Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM) mencatat, sampai sejauh ini baru ada dua fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) bauksit. Dua smelter bauksit itu milik PT Well Harvest Winning Alumina dan PT Indonesia Chemical Alumina di Kalimantan Barat.
Dari catatan Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), membangun smelter untuk mendukung program hilirisasi pemerintah di Indonesia biayanya sangat mahal. Untuk membangun satu smelter bauksit di Indonesia bisa memakan investasi senilai US$ 1,3 miliar dengan kapasitas mencapai 2 juta ton ore.
Lalu apa bedanya membangun smelter di RI dan China sebagai negara penikmat bauksit dari Indonesia?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pelaksana Ketua Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto mengatakan bahwa pihaknya mendukung hilirisasi yang digaungkan oleh pemerintah atau adanya nilai tambah ketika ekspor bauksit.
Hanya saja memang, untuk menuju ke hilirisasi tersebut tidak mudah. Di Indonesia pengembang smelter sendiri sulit membangun karena biayanya yang begitu jumbo.
Dari catatan Ronald, untuk membangun satu smelter bauksit di Indonesia bisa memakan investasi senilai US$ 1,3 miliar dengan kapasitas mencapai 2 juta ton ore.
“Kalau hilirisasi atau nilai tambah semua orang setuju tapi menuju ke sana tidak mudah. Pemerintah China kasih subsidi dan fasilitas pendukung kalau kita di sini suruh berjuang di hutan belantara yang kadang kadang susah ditebak arahnya,” tandas Ronald.
Oleh karena itu, ia meminta supaya pemerintah memberikan insentif permodalan dalam mengembangkan smelter tersebut. Adapun kegiatan ekspor jangan dibatasi oleh jumlah kuota. Hal itu kata Ronald, untuk menghitung equity agar bisa dipandang oleh investor dan jaminan waktu agar investasi tersebut memiliki kejelasan.
Ronald menyatakan bahwa, di Indonesia sendiri banyak peraturan yang berubah-ubah. Sehingga jaminan berusaha khususnya untuk membangun smelter di tanah air ini menjadi lemah. Tak hanya itu, koordinasi pusat dan daerah tidak sinkron dan membingungkan serta sarana dan prasarana tidak memadai. “Ongkos membuat pembangkit untuk smelter mahal dan tidak kompetetif,” tandas Ronald.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif membeberkan bahwa pada tahun 2021 bahwa kegiatan ekspor bauksit mencapai 21 juta ton per tahun. Sementara penggunaan domestik hanya 3,6 juta ton.
“Apabila dilakukan pelarangan ekspor untuk bijih bauksit maka akan jadi penumpukan bijih sekitar 17,6 juta ton. Tapi jangan khawatir, dengan rencana smelter bauksit yang direncanakan sedang berjalan, nah kalau semua berjalan lancar tidak akan ada masalah di dalam penumpukan dari bijih bauksit ini,” terang Irwandy kepada CNBC Indonesia, Jumat (28/1/2022).
Belum diketahui, berapa sebenarnya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit yang ada saat ini. Dan ke depan smelter tersebut akan mampu menyerap berapa banyak dari smelter tersebut.
Yang jelas, Kementerian ESDM menargetkan bisa membangun sebanyak 53 smelter sampai pada tahun 2024. Hal itu untuk mendukung kegiatan pelarangan ekspor baik nikel, tembaga, hingga bauksit dan timah.
Sayangnya dari rencana 53 smelter itu, dalam catatan Kementerian ESDM sampai pada tahun 2021 kemarin baru terbangun sekitar 21 smelter. Adapun di tahun ini Kementerian ESDM menargetkan akan menambah 7 smelter baru. Artinya di tahun 2022 ini penyelesaian smelter baru mencapai 28 dan masih jauh dari target 53 smelter.
Adapun ketujuh smelter yang akan dibangun tahun ini diantaranya adalah: Pertama, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) di Maluku Utara, sebagai lanjutan dari target tahun lalu yang meleset. Kedua, PT Smelter Nikel Indonesia di Batnten, lanjutan dari tahun 2021. Ketiga, PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah sebagai lanjutan tahun 2021.
Keempat, PT Kobar Lamandau Mineral di Kalimantan Tengah. Kelima, PT Well Harvest Winning AR (Fase II) di Kalimantan Barat. Keenam PT Alchemist Metal Indsutry di Maluku Utara. Ketujuh, PT Sebuku Iron Lateritic Ores di Kalimantan Selatan.
“Keseriusan dari pemerintah dan industri harus konsisten dalam bersama sama mewujudkan smelter itu,” tandas Irwandy.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT