Energi Terbarukan dan Target Indonesia
Komisaris BUMN yang bergerak di bidang energi, PT Brantas Energi. Memiliki pengalaman puluhan tahun di harian KOMPAS dan mendalami bidang energi dan sumber daya mineral. Ketika berkarir di KOMPAS, memiliki hubungan yang erat dengan berbagai narasumber, baik dari pemerintah, pengamat, DPR hingga kalangan industri. Berkat hubungan baik tersebut, selalu mendapatkan berita ekslusif dan tak jarang menjadi trend setter bagi media-media nasional lainnya.
Hingga kini, di tengah kesibukan, penulis terus mengikuti perkembangan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air dan mancanegara yang dituangkan dalam sejumlah tulisan.
BAHAN bakar fosil yang merupakan salah satu bagian dari sunset industry, akan segera menjadi energi masa lalu. Meredup dan tenggelam karena tidak ada lagi cadangan yang dapat diolah.
Beruntunglah Indonesia yang berada di daerah tropis sekaligus terletak di antara cincin api Pasifik (ring of fire). Posisi yang strategis tersebut membuat negara ini memiliki sumber daya energi terbarukan (EBT) yang melimpah ruah, dari mulai tenaga surya, tenaga air, bayu hingga panas bumi.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki potensi EBT yang mencapai 400.000 Mega Watt (MW) pada 2021. Jika diasumsikan daya terpasang satu rumah sebesar 450 volt ampere (VA), maka kapasitas EBT yang dimiliki negara ini mampu mengaliri listrik kurang lebih 800 juta rumah penduduk.
Baca juga: Ada Banyak Peluang, Pemerintah Tawarkan Investor Asing Masuk ke Sektor Energi Terbarukan
Pemerintah sendiri telah menetapkan target bauran energi primer hingga 2025 yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014.
Indonesia menargetkan komposisi bauran energi nasional pada 2025 akan terdiri dari EBT 23 persen, gas bumi sebesar 22 persen, minyak bumi sebesar 25 persen, dan batu bara sebesar 30 persen.
Sebagai penanda keseriusan pemerintah, Presiden Joko Widodo juga menegaskan komitmennya untuk penggunaan EBT mengeluarkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Dalam RUEN, disebutkan target energi primer EBT pada 2025 paling sedikit mencapai 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050. Dengan patokan tersebut, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus mencapai sekitar 42,5 gigawatt dan menjadi 167,7 GW pada 2050.
Namun target hanya tinggal target. Ibarat jauh panggang dari api. Hingga 2020, realisasi kapasitas pembangkit EBT baru 10.467 megawatt, naik dari 2019 sebesar 10.291 MW.
Angka realisasi kapasitas pembangkit EBT 2020 pada 2020 di antaranya berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 6.121 MW, panas bumi 2.130 MW, dan tenaga surya 153,5 megawatt peak (MWp). Dan pada 2021, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit EBT mencapai 11.362 MW.
Baca juga: Potensi Energi Terbarukan Indonesia Melimpah, Mampu Penuhi Seluruh Kebutuhan Energi
Lalu apakah penyebab pemerintah terlihat tergopoh-gopoh dalam mengejar target pembangkit EBT ini? Salah satunya adalah kebijakan pemerintah.
Saat ini, pemerintah memang telah memberikan sejumlah insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, untuk mendorong pemanfaatan EBT. Insentif tersebut berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 30 persen dari nilai investasi, insentif bea masuk bagi peralatan penunjang dan juga keringanan pajak (tax holiday) selama 5-20 tahun dengan investasi minimal Rp 500 miliar.
Namun,iming-iming insentif yang dianggap pemerintah tersebut ternyata kurang mendapat sambutan meriah dari investor. Salah satunya adalah instrument kebijakan dan regulasi pemerintah yang dianggap kurang memadai.
Baca juga: Gas Pol Pensiunkan Batu Bara
Investor menginginkan adanya payung hukum sebagai dasar tata kelola pengembangan EBT yang lebih mengikat. Selain itu, hal yang paling mendasar adalah masalah harga listrik EBT yang dinilai masih kurang kompetitif dan ekonomis dalam pengembangan pembangkit EBT.
Berdasarkan perhitungan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), harga jual listrik dari pembangkit EBT saat ini mencapai 5-6 sen dollar AS per kilo Watt hour (kWh), jauh lebih mahal daripada harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang hanya 3 sen dollar AS. Perbedaan yang signifikan ini tentu menjadi hambatan dalam merangsang investor untuk membangun proyek-proyek pembangkit EBT.
Baca juga: Dorong Peningkatan Energi Terbarukan, PT EMI Resmi Jadi Anak Usaha PLN
Untuk memastikan target bauran energi nasional itu dapat dicapai, maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, baik Presiden maupun antarkementerian.
Kementerian ESDM diharapkan dapat memberikan usulan kepada Presiden mengenai skema tarif listrik yang kompetitif dan berkeadilan, baik bagi investor dan konsumen, yang akan tertuang dalam Peraturan Presiden Tarif EBT.
Sementara itu, Kementerian Keuangan juga dapat memberikan masukan kepada Presiden mengenai instrumen-instrumen fiskal yang lebih menarik bagi investor dalam pengembangan pembangkit EBT. Serta yang tak kalah pentingnya, pemerintah juga harus memastikan agar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk mewujudkan target tersebut. (*Buyung Wijaya Kusuma, jurnalis tinggal di Jakarta)
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.