Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hari ini kembali menegaskan bahwa dirinya kesal lantaran Indonesia kerap mengekspor sektor pertambangan khususnya mineral dalam bentuk mentah. Kegiatan ekspor mineral mentah itu kata Jokowi, sudah terjadi sejak zaman VOC atau 400 tahun lalu.
Jokowi mengakui bahwa ekspor bahan mentah tidak memberikan nilai tambah bagi perekonomian. “Baik itu nikel, tembaga, komoditas perkebunan, enggak. Kita enggak dapat apa-apa. Kita harus mendapatkan nilai tambah,” jelasnya, Selasa (1/3/2022).
Pada 2020 lalu, pemerintah telah memastikan menyetop ekspor nikel. Jokowi menginginkan agar komoditas tersebut diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan industri nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Ekonom Senior Faisal Basri, dalam laman blog pribadinya menyatakan bahwa sejatinya penguasa diam membisu atas kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap pertambangan yang ada di Ibu Pertiwi ini.
“Penguasa diam membisu. Penguasa mengobral bijih nikel, menetapkan harga hanya sekitar seperempat dari harga di negeri mereka sendiri. Tak pelak lagi, mereka berbondong-bondong ke sini,” ungkap Faisal Basri dalam laman Blognya itu.
Faisal menyampaikan bahwa, dengan harga yang telah diobral itu, pihak asing tersebut bahkan bisa membohongi pemerintah Indonesia dengan cara memindahkan pabrik smelter nikel dari negerinya.
“Bisa jadi mesin bekas yang dipindahkan itu diakui sebagai mesin baru, harganya digelembungkan agar seolah-olah nilai investasinya jumbo sehingga dapat fasilitas bebas pajak (tax holiday), memperoleh tax allowance, investment allowance, dan super deduction tax. Ibu Pertiwi dapat apa? Cuma upah ‘kuli’ dan pembayaran sewa tanah ala kadarnya,” tegas Faisal Basri.
Yang terang, sampai saat ini, kata Faisal Basri, pengusaha asing tersebut hanya mengolah bijih nikel menjadi pellet, nickel pig iron, ferro nickel, dan besi baja setengah jadi.
“Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negerinya sendiri. Penguasa tak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) karena hampir seluruh produknya mereka ekspor. Tak juga membayar pajak ekspor,” ungkap Faisal.
Dari hal itu, Faisal mencatat terdapat ratusan ribu pekerja asal China datang ke Indonesia di pertambangan nikel hanya memakai pakai visa kunjungan (visa turis), sehingga tak membayar pungutan US$ 100 per bulan per pekerja. Upahnya berkisar Rp 15 juta sampai Rp 50 juta.
Maka dari itu, Faisal mempertanyakan apakah pekerja tersebut merupakan tenaga ahlikah dan ternyata kebanyakan bukan, kebanyakan lulusan SLTA atau lebih rendah. Ada sopir forklift, sopir alat berat, satpam, tenaga statistik, petugas asrama, dan banyak lagi.
“Sejauh ini, tak ada gelagat dari penguasa untuk melakukan audit atas fasilitas fiskal luar biasa yang mereka terima dan audit tenaga kerja yang ditengarai menyalahi aturan sehingga negara berpotensi mengalami kerugian ratusan triliun rupiah. Tak pernah terdengar suara dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja,” ungkap Faisal.
“Berulang kali penguasa mengumbar bahwa ekspor naik ratusan persen, tetapi devisanya terbang semua. Jadi, apa yang Penguasa banggakan? Bangga jadi pendukung industrialisasi di China?” tandasnya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT