Beragam Alasan Pemerintah Tolak Buka Draf Terbaru RUU KUHP
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sampai saat ini belum membuka draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
Kelompok masyarakat sipil pun terus mendesak supaya pemerintah segera membuka draf terbaru RKUHP, setelah Kemenkumham dan Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 25 Mei 2022 lalu.
Bahkan hari ini, Selasa (28/6/2022), massa mahasiswa gabungan yang menamakan diri Aliansi Nasional Reformasi RKUHP akan menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI Jakarta Pusat, buat mendesak pemerintah menbuka draf terbaru RKUHP.
KUHP yang saat ini masih berlaku merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan beberapa isinya dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Proses penyusunan RKUHP hingga saat ini sudah memakan waktu 58 tahun, sejak dimulai pada 1964 silam.
Baca juga: Mahasiswa Demo di Depan Gedung Parlemen Siang Ini, Desak Presiden dan DPR Buka Draf Terbaru RKUHP
Di sisi lain, masyarakat berharap sejumlah aturan pidana dalam RKUHP dibuat dengan gagasan memberi kepastian hukum tanpa ada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
RKUHP sempat akan disahkan pada 2019 lalu, tetapi tidak jadi dilakukan karena penolakan masyarakat dan mahasiswa yang memicu aksi unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota.
Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan tahun ini. Namun, menurut catatan kelompok masyarakat sipil terdapat sejumlah aturan yang dinilai berpotensi sebagai kriminalisasi.
Salah satunya adalah soal pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden serta pidana penghinaan lembaga negara dan kekuasaan.
Selain itu, kelompok masyarakat sipil khawatir pembahasan RKUHP dilakukan secara tertutup dan dikebut, seperti yang terjadi dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Baca juga: DPR RI Diminta Kritis dan Tidak Langsung Ikut Pemerintah dalam Perumusan RKUHP
Kemenkumham membeberkan sejumlah alasan mengapa draf terbaru RKUHP sampai saat ini masih belum dibuka kepada masyarakat.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, saat ini pemerintah belum bisa membuka draf terbaru RKUHP ke publik.
Eddy, sapaan Edward, pun menjelaskan prosedur bagaimana draf terbaru RKUHP bisa dibuka.
Dia mengatakan, pemerintah harus menyerahkan draf tersebut ke DPR terlebih dahulu sebelum dibuka.
“Itu sama dengan RUU TPKS (tindak pidana kekerasan seksual) minta dibuka, ‘belum, nanti sampai ke DPR. DPR terima secara resmi, baru kita buka’. Begitu memang prosedurnya,” kata Eddy di Gedung DPR RI pada 22 Juni 2022 lalu.
Baca juga: Ketua Komisi III: Kalau RKUHP Ugal-ugalan, Bisa Judicial Review
Eddy mengatakan ada sejumlah kendala dalam menyusun dan meneliti kembali draf RKUHP sebelum diserahkan kepada DPR.
Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.
Eddy mengatakan, menemukan sejumlah kekeliruan dalam draf sehingga tidak bisa membuka kepada masyarakat sebelum diserahkan ke DPR.
“Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca,” kata Eddy.
Baca juga: Pemerintah Jawab Mahasiswa yang Desak Draf Terbaru RKUHP Dibuka
Eddy mengatakan, proses meneliti draf RKUHP memakan waktu karena dilakukan secara rinci buat menghindari kekeliruan fatal.
Dia mencontohkan ada pasal yang dihapus, tetapi ternyata masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal yang dihapus tadi.
Hal itu ingin mereka hindari, sehingga proses pembacaan draf masih terus dilakukan.
“Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ,” ucap Eddy.
Baca juga: Pemerintah Disebut Tak Transparan soal RKUHP, KSP: Jangan Suuzan Dulu
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan sebagian permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
MK menyatakan UU Ciptaker cacat secara formil dan inkonstitusionalitas bersyarat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
MK menemukan fakta hukum terkait perubahan materi RUU Ciptaker secara substansial pasca-persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekadar bersifat teknis penulisan, termasuk juga terdapat salah dalam pengutipan.
Kesalahan itu di antaranya, pasal hilang, kata hilang, perubahan kata, perubahan frasa, perubahan pasal, perubahan judul bab, dan perubahan ketentuan umum.
MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
Baca juga: Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah di RKUHP Dipertahankan, Ini Alasannya
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.