Jakarta, CNBC Indonesia – Jatuhnya pemerintahan Afganistan ke tangan kelompok Taliban menyita perhatian dunia. Apalagi salah satu negara di Asia Selatan ini disinyalir memiliki ‘harta karun’ berupa tambang mineral yang nilainya mencapai US$ 1 triliun atau setara Rp 14.400 triliun (asumsi Rp 14.400/US$).
Harta karun tambang mineral itu pertama kali ditemukan oleh pihak Amerika Serikat (AS) tahun 2010. Dilansir dari New York Times, tambang itu berisi deposit litium dan kobalt.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keduanya merupakan komponen utama dalam baterai kendaraan listrik, emas, tembaga, dan bijih besi. Ditemukan oleh tim pejabat Pentagon dan ahli geologi AS, kekayaan mineral ini tersebar di seluruh negeri, termasuk di selatan dan timur di sepanjang perbatasan dengan Pakistan, area pemberontakan paling intens yang dilakukan Taliban saat itu.
Sebuah memo internal Pentagon mengatakan Afghanistan bisa menjadi “Arab Saudi lithium” karena melimpahnya cadangan tersebut. Lithium adalah bahan baku utama dalam pembuatan baterai untuk laptop dan elektronik lainnya seperti telepon seluler.
Menurut penelitian AS, deposit terbesar yang ditemukan sejauh ini adalah besi dan tembaga dan jumlahnya cukup besar untuk menjadikan Afghanistan sebagai produsen utama dunia. Ini juga dapat mengubah negara miskin itu menjadi salah satu pusat pertambangan penting dunia.
Temuan lain termasuk deposit besar niobium, logam lunak yang digunakan dalam memproduksi baja superkonduktor, elemen tanah jarang dan deposit emas besar di daerah Pashtun di Afghanistan selatan.
Sayangnya Afghanistan tidak memiliki industri pertambangan atau infrastruktur. Menurut pejabat Pentagon, negara ini akan memakan waktu puluhan tahun untuk mengeksploitasi kekayaan mineralnya sepenuhnya.
Laporan tentang kekayaan negara yang belum dimanfaatkan ini juga membuat beberapa negara melirik, seperti China, India dan Rusia. Namun kini semua harta karun itu disinyalir akan jatuh ke tangan Taliban.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT