Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan
KOMPAS.com – Bertahun-tahun warga penghayat kepercayaan hidup dalam tekanan dan diskriminasi. Putusan Mahkamah Konstitusi soal kolom agama bisa menjadi titik tolak pemenuhan hak sipil mereka sebagai warga negara.
Carles Butar-Butar (17) bercita-cita menjadi seorang polisi setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di Balige, Sumatera Utara. Tekadnya yang kuat membuat Carles berusaha keras mewujudkan angannya itu.
Kata guru di sekolahnya, nilai seluruh mata pelajaran Carles tidak buruk. Badannya yang tegap dan kebiasaan berdisiplin di rumah maupun sekolah bisa menjadi modal Carles untuk mengikuti jejak sang kakek yang berprofesi sebagai polisi.
Namun, ada satu hal yang dapat menggagalkan langkah remaja Batak itu meraih cita-citanya, yakni status Carles sebagai penganut Ugamo Malim atau seorang Parmalim.
Kisah Carles dalam film dokumenter “Ahu Parmalim” karya Cicilia Maharani dari Yayasan Kampung Halaman, mungkin juga dialami oleh ribuan remaja penghayat kepercayaan di Indonesia.
Situasi yang tak lebih baik pernah dialami oleh Maradu Naipospos (32), seorang pegiat di organisasi kepemudaan Tunas Naimbaru.
Tunas Naimbaru merupakan organisasi pemuda penganut Ugamo Malim di Sumatera Utara. Mereka berupaya melestarikan kepercayaan leluhur yang sudah ada sejak 1870 itu.
Selain itu, mereka juga berupaya menjalin hubungan sosial dengan kelompok lain agar keberadaan mereka diakui.
Jika sekolah tempat Carles belajar telah menjamin hak-haknya sebagai penganut Ugamo Malim, lain lagi dengan sekolah Maradu.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2001, Maradu sering mendapat perlakuan tidak adil karena mengakui identitasnya sebagai penganut Parmalim.
Ia diwajibkan mengikuti pelajaran agama Kristen dan mengisi buku kebaktian untuk mendapatkan tanda tangan dan stempel dari pengurus gereja sebagai salah satu syarat mendapatkan nilai.
“Saat dulu aku sekolah sering mendapat perlakuan diskriminatif, ketika aku mengakui bahwa aku adalah Parmalim. Dulu ambil mata pelajaran agama Kristen, kan ada buku kebaktian, itu harus diwajibkan ke gereja untuk minta stempel dan tanda tangan,” cerita Maradu saat berbincang dengan Kompas.com, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
“Ketika saya bilang saya ini Ugamo Malim, ditamparkannya buku itu ke muka saya. ‘Tidak ada itu Ugamo Malim’, kata dia,” tambah Maradu.
Maradu mengaku, tidak keberatan jika harus mengikuti pelajaran agama yang tak diyakininya.
Namun, ia merasa tak berhak mendapat perlakuan diskriminatif sebagai Parmalim. Hukuman terpaksa ia terima karena tidak mengisi buku kebaktian dari sekolahnya.
Sulit bagi Maradu untuk memenuhi kewajiban datang ke gereja setiap hari Minggu dan meminta stempel serta tanda tangan.
Sementara aturan dari Ugamo Malim mewajibkan Maradu untuk membantu pekerjaan orangtuanya sebagai petani seharian penuh.
“Belajar agamanya tetap aku ikutin di sekolah, tapi kalau aku harus dipaksa datang ke gereja pada hari minggu, ya satu berlawanan, kedua aku harus bekerja bantu orangtua di hari Minggu. Kan tidak mungkin. Ya, aku jalani saja hukumannya,” ucap pemuda yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta itu.
Diskriminasi
Dewi Kanti Setianingsih dari komunitas masyarakat adat Karuhun Sunda Wiwitan di Cigugur, Jawa Barat, menyebut adanya praktik diskriminasi secara sistemik terhadap penghayat kepercayaan atau pemeluk agama-agama leluhur.
Persoalannya bermula dari kebijakan pengosongan kolom agama di KTP bagi warga penghayat kepercayaan. Hal itu diatur dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Meski administrasi kependudukan warga penghayat kepercayaan tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan, namun faktanya ketentuan tersebut justru melahirkan diskriminasi.
Warga penghayat kepercayaan kesulitan saat hendak melakukan perkawinan, mengurus akta kelahiran, mengakses pekerjaan dan tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial.
Ketika melangsungkan perkawinan pada tahun 2002, Dewi tidak dapat mencatatkannya di catatan sipil dengan alasan kepercayaan Sunda Wiwitan belum diakui sebagai agama oleh negara dan tidak masuk dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan dicatatkan.
Sementara penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyatakan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Akhirnya perkawinan Dewi hanya dicatatkan dalam lembaga adat atau komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.
“Memang kami tidak disediakan catatan pernikahan untuk kami. Negara tidak mau mencatat di Catatan Sipil. Negara tidak mau mencatat peristiwa kependudukan kami karena dianggap belum ada perundang-undangan dan dianggap bukan sebagai agama yang diakui. Itu persoalannya. Alasannya kan harus menikah sesuai tata cara agama,” ujar Dewi saat dihubungi.
“Bukti pencatatan pernikahan hanya ada di internal komunitas. Kami membuat berita acara disaksikan oleh aparatur desa atau kelurahan setempat kemudian ada sesepuh adat,” tambah dia.
Dengan tidak dicatatkannya perkawinan Dewi di Catatan Sipil, berdampak pada status hukum anaknya.
Dalam akta kelahiran, kata Dewi, anaknya dianggap tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya karena tidak dicatatkan.
Artinya, anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anaknya dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
“Akta kelahiran anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Memang Ada akta kelahiran, tapi dianggap sebagai anak di luar nikah kemudian status hukum dengan ayahnya dihilangkan. Artinya negara dengan sengaja memisahkan silsilah atau asal-usul antara anak dengan ayah secara sistemik dan itu berdampak pada genosida kultural,” kata Dewi.
Selain orang dewasa, tindakan diskriminasi juga dialami oleh anak-anak penghayat kepercayaan.
Dewi menuturkan, anak-anak Sunda Wiwitan sering mengalami perundungan atau bullying dari teman-temanya di sekolah.
Pihak sekolah, kata Dewi, seringkali melakukan hal yang sama. Dewi mencontohkan, satu kasus di mana seorang anak Sunda Wiwitan dipaksa mengenakan pakaian khas salah satu agama. Hingga akhirnya anak itu disidang oleh pihak sekolah karena menolak.
“Kami sebagai pendamping warga juga sering mengadvokasi anak-anak penghayat kepercayaan di sekolah mereka. Ada yang dipaksa untuk memakai baju muslim ketika hari-hari tertentu atau saat bulan puasa. Kami akhirnya melakukan pendekatan kepada pihak sekolah. Sampai kami minta perlindungan kepada KPAI,” kata Dewi.
“Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh guru itu luar biasa dampaknya. Jadi anak itu disidang di depan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru kesiswaan, jadinya anak-anak itu seperti pesakitan,” tuturnya.
Tindakan diskriminatif yang diungkapkan oleh Dewi juga dialami oleh sebagian besar warga penghayat kepercayaan.
Dalam permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Nggay Mehang Tana, seorang penganut kepercayaan Marapu di Sumba Timur menuturkan, dengan tidak diisinya kolom agama bagi penghayat kepercayaan, mereka dicap kolot, kafir dan sesat.
Hal itu berimbas pada pelanggaran terhadap hak konstitusional dalam pelayanan administrasi kependudukan.
Perkawinan antarpemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara adat tidak diakui negara.
Akibatnya, anak-anak mereka sulit mendapatkan Akta Kelahiran. Demikian pula dengan persoalan KTP elektronik.
“Untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik,” tulis Nggay.
Sementara itu, Arnol Purba, seorang penganut Ugamo Bangso Batak asal Medan Sumatera Utara, mengaku anaknya yang bernama Dessy kesulitan untuk mendapat pekerjaan karena kolom agama di KTP-nya dikosongkan.
Menurut Arnol, calon pemberi kerja menganggap bahwa pengosongan kolom agama identik dengan ateis atau kafir.
Dessy juga kesulitan ketika hendak menerima upah dari perusahaan tempat ia bekerja, karena pihak perusahaan dan pihak bank mempersoalkan kolom agama yang dikosongkan dan meminta klarifikasi kepada Pemerintah setempat dan Pengurus Kepercayaan Ugamo Bangso Batak.
“Walaupun memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan dan memiliki nilai bagus di ijazahnya, Dessy tidak diterima sebagai pekerja,” tutur Arnol.
Lain lagi dengan pengalaman yang pernah dialami oleh Carlim, penganut Sapto Darmo di Cikandang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Akibat kolom agama yang kosong, pemakaman anggota keluarga Carlim ditolak di pemakaman umum manapun di Kabupaten Brebes.
Pengakuan atas penghayat kepercayan
Perjuangan warga penghayat kepercayaan agar diakui sebagai warga negara akhirnya membuahkan hasil.
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait ketentuan pengisian kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga bagi warga penghayat kepercayaan.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
MK memutuskan kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Meski demikian, peneliti dari Setara Institute, Sudarto menilai, putusan MK tersebut belum memberikan jaminan pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan secara penuh.
Menurut Sudarto, diskriminasi yang selama ini dialami oleh warga penghayat kepercayaan disebabkan karena tidak adanya rekognisi atau pengakuan atas keberadaan mereka.
“Yang menjadi problem selama ini adalah rekognisi substansial terhadap agama lokal. Jadi rekognisi itu lebih penting bukan sekadar mencantumkan agama lokal dalam kolom agama di KTP dan KK karena problemnya banyak pihak yang menolak putusan MK itu,” ujar Sudarto saat dihubungi.
Dalam buku berjudul ‘Menagih Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’, Sudarto menuturkan bahwa warga penghayat kepercayaan memiliki beban sejarah, di mana mereka tidak dianggap sebagai pemeluk agama yang “diakui” Negara.
Di sisi lain, melalui produk kebijakannya, Negara seakan membangun politik pembedaan. Dampaknya, warga penghayat kepercayaan menerima perlakuan sosial yang berbeda pula.
Pertama, stigmatisasi sebagai kelompok tidak beragama atau belum beragama. Hal itu merupakan beban psikologis tersendiri.
Bahkan, hal itu juga dialami oleh anak-anak para penghayat kepercayaan dalam bentuk perundungan.
Stigmatisasi ini disebabkan tidak diakomodasinya kepercayaan mereka di dalam kolom agama pada KTP.
Kedua, pelecehan dan sinisme dengan menyebut penghayat kepercayaan sebagai kelompok primitif atau belum beradab.
Pelecehan tersebut terutama dialamatkan terhadap penghayat Kepercayaan yang tinggal di desa-desa pedalaman.
Mereka sering menjadi obyek liputan media dan direspons sebagai komunitas masyarakat kelas rendah yang dianggap perlu untuk diberadabkan.
Ketiga, tuduhan sebagai aliran sesat, klenik dan perdukunan.
Keempat, seringkali terjadi hubungan yang kurang harmonis di beberapa daerah persebaran penghayat kepercayaan yang bertetangga dengan agama dakwah atau agama misionaris.
Kelima, hubungan sosial yang tersegregasi atau terasingkan akibat menguatnya politisasi agama.
“Praktik-praktik diskriminasi yang dialami oleh pemeluk agama lokal itu menjadi massif. Saya menemukan banyak praktik pemaksaan pernikahan. Para penghayat kepercayaan Sedulur Sikep di Pati, Blora, Kudus termasuk Rembang. Sebagian kelompok mereka dipaksa untuk menikah dengan cara Islam, sebagai agama yang dominan. Pemaksaannya jelas dari Disdukcapil karena menganggap agama kepercayaan itu tidak ada,” kata Sudarto.
“Proses diskriminasi itu terjadi karena negara, dalam tanda kutip, hanya mengakui enam agama,” ucapnya.
Secara terpisah, akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.
Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.
“Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK,” ujar Bivitri dalam sebuah diskusi.
Menurut Bivitri, pemerintah harus mengomunikasikan pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan dalam konteks pelayanan publik di seluruh tingkat, dari pusat hingga ke daerah.
Institusi pemerintahan seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, institusi Polri dan pengadilan, kata Bivitri, wajib memahami putusan MK tersebut.
Ia mencontohkan, sebuah tindakan diskriminatif yang dialami oleh seorang warga penghayat Sunda Wiwitan saat berurusan di pengadilan.
Hakim yang memimpin sidang tidak mengambil sumpah lebih dulu saat warga penghayat itu hendak memberikan kesaksian dengan alasan kepercayaannya tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.
Padahal, pengambilan sumpah menjadi salah satu unsur agar sebuah kesaksian di pengadilan bisa dianggap sah.
“Putusan MK ini baik dan harus terus digaungkan soal hak-hak warga penghayat,” kata Bivitri.
Menghidupkan keberagaman
Berdasarkan data Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 187 kelompok penghayat kepercayaan yang terdata oleh pemerintah.
Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Susana Setra menilai, tindakan diskriminasi hak yang dialami oleh ribuan warga penghayat kepercayaan selama ini merupakan bentuk dari pengabaian nilai keberagaman.
Padahal, hak dasar warga penghayat kepercayaan telah diakui dalam Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat tahun 1994 dan konstitusi negara.
“Selama ini sebenarnya kita mengabaikan soal keberagaman karena mengabaikan hak warga penghayat kepercayaan,” ucap Mina saat diskusi.
Mina mengatakan, jika dilihat lebih dekat, kepercayaan adat atau agama leluhur mengandung beragam nilai-nilai kehidupan sebagai aset kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Agama-agama leluhur, kata Mina, umumnya tidak hanya bicara tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga mengenai hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Masih dalam buku karya Sudarto, kepercayaan seperti Ugamo Bangso Batak, Ugamo Malim, dan Komunitas Samin memiliki ajaran yang mewajibkan penganutnya untuk hidup selaras dengan alam.
Dalam ajaran Ugamo Bangso Batak, misalnya, terdapat ajaran tentang manfaat alam bagi kehidupan manusia dan ketentuan menjaga kelestarian lingkungan.
Demikian pula di Komunitas Samin yang mengajarkan tentang keutuhan kehidupan antara pengetahuan kebudayaan dan lingkungan.
“Kalau negara mau melihat betapa kayanya keberagaman nilai dari agama-agama leluhur. Tidak hanya bicara tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga dengan alam. Dan keberagaman seperti itu seharusnya dihargai,” kata Mina.
Repons Pemerintah
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pemerintah akan melaksanakan putusan MK dalam uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
“Berkaitan dengan Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang Adminduk terkait pengosongan kolom agama yang dikabulkan oleh MK, maka Kemendagri akan melaksanakan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Hal ini berimplikasi bahwa bagi warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom Agama di KTP elektronik,” ujar Tjahjo.
Tjahjo mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapatkan data penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia.
Kemendagri melalui Ditjen Dukcapil akan memasukan kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan.
“Setelah data penghayat kepercayaan kami peroleh maka Kemendagri memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi database serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia, 514 kabupaten/kota,” ucapnya.
“Kemendagri akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodir putusan MK dimaksud,” kata Tjahjo.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melarang pihak sekolah melakukan tindakan diskriminatif terhadap siswa penghayat kepercayaan.
Muhadjir menegaskan, status siswa penghayat kepercayaan diakui keberadaannya oleh pemerintah dan setara dengan para siswa lainnya.
Ia meminta masyarakat melapor ke dinas pendidikan jika menemukan praktik diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan di lingkungan sekolah.
“Untuk para penganut kepercayaan terutama para siswanya itu sudah kami layani. Memang tidak ada sanksi bagi sekolah yang melanggar. Tapi itu tegas mereka diakui. Kalau ada sekolah yang melanggar laporkan ke Kemendikbud,” ujar Muhadjir.
Muhadjir menjelaskan, hak siswa penghayat kepercayaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan.
Artinya, siswa dibolehkan mengikuti mata pelajaran agama sesuai dengan kepercayaannya dan tidak wajib mengikuti pelajaran agama yang ditentukan pihak sekolah.
Terkait materi pengajaran dan pemberian nilai, kata Muhadjir, pihak sekolah harus menyerahkan pada pimpinan komunitas penghayat kepercayaan tempat siswa itu bergabung.
Bahkan dalam peraturan tersebut menyatakan, jika dalam satu sekolah ada lebih dari separuhnya merupakan penghayat kepercayaan, pihak sekolah harus mendatangkan pengajar penghayat kepercayaan.
“Untuk pengajaran dan penilaian terhadap bahan pelajaran aliran kepercayaan itu diserahkan kepada komunitasnya. Jadi sudah tidak ada masalah,” kata Muhadjir.
“Tidak ada yang sesat”
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Sri Hartini, memastikan bahwa seluruh organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar tidak ada yang sesat.
Pemerintah mulai mengurus organisasi kepercayaan sejak 1978. Namun, semakin lama jumlah organisasi kepercayaan berkurang.
Berikut transkrip wawancara Kompas.com dengan Sri Hartini soal penghayat kepercayaan.
Sejarah peran pemerintah menangani penghayat kepercayaan?
Sebelum 1978 ada di Kementerian Agama RI karena kepercayaan ini ada TAP MPR 4/1978 dan Pidato Presiden bahwa kepercayaan kepada Tuhan YME itu adalah kekayaan rohaniah bangsa Indonesia.
Merupakan budaya spiritual maka penangananya diserahkan kepada dulu namanya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Setelah itu, ada Keppres 27 juncto 40/1978 tentang organisasi yang menangani kepercayaan kepada Tuhan YME ada di Kemendikbud.
Dulu namanya bukan Direktorat Penghayat Kepercayaan, tapi Direktorat Penghayatan. Karena yang dibina bukan penghayatannya, ritual itu urusan masing-masing jadi tidak urus itu.
Berapa jumlah anggota kelompok penghayat kepercayaan?
11.288.957 orang.
Dari tahun ke tahun jumlah organisasi penghayat kepercayaan terus berkurang, fakta sebenarnya bagaimana?
Ya, fakta. Dulu ketika saya masuk pas CPNS 33 tahun lalu, jumlahnya 286 organisasi penghayat. Sekarang jumlahnya 187 berarti kurang 100-an. Tidak adanya itu bukan karena dibubarkan atau dibekukan, tapi karena regenerasi, ada yang sepuh-sepuh akhirnya menyerah.
Reinventarisasi organisasi penghayat itu dilakukan tiga tahun sekali. Tidak tiap tahun karena biayanya besar. Kami kan juga mengimbau kepada para organisasi itu jika ada perubahan struktural pengurus organisasi disampaikan ke direktorat kami. Mereka sudah aktif begitu.
Pendataan itu tidak akan berhenti, kita selalu lakukan reinventarisasi menyeluruh, misal dalam satu tahun itu harus selesai. Makanya kami minta kepada organisasi penghayat, setiap ada perubahan organisasi, anggotanya berkurang atau meninggal, kami minta dilaporkan ke direktorat.
Data sekarang ini sudah diekspose ada 187 organisasi penghayat tingkat pusat dan 1047 organisasi tingkat cabang. Tingkat pusat tersebar di 13 provinsi, kalau cabang di 27 provinsi.
Terakhir reinventarisasi kapan?
Tahun 2013.
Apa sulitnya melakukan reinventarisasi?
Kalau yang sudah terinventarisasi di Kemendikbud itu tidak susah karena kita tahu alamatnya di mana, sesepuhnya siapa. Jadi yang 187 itu tidak susah.
Persoalannya penghayat kepercayaan tidak hanya yang tergabung di 187 itu, tapi ada juga yang perseorangan itu jumlahnya banyak.
Nah, sekarang itu jadi agenda yang perlu segera dilakukan pendataan terhadap mereka yang perseorangan ini.
Karena jangan sampai yang perseorangan ini ada masalah lagi terkait pelayanan oleh pemerintah. Tidak dilayani administrasi kependudukannya.
Ada MLKI sebagai stakeholder, Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan YME Indonesia. MLKI wadah organisasi yang terdaftar.
MLKI dibentuk juga atas dasar rekomendasi dari seluruh organisasi penghayat kepercayaan melalui kongres kepercayaan.
Sudah ada di program untuk mendata para penghayat perseorangan, sehingga jumlahnya para penghayat itu bisa lebih dari 11 juta orang.
Kami minta MLKI buat program itu kerjasama dengan MLKI kabupaten/kota. Ini baru mulai, baru tahun ini. Tujuannya jangan sampai penghayat yang perseorangan tidak dilayani oleh mereka.
Pemerintah menggandeng MLKI karena tidak mungkin kalau harus membina satu-satu. Pembinaannya kepada organisasi penghayat, ya melalui MLKI. Tapi di luar organisasi yang tergabung di MLKI itu juga tetap dapat hak yang sama, misalnya layanan pernikahan dan pendidikan.
Pembinaan organisasi penghayat seperti apa?
Kegiatan pembinaan meliputi: pembinaan generasi muda penghayat, pemberdayaan perempuan penghayat, pembinaan managemen organisasi penghayat kepercayaaan, peningkatan SDM penghayat, sosialisasi perundangan dalam upaya mendapatkan layanan (layanan pendidikan dan hak-dasar dasar lainnya) internalisasi nilai-nilai kepercayaan, inventarisasi dan dokumentasi.
Pengawasan kepada penghayat agar mereka tidak melenceng menyembah selain Tuhan?
Tidak ada yang melenceng, belum pernah ada, artinya sesat. Tidak ada. Kita sering adakan sarasehan di daerah, ketemu semua, ketemu sesepuhnya, ada generasi mudanya, ada perempuan penghayat ya, ada pengurusnya. Semacam pertemuan selalu ada, komunikasi itu selalu ada. Kami sebetulnya tidak ada pengawasan, apa yang mau diawasi?
Dari 187 itu harus saya sampaikan, 187 itu tidak pure yang keyakinannya kepada Tuhan YME. Ada yang pure, ada yang multikultur campur-campur. Mereka itu sebenarnya juga beragama, tapi masih melaksanakan budaya spiritual, kekayaan rohaniah bangsa Indonesia.
Kalau advokasi untuk mereka bagaimana?
Kan banyak masalah, ketika mereka para penghayat masih susah, kan dulu sudah ada Peraturan Menteri Bersama tentang pelayanan kepada penghayat kepercayaan, apa yang harus diberikan pemerintah provinsi, kabupaten/kota kepada para penghayat, sudah sangat jelas di situ.
Administrasi, misalnya, yang berkaitan ada organsiasi yang ingin daftar, ada form-form yang harus diisi. Jadi tidak mudah juga dia mengaku menjadi organisasi penghayat kepercayaan, banyak form-form yang harus diisi, kami kaji betul.
Karena di situ ada sejarahnya, jangan sampai ajaran ini sempalan agama tidak boleh karena ini adalah kekayaan rohaniah bangsa Indonesia, budaya spiritual. Semua menyembah Tuhan, tidak boleh ada yang menyembah kayu atau batu.
Kan di form sudah jelas. Sejarahnya dari mana, ajaran dari sesepuh, leluhur, ini siapa, bagaimana mendapatkan itu, itu kami kaji semua, tidak mudah, banyak yang kita tolak. Banyak yang daftar, tapi ini sempalan agama, ya tidak bisa.
Apa yang perlu dibina dari kelompok penghayat?
Kan begini, yang namanya kepercayaan terhadap Tuhan YME ada tiga hal, wadahnya, yakni organsiasi, kemudian orangnya penghayat kepercayaan, ketiga ajarannya.
Nah, ajaran ini kami tidak membina, ritualnya kami tidak membina. Tapi organisasi bagaimama manajemennya dan bagaimana SDM penghayat ini bisa maju kompetensinya. Ajaran itu kita minta ke mereka, dalam arti pemanfaatannya, ada nilai ke-Tuhanan, nilai terhadap sesama, nilai terhadap alam.
Jadi jangan langsung menjustifikasi penghayat kepercayaan itu orang yang tidak ber-Tuhan. Mereka tidak diakui sebagai agama, mereka hanya ingin hak-haknya sama dengan yang lain. Di UU Administrasi Kependudukan sudah, tapi gara-gara KTP kosong mereka tidak mendapatkan haknya secara penuh.
Prosedur mendaftar ke pemerintah bagi organisasi penghayat?
Harus ada rekomendasi dari dinas kabupaten/kota, dinas yang membidangi kebudayaan, dari situ langsung ke Kemendikbud. Isi form-form yang sudah disediakan, syarat dicek dan lain-lain. Nanti kami kaji, ada yang kurang, nanti ditelepon atau disurati.
Kalau sudah ke pusat diterima nanti bisa diterbitkan daftar inventarisasi dan tembusan ke dinas kebudayaan setempat.
Anggaran untuk pembinaan organisasi penghayat?
Tidak banyak-banyak amat, Rp 6 miliar sampai Rp 7 miliar per tahun. Dulu anggarannya lebih sedikit.
Harusnya ada kenaikan, pendataan itu kan kemana-mana, misal ke Mamasa dari Sulsel masih 10 jam. Di sana ada Mapurondo di 13 kecamatan. Tapi kami bersyukur masih bisa lah apa yang jadi tupoksi kami.
Misal, sosialisasi juga harus dilakukan. Saya suruh menghitung juga berapa anggaran untuk sosialisasi sejak ada UU Adminduk, nyatanya di daerah tidak optimal juga pelayanannya.
Anggaran hibah per organisasi?
Komunitas budaya, termasuk penghayat itu Rp 80 juta sampai Rp 100 juta per tahun. Besar kecilnya organsiasi tidak beda dana hibahnya.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi soal penghayat kepercayaan, peran Kemendikbud bagaimana?
Kita sebelum putusan (MK), sudah ada Permendikbud tentang layanan pendidikan. Sekarang sudah menyiapkan komponen bahan ajar.
Sebetulnya implikasinya itu (putusan MK) ketika masuk TNI/Polri tak ada penolakan lagi gara-gara (kolom agama di) KTP kosong. Selama ini kan sudah terakomodasi di UU Adminduk. Kalau kami layanannya tetap tidak berubah.
Kuncinya layanannya ada di pemerintah daerah. Selama ini yang belum optimal daerah, kalau pusat sudah. Semoga putusan itu memperkuat keberadaan para organsiasi penghayat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.