Pasar Minyak Goreng di RI Dikuasai 4 Perusahaan Besar
KOMPAS.com – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat ada indikasi yang mengarah pada kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini. Namun hal itu masih bersifat dugaan dan masih harus dibuktikan.
Indikasinya kartel minyak goreng terlihat saat perusahaan-perusahaan besar di industri minyak sawit kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.
Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat pula bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.
Dikutip dari Antara, Jumat (21/1/2022), Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan pihaknya turut mendorong pemerintah agar pelaku usaha dalam negeri semakin banyak, bukan hanya berafiliasi tetapi pemiliknya sama atau satu orang saja.
Baca juga: YLKI Endus Aroma Persekongkolan Kartel di Balik Mahalnya Minyak Goreng
Ia bilang, meski banyak merek minyak goreng di pasaran Indonesia, sebenarnya beberapa merek di antaranya dimiliki satu grup perusahaan yang sama.
“Kalau ada minyak goreng berbagai merk tapi perusahaan itu itu saja, sehingga posisi tawar konsumen menjadi lemah. Kalau berbeda pemilik perusahaan dari setiap satu merk, konsumen memiliki pilihan,” katanya memberikan gambaran.
Menurut dia, dalam mencermati kondisi di lapangan, domain KPPU adalah mengawasi pelaku ekonomi agar tidak melakukan pelanggaran persaingan usaha.
Selain itu, lanjut dia, KPPU juga sementara menelaah penyebab kenaikan harga minyak goreng sebagai kontribusi dari kebijakan yang ada atau prilaku dari perusahaan.
Baca juga: YLKI Heran, Minyak Goreng Tidak Impor, tapi Dijual Pakai Harga Dunia
Pasalnya, terdapat aturan atau kebijakan yang menerapkan persyaratan untuk membangun pabrik minyak goreng, sedikitnya harus memiliki 20 persen lahan sawit untuk mendukung produksinya.
Akibatnya, pabrik minyak skala kecil di daerah sangat sulit membangun pabrik minyak goreng. Padahal era 1970-1980an pabrik minyak goreng lokal tumbuh subur memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Namun kini hanya pabrik minyak goreng skala besar saja yang beroperasi seperti di Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Indikasi lainnya terkait dugaan kartel sebagai bentuk adanya kesepakatan perusahaan minyak goreng untuk menaikkan harga bersama, kata Ukay, ini juga menjadi pemantauan KPPU.
“Kompak naiknya ini harga minyak goreng. Ini yang saya katakan ada sinyal terjadinya kesepakatan harga. Tapi ini secara hukum harus dibuktikan,” kata Ukay.
Baca juga: Endus Aroma Praktik Kartel Minyak Goreng, KPPU: Kompak Naiknya
Dalam paparan hasil penelitian yang dilakukan KPPU selama tiga bulan terakhir, lembaga itu mendapati bahwa kenaikan minyak goreng disebabkan oleh kenaikan harga bahan baku utamanya yaitu minyak kelapa sawit di level internasional akibat permintaannya yang meningkat.
“Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel,” katanya.
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Renamanggala, menjelaskan pelaku usaha terbesar minyak goreng di Indonesia adalah pelaku usaha yang terintegrasi dari perkebunan sawit dan pengolahan CPO.
Sebagai komoditas global, kenaikan harga CPO akan menyebabkan produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.
Baca juga: Kemendag Bantah Ada Kartel Minyak Goreng
Hal itu menyebabkan ketika harga CPO global sedang tinggi, maka produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran produsen akan lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Ini kami lihat agak sedikit aneh, karena sebenarnya produsen minyak goreng ini perusahaan di kelompok yang ekspor CPO atau yang punya kebun. Sepertinya pelaku usaha yang lakukan ekspor ini, meski punya usaha minyak goreng, namun mereka tetap mengutamakan pasar ekspor karena itu dapat meningkatkan keuntungan mereka,” katanya.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia. Hampir tiga bulan, lonjakan harga minyak masak di dalam negeri melesat tanpa kendali.
Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit di pasar global. Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.
Baca juga: KPPU Masih Telusuri Dugaan Praktik Kartel Minyak Goreng
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel di balik kenaikan harga minyak goreng di negara pengekspor sawit terbesar dunia ini.
“Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” kata Tulus saat dikonfirmasi Kompas.com.
Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.
Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, lanjut Tulus, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.
Baca juga: Seberapa Kaya VOC hingga Jadi Cikal Bakal Penjajahan Belanda?
Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.
“Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen,” terang Tulus.
Kalau pun kenaikan harga dipicu lonjakan permintaan, hal itu bukan alasan mengingat Natal dan Tahun Baru (Nataru) sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih saja tinggi.
Terlebih, Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar di dunia. Untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional.
Harga minyak CPO di pasar dunia yang tengah melonjak, tidak bisa jadi alasan untuk menaikkan harga minyak goreng yang dijual di dalam negeri.
Baca juga: Kendala Terowongan Kereta Cepat Diselesaikan berkat Tenaga Ahli China
Harga minyak goreng harus mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional,” ujar Tulus.
Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema hak guna usaha (HGU).
Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel. Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.
Ini karena hampir semua pemain besar produsen minyak goreng juga menguasai perkebunan kelapa sawit. Minyak goreng yang diproduksi para pemain besar juga ikut melonjak.
Baca juga: Siapa yang Akan Menanggung Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.