Sosial
Tampaknya keselamatan hidup warga dan kelestarian lingkungan belum jadi pertimbangan penting dan serius bagi pemerintah. Betapa tidak, izin usaha pertambangan operasi produksi PT Mikgro Metal Perdana (MMP) yang sudah dicabut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, masih dibahas mau aktifkan lagi. Perusahaan tambang di Sulawesi Utara ini, atas gugatan warga sudah berkali-kali kalah di pengadilan, bahkan sampai Mahkamah Agung.
Niatan pengaktifan kembali inipun langsung mendapat reaksi keras Koalisi Selamatkan Pulau Bangka. Mereka mendatangi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Senin (15/1/18) dan membentangkan spanduk penolakan di lobi kementerian di Rasuna Said, Jakarta ini.
Baca juga: Jonan Cabut Izin Produksi Tambang PT MMP di Pulau Bangka, Langkah Selanjutnya?
Aksi ini dipicu salinan surat yang beredar dua hari sebelumnya. Sebuah surat dengan kop Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berasal dari Satuan Tugas (Satgas) Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Kelompok Kerja (pokja) IV penanganan dan penyelesaian kasus.
Surat bertanggal 9 Januari 2018 ini berisi undangan rapat pokja menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 12/2015 tentang peningkatan daya saing, kemandirian industri dan kepastian usaha.
Arahan presiden dalam rapat terbatas dan keputusan Menko Perekonomian nomor 100 tahun 2017 tentang satgas percepatan.
Dalam undangan dinyatakan ada tiga agenda akan dibahas pokja pada ruang rapat pokja IV di Lantai V Gedung Setjen Kemenkumham. Pertama, tindak lanjut permohonan perizinan overflight permission oleh project loon. Kedua, membahas tindak lanjut laporan PT. Tawon Energi Abadi dalam pembangunan PLTMN CPO Terapung 5 megawatt di Pulau Simeulue, Aceh.
Ketiga, membahas pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi MMP. Surat ditandatangani Wakil Ketua Pokja IV Satgas, Purbaya Yudhi Sadewa.
Agenda ketiga inilah yang memicu koalisi aksi pagi itu. Meski petugas polisi dan keamanan kementerian berjaga-jaga di sekitar gerbang gedung sejak pagi, pendemo berhasil membentangkan spanduk penolakan pertambangan di pulau-pulau kecil, di lobi gedung utama kementerian.
Tak lama satpam dan petugas pengamanan kementerian meminta masa aksi pindah keluar gedung.
Seny Sebastian dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam orasi mengatakan, upaya Kemenko Perekonomian mengaktifkan kembali tambang bijih besi MMP di Pulau Bangka, merupakan bentuk pembangkangan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Atas nama peningkatan daya saing dan kepastian usaha, pemerintah hendak melanggar putusan hukum yang inkracht, dan abai terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan,” katanya.
KESDM pada 23 Maret 2017 membatalkan IUP pperasi produksi MMP melalui Kepmen ESDM No. 1361K/30/MEM/2017. Intinya, surat itu mencabut Kepmen ESDM No. 3109K/30/MEM/2014 tentang pemberian IUP operasi produksi MMP di Pulau Bangka.
Pencabutan IUP operasi produksi MMP ini, katanya, merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung No. 255K/TUN/2016 yang memerintahkan KESDM mencabut izin.
Sebelumnya, berbagai upaya dilakukan warga Pulau Bangka, mulai aksi damai di Sulut dan Jakarta, menggalang petisi online, hingga menempuh seluruh jalur hukum.
Dalam proses peradilan itu, warga berulang kali menang, mulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 211/G/2014/PTUN-JKT pada 14 Juli 2015, diperkuat lagi putusan PTTUN pada 14 Desember 2015. Puncaknya, putusan Mahkamah Agung melalui Putusan No. 255K/TUN/2016 tanggal 11 Agustus 2016, kembali dimenangkan warga.
“Perjuangan warga menolak kehadiran tambang di Pulau Bangka bukan tanpa alasan,” katanya. Tambang bijih besi MMP mengantongi konsesi 2.000 hektar, mengapling nyaris setengah Pulau Bangka yang hanya 4.778 hektar.
Tidak hanya itu, kehadiran tambang di Bangka, menyebabkan kerusakan ekosistem dan lingkungan begitu parah baik di darat dan laut seperti kehancuran terumbu karang, penggundulan bukit, perairan makin keruh, hilangnya ikan-ikan tangkapan nelayan.
Kondisi makin menyulitkan, karena sebagian besar warga Bangka menggantungkan hidup dari perikanan, pariwisata dan perkebunan.
“Pemerintah seharusnya memberikan contoh baik pada warga dengan menghormati dan melaksanakan putusan hukum yang inkracht. Bukan malah mengangkangi hukum dengan terus menerus mencari cara untuk mengaktifkan kembali IUP operasi produksi MMP,” kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam.
Dengan kemenangan warga secara sah melalui prosedur hukum, katanya, saatnya bagi pemerintah bersama dengan warga mengupayakan pemulihan kerusakan lingkungan dan sosial yang hancur setelah tambang hadir.
Serupa diungkapkan Ariefsjah Nasution, juru kampanye Greenpeace Indonesia. Dia menilai, ada ‘hubungan gelap’ antara perusahaan tambang milik Yang Xiaokang ini, dengan pemerintah.
Dia merujuk pada berbagai upaya lobi perusahaan mulai kementerian, KSP hingga ke istana Presiden pasca putusan pencabutan IUP.
Pulau Bangka, katanya, bukan satu-satunya pulau kecil korban tambang. Catatan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) lebih 20 pulau kecil sudah rusak oleh tambang.
“Apabila pesisir dan pulau kecil dihancurkan atas restu negara, kita pertanyakan kembali adakah negara hadir di pulau kecil? Ingat, Indonesia bukan cuma Pulau Jawa,” kata juru kampanye pesisir dan pulau-pulau kecil Kiara, Rosiful Amiruddin.
Penambangan di pesisir dan pulau kecil, katanya, merupakan penghancuran ekologis. Ia mematikan ribuan nelayan kecil yang hidup bergantung pada ekosistem laut.
Rapat pindah
Menemui aksi massa, Fitriadi Agung Prabowo, staf Sekteratriat Jenderal Kemenkumham mengatakan, Kemenkumham tidak memiliki wewenang mencabut izin usaha pertambangan. Agenda rapat, katanya, baru rencana pembahasan.
“Belum tahu hasilnya,” katanya,
Seny menekankan, poin utama aksi dan aspirasi koalisi bukan soal pencabutan IUP, karena IUP sudah dicabut KESDM.
“Poin kami, upaya Kemenkumham menfasilitasi pertemuan demi kepentingan perusahaan ini bukti pemerintah tidak taat hukum,” katanya.
Aksi massa lantas meminta kesempatan menyampaikan argumen mereka dalam rapat yang sedianya berlangsung siang itu. Setelah menunggu beberapa saat, dari kementerian mengatakan rapat mendadak pindah ke Kementerian Koordinator Kemaritiman.
“Mereka (pemerintah) sebenarnya pelayan rakyat. Makan gaji dari orang di kampung-kampung, bukan alas kaki perusahaan, PT.MMP.”
Ignasius Jonan, Menteri ESDM yang mengeluarkan keputusan pencabutan izin operasi produksi MMP mengatakan, pencabutan itu sesuai aturan hukum.
”Itu saya mencabut atas putusan Mahkamah Agung. Jadi, (silakan saja) PK hingga MA atau upaya hukum lain. Pokoknya saya mengikuti aturan hukum saja,” katanya, pekan lalu. Lusia Arumingtyas
Keterangan: foto utama: Della Syahni/ Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id