Jakarta, CNBC Indonesia – RI dianugerahi sumber daya alam sektor pertambangan mineral yang sangat melimpah, bahkan beberapa komoditas masuk ke dalam 10 cadangan terbesar di dunia.
Namun sumber daya ini tidak menjadi optimal bila hanya dijual dalam bentuk bahan mentah, tanpa adanya proses pengolahan dan pemurnian yang bernilai tambah besar.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah gencar mendorong peningkatan nilai tambah, sehingga komoditas mineral tidak lagi dijual dalam bentuk mentah, melainkan telah melalui proses pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan investasi yang dibutuhkan untuk menggarap proyek hilirisasi mineral ini mencapai US$ 21,28 miliar atau sekitar Rp 304 triliun (asumsi kurs Rp 14.280 per US$).
Dia mengatakan, proyeksi kebutuhan investasi tersebut untuk pembangunan 34 fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral, termasuk 17 smelter baru nikel. Adapun investasi untuk smelter nikel saja diperkirakan mencapai US$ 8 miliar.
Arifin memaparkan, saat ini sudah ada 19 unit smelter yang telah beroperasi, didominasi smelter nikel sebanyak 13 unit. Pada 2023 ditargetkan total smelter yang beroperasi mencapai 53 smelter.
“Demikian juga dengan komoditas lainnya, antara lain bauksit, besi, tembaga, mangan, timbal, dan seng. Nanti diperkirakan akan menarik investasi sebesar US$ 21,28 miliar,” jelasnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian, Jumat (26/11/2021).
Dia mengharapkan agar proses penyelesaian bisa dipercepat menjadi 2022, karena pada 2023 adalah batas waktu untuk izin ekspor konsentrat mineral yang belum dimurnikan, termasuk bauksit dan konsentrat tembaga. Oleh karena itu, pada saat itu tiba, smelter sudah harus terbangun.
Seperti diketahui, berdasarkan Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), penghentian ekspor komoditas mineral yang belum dimurnikan paling lambat Juni 2023, tiga tahun sejak UU Minerba ini diundangkan pada 10 Juni 2020 lalu.
Arifin mengatakan, beberapa cadangan dan produksi komoditas mineral RI masuk ke dalam 10 besar dunia. Misalnya saja nikel, menempati posisi nomor satu dunia pada jumlah cadangan dan produksi.
“Mengapa Indonesia menjadi daya tarik investasi pertambangan? Menurut United States Geological Survey (USGS), cadangan nikel kita adalah nomor satu dunia, 23% cadangan nikel dunia ada di perut bumi Indonesia. Untuk produksi nikel juga Indonesia nomor 1,” kata Arifin.
Lalu komoditas lainnya adalah bauksit yang menempati nomor enam terbesar dunia dari sisi jumlah cadangan dan produksi dunia. Selain itu, tembaga Indonesia menempati posisi ketujuh dan produksinya ada di posisi 12 dunia. Kemudian, komoditas emas berada di posisi lima pada potensi dan peringkat keenam dari sisi produksi terbesar dunia.
Selanjutnya adalah timah, cadangan timah Indonesia mencapai 17% dari total cadangan timah dunia atau berada pada posisi kedua, begitu pula dengan produksinya.
Lebih lanjut Arifin mengatakan, potensi lain yang dimiliki Indonesia adalah logam tanah jarang dan lithium yang potensinya sangat besar, namun belum dapat diproduksi karena Indonesia belum memiliki teknologi untuk memisahkan dan memurnikan.
Arifin juga menyebutkan bahwa kebutuhan listrik untuk operasional 53 smelter tersebut mencapai 5,6 Giga Watt (GW) dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya diperlukan infrastruktur yang baik untuk mendukung kebutuhan listrik tersebut.
“Kebutuhan listrik untuk 53 smelter ini mencapai 5.600 MW atau 5,6 GW dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ini tentu saja menjadi tantangan kita terutama tantangan ke depan, bagaimana kita bisa mendukung industri-industri ini dengan energi hijau. Kita perlu infrastruktur yang baik. Dan kebetulan juga, sumber-sumber energi bersih ini letaknya di wilayah timur. Tuhan Maha Adil, wilayah barat Indonesia sudah tumbuh, kemudian sekarang giliran wilayah timur, dan suatu saat kita akan mencapai keseimbangan, dan di sinilah kita bisa harapkan Indonesia bisa menjadi salah satu negara besar,” paparnya.
Program peningkatan nilai tambah mineral menurutnya juga berkontribusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, juga berkontribusi terhadap melonjaknya Penerimaan Domestik Bruto (PDB).
Kontribusi sektor pertambangan minerba pada 2018 melebihi 2013, di mana ekspor bijih nikel terbesar dilakukan, dan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah smelter yang beroperasi.
“Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral berhasil melakukan transformasi ekonomi dan meningkatkan kontribusi terhadap PDB dari setiap mineral yang digali. Jadi kontribusi sektor minerba tahun 2018, melebihi 2013, di mana nikel memberikan kontribusi yang besar, dan terus akan meningkat dengan akan tumbuhnya smelter-smelter yang akan dibangun. Kemudian kontribusi industri logam dasar hasil transformasi pertambangan meningkat sejak implementasi proram peningkatan nilai tambah pada tahun 2014 dan terus meningkat hampir 2 kali lipat selama 1 dekade sejak tahun 2010,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT