Kondisi Aceh terpuruk? Perekonomian Aceh berada jauh dari harapan? Aceh masuk dalam provinsi termiskin di Sumatra? Mengapa hal itu terjadi? Bukankah Aceh memiliki Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang wah? Bagaimana dengan dana bagi hasil migas yang jumlahnya fantastis meski masih jauh dari harapan itu? Apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) di bawah rata-rata?
Padahal Aceh memiliki sumber daya alam yang kaya, punya minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, bijih besi, hutan dengan beragam pepohonan, flora dan fauna yang tersebar di segala penjuru bahkan satwa endemik juga hidup di Aceh. Hasil laut Aceh juga tidak boleh dipandang sebelah mata, pertanian Aceh pun masih relatif standar dan hasil perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kelapa, durian, rambutan, dan tanaman rempah melimpah ruah di Bumi Iskandar Muda.
Apa yang salah dengan Aceh? Mengapa Aceh malah mundur jauh ke belakang bahkan jika dibandingkan dengan era 1400-an masehi? Dulu, Aceh dikenal sebagai kerajaan maritim yang memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia. Hasil alam Aceh, terutama rempah-rempah seperti lada, bahkan menjadi primadona pada masanya. Begitu pula dengan cengkeh, kapur barus, dan juga campli puta (cabai) yang diburu oleh para pedagang Asia hingga Amerika.
Meski sekarang bukan lagi era kejayaan rempah-rempah, tetapi Aceh masih memiliki hutan yang luas di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)–yang menjadi paru-paru dunia. Kemana dana kompensasi karbol dari hutan yang harus dipelihara itu? Aceh juga memiliki tanah rawa endapan air yang menjadi sumber kehidupan bagi kehidupan sekitar, seperti Rawa Tripa. Lalu bagaimana nasib kawasan tersebut? Bagaimana dengan nasib sumur minyak dan gas di Arun? Apakah benar-benar sudah berhenti? Padahal api besar masih terlihat menyala dari cerobong pabrik yang sempat menjadikan kawasan sekitar dijuluki negeri Petro Dollar. Bagaimana pula kabar Blok B yang disebut-sebut menyedot minyak bumi Aceh itu? Kemana pula uangnya?
Apakah Aceh adalah daerah miskin? Lantas kemana emas-emas yang ada di perbukitan dan sungai-sungai Aceh itu dibawa? Apakah daerah ini terpuruk? Padahal sumber daya batubara, bijih besi, dan kekayaan mineral dari tanah Aceh terus menerus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan yang datang entah darimana.
Sejak dulu, sejarah mencatat, para pedagang dari seantero negeri pernah mengerubungi hasil alam Aceh. Berbagai siasat bahkan dijalankan untuk mendapat perhatian Sultan Aceh yang berkuasa. Ada yang sekadar menjalin hubungan, ada juga yang ikut menyebarkan agama.
Di antara para pedagang yang kerap menyambangi Aceh di masa lalu adalah para Tionghoa. Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pernah menulis tentang hal tersebut. Denys merujuk pada beberapa laporan yang dibuat sesudah ekspedisi sida-sida Zheng He ke lautan selatan. Hingga sekarang, bukti adanya hubungan dagang dengan Tionghoa masih dapat disaksikan di Museum Aceh. Namanya Cakra Donya, sebuah lonceng besar bertuliskan aksara Arab dan Cina yang digantung di Aceh sejak tahun 1409 Masehi.
Bangsa Eropa yang belakangan ikut menyambangi Aceh setelah takluknya Konstantinopel, juga membenarkan adanya bangsa Tionghoa yang sering mereka jumpai di negeri tersebut. “There are ini Achem many Chineses that use trade…and can well inform your Lordship of that worthy kingdom of China… (I meet) a very sensible merchant of China that spake Spanish… Our Baase [nama yang diberikan awak kapal kepada kapten Belanda Van Houtman] disliking that I so much frequented the Chinaes company commended me aboard,” tulis Jhon Davis dalam Purchas his Pilgrims.
John Davis adalah seorang pengelana dan navigator Inggris di bawah nama Elizabeth I. Dia lahir di Sandridge dekat Dartmouth sekitar tahun 1550. John Davis pernah beberapa kali berlayar ke Hindia Timur dan juga berkunjung ke Sumatra. Pelayaran pertamanya dilakukan bersama Belanda pada tahun 1594.
Kesaksian Davis di atas dapat diartikan, “Di Aceh banyak sekali pedagang Tionghoa…; maka saya dapat mengabari Yang Mulia (Earl of Essex) tentang kerajaan China yang luhur itu…; mereka mempunyai kampung khusus seperti bangsa Portugis, Gujarat, Arab…” juru mudi Inggris itu bahkan menjalin persahabatan dengan seorang pedagang Tionghoa, “yang pandai bicara bahasa Spanyol.” Tapi Cornelis de Houtman jengkel melihat keduanya akrab dan melarang John Davis meninggalkan kapal.
Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah pada masa itu, bahkan masa sekarang, Aceh juga menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara. Hal tersebut juga dicatat oleh John Davis yang menyebutkan ada beberapa barang dari Cina yang diperdagangkan di Aceh pada masa itu. Di antara barang-barang tersebut adalah bakong cina, kertas, porselen, beras, teh dan kipas.
Selain Tionghoa, Kerajaan Aceh pada masa lalu juga sering didatangi oleh pedagang-pedagang dari tanah Jawa. Hal tersebut belakangan diceritakan oleh Van Neck, seorang kapten yang memimpin ekspedisi kedua Belanda ke Nusantara pada tahun 1598-1600. Van Neck menyebutkan dia memang tidak berlabuh di pantai Aceh namun dia berjumpa dengan seseorang dari Hamburg yang belum lama berselang mengunjungi tempat itu dan memujinya. Laksamana teman Van Neck ini menceritakan dan menggarisbawahi rasa segan orang Jawa terhadap Aceh.
“Di kota Aceh itu dilakukan perdagangan besar, harus dianggap benar karena hal itu telah dinyatakan oleh semua orang Jawa yang menyenangi dan mengunjungi pelabuhan itu seperti halnya kota dagang kita yang paling termasyhur. Selanjutnya satu-satunya nama yang dapat mereka berikan kepada Pulau Sumatra ialah negeri Aceh.”
Pedagang dari negara Asia lainnya yang kerap mengunjungi Aceh yaitu bangsa Siam. Mereka sering mendatangi Pasai sekitar tahun 1520. Kendati terjalin hubungan dagang dan tidak saling mengganggu antara kedua kerajaan akibat letaknya yang jauh, namun tidak jarang pula persaingan bisnis dan perebutan dominasi pelabuhan berlaku diantara keduanya.
Seperti yang diceritakan Denys Lombard mengutip keterangan Best yang berjumpa dengan seorang utusan dari Siam. Dia memakai nama rajanya mengundang Best dan bangsa Inggris ke Ayuthia. “How joyfull their King would be, if our shipping came to his courts,” kata Best.
Aceh dan Siam juga disebut-sebut memiliki hubungan diplomatik seperti ditulis Lombard.
Prasat Thong, raja Siam yang ingin membalas dendam pada pemberontak Patani menemukan ketegasan tentang ketidakberpihakan Aceh. Namun hubungan diplomatik itu berlangsung singkat. Pada tahun 1688 ada orang-orang Islam yang datang ke Aceh untuk menyebarkan Islam Siam. Tentang ini ditulis oleh Wood dalam History of Siam pada tahun 1926.
Catatan lain mengenai hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan pedagang asing juga disebutkan oleh Lancaster yang singgah ke Aceh pada 5 Juni 1602. Dia menghitung sekitar 16 hingga 18 kapal yang berada di pelabuhan Aceh. “Some guzerats, some of Bengala, some of Calicut (called Malabares), some Pegues. Selain itu juga ada kapal-kapal dari Koromandel yang berlabuh di Aceh saat itu dan menandakan adanya hubungan dagang antara India dengan Aceh.
Berbagai barang dibawa oleh para pedagang Pegu (India). Salah satunya adalah tembikar. Begitu pula orang Bengal yang membawa kapas, kain, opium, dan guci besar berisi mentega atau minyak. Mentega dan minyak yang terbuat dari susu kerbau dan tengik di negara aceh namun sangat digemari oleh masyarakat ujung utara.
Pedagang-pedagang dari negeri India tersebut juga mengekspor besi dan baja, kain putih atau berwarna dan beberapa intan, Sebagai gantinya ia mengimpor kemenyan, kamper dan Barus, lada dari Priaman atau dari Tiku, barang porselin atau barang lain dari China serta sutera yang belum diwarnai. Mereka turut membawa ikan asin dan terasi, bandela kapas atau kain tenun. Sama halnya dengan China, pedagang-pedagang Gujarat atau India ini merupakan pemilik toko terbesar di Kota Banda Aceh saat itu.
Bangsa asing lainnya yang mendatangi Aceh yaitu Turki yang mengikat hubungan dagang, diplomatik dan budaya. Turki bahkan menjadi sekutu besar Kerajaan Aceh untuk melawan Portugis dan Belanda.
Selain Turki juga ada bangsa Perenggi atau Eropa. Salah satunya yaitu pedagang-pedagang dari negeri Portugis ini berdatangan sejak Sultan ‘Ala ad-Din Riayat Syah berkuasa di Aceh. Namun, niat mereka berdagang di Aceh dicurigai oleh sultan sebagai langkah menancapkan monopoli dagang di Selat Malaka.
Sebagai bangsa Eropa yang pertama singgah di Aceh, kedatangan pedagang Portugis menjadi pelajaran bagi Sultan ‘Ala ad-Din untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah bangsa Eropa yang kemudian hari semakin banyak berdatangan ke Selat Malaka.
Tidak hanya Portugis, pedagang-pedagang Prancis, Inggris, Belanda, Spanyol bahkan Amerika sejak saat itu kian sering singgah ke pelabuhan Aceh. Baik di pesisir utara, barat dan juga timur Aceh. Mereka memburu hasil bumi Aceh yang diekspor terutama rempah-rempah seperti cendana, sapang, damar, sari, kemenyan putih, kemenyan hitam, kapur (kamper), akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui, lada, cabai keriting (campli puta), bunga lawang (cengkeh), gading, lilin, tali temali dari sabut kelapa dan sutera. Selain itu, Kerajaan Aceh juga dikenal sebagai daerah yang mengekspor gajah dan kuda. Aceh juga menjadi negara pengekspor bubuk mesiu, bedil, pewarna, vermiliun, manjakani, kesumba, hartal, dan tawas.
Selain hasil rempah-rempah dan kerajaannya yang masyur, Aceh juga dikenal memiliki pelabuhan-pelabuhan besar yang kerap disinggahi pedagang asing. Di antara pelabuhan tersebut yaitu Perlak, Samudera Pasai, Teluk Samawi (Lhokseumawe), dan Lambri atau Lamuri. Selain itu, Aceh juga memiliki beberapa pelabuhan lain yang tak kalah terkenal seperti Tapoos, Sebadi, Pulau Dua, Kalavat, Telapow, Muckie Utara dan Selatan, Labuan Haji, Senangan (Seunagan), Annalaboo (Meulaboh), Pulo Ryah, Tarang, Manghin, Seimeyoh, Tareepuli, Taddow, Singkil, Ayam Dammah, Terooman, Rhambong, Saluhat dan Susoh.
Pelabuhan yang juga dicatat oleh bangsa Eropa pada masa lalu seperti Kuala Batu, Barus, Tempat Tuan (Tapak Tuan), dan Samadua. Semua pelabuhan tersebut berada di pesisir barat wilayah Aceh.
Kemudian pelabuhan Aceh, Peudada, Laweung, Pedir, Pakan, Selu, Burong, Sarong, Murdoo, Samalanga, Peusangan, Jangka, Teluksamoy, Cunda, Passai, dan Curtoy yang ada di pesisir timur dan utara Aceh.
Begitu pula dengan pelabuhan Sabang yang pernah dimanfaatkan sebagai pelabuhan bebas di era kolonial.
Lantas bagaimana nasib pelabuhan-pelabuhan itu sekarang? Apakah masih menjadi primadona pelayaran atau hanya sekadar difungsikan sebagai tempat pelabuhan ikan semata?[]