau kesejehteraan nya) dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara adil (socially inclusive) dan berkelanjutan (sustainable),” jelas Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.
Ekonomi digital yang berbasis pada jenis-jenis teknologi yang lahir di era Industry 4.0 (seperti IoT, AI, Blockchain, Cloud Computing, Metaverse, Big Data, Drone, Robotics, NanoTechnology, dan Biotechnology) terbukti telah meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, kemudahan, dan keberlanjutan (sustainability) perekonomian dunia. Maka, negara-bangsa yang tidak menguasai dan menerapkan Ekonomi Digital bakal tertinggal, dan akan susah menjadi negara maju dan makmur.
Untuk dapat memanfaatkan kehadiran Ekonomi Digital (Industry 4.0) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa; Indonesia harus malakukan 3 hal: (1) penguatan dan pengembangan infrastruktur digital (seperti jaringan satelit, internet, dan 5G) agar seluruh wilayah NKRI terkoneksi secara digital yang cepat dan terpercaya (reliable); (2) mengembangkan SDM (talenta) yang menguasai segenap jenis teknologi Industry 4.0 seperti saya uraikan diatas; dan (3) kebijkan pemerintah untuk membangun ekosistem Industry 4.0. Apabila ketiga hal fundamental ini tidak dilaksanakan, maka dikhawatirkan banyak generasi muda yang bakal menjadi pengangguran, dan perekonomian Indonesia sulit untuk maju, produktif, efisien, dan berdaya saing.
Selanjutnya, dalam rangka mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan baru yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan.
Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.
Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara. Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi. Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat. Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya. Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.
Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. Mengutamakan persaudaraan, toleransi , dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang. Mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan voting dan pemilihan langsung. Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.
“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka Indonesia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan dunia adalah sebuah keniscayaan,” imbuh Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) ini.
Profil Lulusan Perguruan Tinggi Yang Dibutuhkan Di Abad-21
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, informasi tentang status dan tantangan pembangunan bangsa Indonesia, modal dasar pembangunan Indonesia, dinamika peradaban global, dan peta jalan pembangunan menuju Indonesia Emas yang saya deskripsikan diatas; mestinya memberikan wawasan dan bekal bagi kita, terutama para wisudawan dan wisudawati untuk memperkirakan dan menentukan jenis-jenis IPTEK, keahilan, profesi, dan profil (karakter) SDM (lulusan Peguruan Tinggi) yang dibutuhkan saat ini dan di masa depan (abad-21).
Ada 12 (duabelas) kelompok IPTEK dan keahlian yang dibutuhkan di abad-21 ini. Pertama, berbagai jenis IPTEK yang terkait dengan teknologi dan manajemen untuk memproduksi semua jenis produk dan jasa untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar manusia secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif (berkeadilan), ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), yakni: (1) pangan dan minuman (seperti pertanian, peternakan, perikanan, teknologi pengolahan dan pengemasan pangan, dan bioteknologi); (2) sandang (serat, tekstil dan produk tekstil); (3) papan (perumahan dan bangunan lainnya); (4) kesehatan (seperti kedokteran, gizi, olah raga; dan (5) pendidikan.
Kedua, yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier manusia. Kebutuhan sekunder antar lain berupa: kelengkapan dan peralatan rumah tangga serta dapur (mebeler, kitchen set, AC, dan TV); HP (telepon genggam), komputer, sepeda motor, mobil, kapal laut, dan pesawat udara. Adapun kebutuhan tersier antara lain mencakup: perawatan kebugaran (wellness), kecantikan, rekreasi, pariwisata, dan ‘medsos’.
Ketiga, yang terkait dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, bandara, air bersih, bendungan, jaringan irigasi, jaringan listrik, jaringan pipa gas, dan kabel di bawah laut. Keempat, yang terkait dengan transportasi, komunikasi, dan konektivitas digital. Kelima, yang terkait dengan aspek HANKAM (Pertahahan dan Keamanan) termasuk industri pertahanan. Keenam, yang terkait dengan eksplorasi, eksploitasi (produksi), pengolahan, transprotasi, dan distribusi berbagai jenis mineral dan bahan tambang dan galian. Contoh mineral: nikel, bijih besi, pasir besi, bauksit, emas, tembaga, perak, mangan, dan mineral tanah jarang (rare earth).
Ketujuh, yang terkait dengan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, transportasi, dan distribusi beragam jenis energi. Contoh energi: (1) yang tidak terbarukan (non-renewable energy) termasuk minyak, gas, dan batubara; dan (2) yang terbarukan (renewable energy) seperti energi matahari, angin, panas bumi (geothermal), air (hydropower), biofuel (energi dari bahan-bahan nabati), energi gelombang laut, energi arus laut, energi pasang surut laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), nuklir, dan hidrogen.
Kedelapan, yang terkait dengan teknologi dan manajemen lingkungan supaya pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkelanjutan. Ini meliputi: (1) perencanaan tata ruang wilayah (RTRW); (2) pengendalian pencemaran; (3) konservasi keanekaragam hayati (biodiversity) pada level (tingkat) genetik, spesies, dan ekosistem; dan (4) cara-cara mengubah bentang alam, mendesain, dan membangun infrastruktur serta bangunan yang sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam (design and construction with nature). Kesembilan, yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim (Global Climate Change), gempa bumi, tsunami, bencana hidrometri (seperti banjir, eosi, dan longsor), badai, dan bencana alam lainnya.
Kesepuluh, terkiait dengan beragam jenis teknologi yang lahir di era Industry 4.0 sejak awal abad-21 ini sebagaimana telah saya uraikan diatas. Yakni: IoT, AI, Blockchain, Cloud Computing, Robotics, semikonduktor, chips, Nanoteknologi, dan Bioteknologi. Kesebelas, yang terkait dengan manajemen pembangunan ekonomi, investasi, bisnis, dan perdagangan. Keduabelas, yang terkait dengan ilmu-ilmu dasar yang dibutuhkan sepanjang masa, termasuk untuk mendukung pengembangan kesebelas kluster IPTEK diatas.
“Contohnya adalah: matematika, fisika, kimia, biologi, engineering, metalurgi, geologi, geodesi, geomorfologi, oseanografi, limnologi, klimatologi, ekonomi, psikologi, antropologi, sosiologi, hukum, dan politik,” katanya.
Adapun profil alumni PT yang dibutuhkan di abad-21 yang penuh dengan ketidakpastian, dan insya Allah hidupnya sukses serta bahagia adalah mereka yang memiliki 8 karakter (ciri) berikut. Pertama adalah kompeten pada bidang IPTEK (PRODI) yang ditempuh selama kuliahnya. Kedua, memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving (memecahkan masalah). Ketiga, menguasai dan terampil menggunakan teknologi digital termasuk komputer, HP, dan gadget lainnya.
Keempat, memiliki soft skills seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, adaptive (cepat belajar dan menyesuaikan diri dengan hal baru), agile (gesit, cekatan), bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, entrepreneurship, dan leadership. Kelima, menguasai sedikitnya satu bahasa asing seperti Inggris, Arab, atau Mandarin. Keenam, berakhlak mulia termasuk jujur, amanah, fathonah (cerdas dan visioner), tabligh, berempati, menyayangi sesama makhluk Tuhan YME, sabar, dan bersyukur.
Dan, ketujuh adalah beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing. Lebih dari itu, dia menghormati pemeluk agama lain, dan senang hidup harmonis penuh kedamaian dengan sesama insan, tanpa memandang suku, agama, dan latar belakang primordial lainnya.
Iman dan taqwa kepada Allah SWT, Tuhan yang menciptakan kita manusia dan alam semesta, ini sangat penting supaya kita terus istiqomah mengerjakan kebajikan, menuntut dan mengamalkan IPTEK, menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merawat lingkungan hidup, dan amal saleh lainnya. Juga agar kita terus konsisten menjauhi beragam jenis kemaksiatan, korupsi, kebohongan, kedzaliman, kemalasan, iri, dengki, kemalasan, dan larangan Tuhan yang lainnya.
Iman dan Taqwa juga membuat kita ikhlas, sabar, dan tangguh dalam menghadapi segala bentuk ujian duniawi. Sebab, baginya kehidupan di dunia ini hanya sementara dan panggung sandiwara. Sedangkan, kehidupan yang sejati, adil, dan abadi adalah di akhirat kelak. Tujuan utama dan akhir dari kehidupannya adalah surga di akhirat kelak.
“Maka, insan yang beriman dan taqwa terus akan berusaha secara profesional dan berdoa kepada Allah SWT, lalu hasilnya di dunia berupa harta, jabatan, polularitas, dan atribut duniawi lainnya diserahkan kepada Tuhan YME. Dia akan jauh dari sifat furstasi, putus asa, dan malas,” jelasnya.
Terakhir, setelah wisuda ini, Prof. Rokhmin Dahuri mengingatkan kepada mahasiswa UNS harus terus membaca dan belajar tentang IPTEKS baru. Karena, belajar dan menuntut ilmu itu sejatinya harus “dari sejak kita lahir hingga sebelum wafat” (Hadits). “Long-life Education”.
“Demikianlah Orasi Ilmiah saya. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya para wisudawan dan wisudawati yang berbahagia. Terimakasih atas atensi dan kesabaran mencermati Orasi Ilmiah ini. Semoga Allah SWT, Tuhan YME memberkahi kita semua, segenap Civitas Academica UNES, dan bangsa Indonesia,” tutup Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea ini.
Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup harus pada level yang baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan ekonomi dan industri harus ramah lingkungan berkelanjutan (sustainable).
Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan enam kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) peningkatan kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air; (4) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (5) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif dan atraktif; dan (6) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.