Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan akan melarang ekspor mineral mentah atau raw material, seperti misalnya nikel, konsentrat, timah dan dalam waktu dekat ini adalah bauksit.
Rencana penyetopan ekspor itu tentunya membuat dag-dig-dug para penambang, khususnya penambang bauksit. Yang saat ini, jika tidak diekspor, produksi bauksit tidak akan terserap di dalam negeri. Alasannya, karena kapasitas fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit sangat minim atau baru ada dua smelter.
Sementara produksi bauksit di tanah air per tahunnya mencapai 30 jutaan ton. Sementara, smelter bauksit hanya mampu menyerap sekitar 7 jutaan ton saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mencatat, bahwa saat ini produksi dan ekspor bauksit ke luar negeri mencapai 30 juta ton per tahun. Kegiatan ekspor dilakukan lantaran serapan smelter di dalam negeri masih rendah.
Malah kata Ronald, smelter grade alumina (SGA) di Indonesia hanya mampu menyerap sebanyak 15 juta ton per tahun. Nah, jika pelarangan ekspor tetap berlaku, maka akan ada banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit yang mati suri.
“Produksi saat ini kan sesuai dengan permintaan. Tanpa permintaaan saat ini banyak pemegang IUP mati suri karena serba salah, mau berproduksi belum jelas mau dikemanain, sementara tidak diproduksi harus bayar pajak-pajak yang jumlahnya banyak,” kata Ronald kepada CNBC Indonesia, Selasa (15/2/2022).
Saat ini tercatat memang baru ada dua smelter bauksit di Indonesia, adapun smelter tersebut milik PT Well Harvest Winning Alumina dan PT Indonesia Chemical Alumina di Kalimantan Barat. Adapun kapasitas feeding ore dari smelter tersebut hanya sekitar 6 juta – 7 juta ton ore.
“Butuh sekitar 5 smelter (lagi). Jadi alasan penyetopan ekspor tak tepat, cadangan bauksit begitu besar sampai 1,3 miliar metrik ton,” terang Ronald.
Ronald mengatakan, bahwa pihaknya setuju dengan program hilirisasi pemerintah atau adanya nilai tambah ketika ekspor bauksit. Hanya saja memang, untuk menuju ke hilirisasi tersebut tidak mudah. Di Indonesia pengembang smelter sendiri sulit membangun karena biayanya yang begitu jumbo.
Dari catatan Ronald, untuk membangun satu smelter bauksit di Indonesia bisa memakan investasi senilai US$ 1,3 miliar dengan kapasitas mencapai 2 juta ton ore.
Oleh karena itu, ia meminta supaya pemerintah memberikan insentif permodalan dalam mengembangkan smelter tersebut. Adapun kegiatan ekspor jangan dibatasi oleh jumlah kuota. Hal itu kata Ronald, untuk menghitung equity agar bisa dipandang oleh investor dan jaminan waktu agar bisa investasi tersebut jelas.
“Kalau hilirisasi atau nilai tambah semua orang setuju tapi menuju ke sana tidak mudah. Pemerintah China kasih subsidi dan fasilitas pendukung kalau kita di sini suruh berjuang di hutan belantara yang kadang kadang susah ditebak arahnya,” tandas Ronald.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT