INTERMESO
“Ini ada pesan dari Pak Harto, ‘Rais suruh pakai sarung saja, tidak usah pakai celana panjang lagi.’”
(Dari kiri ke kanan) Presiden Mesir Anwar Sadat, Presiden AS Jimmy Carter, dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin di Gedung Putih, Maret 1979.
Foto: dok. Getty Images
Mayor Jenderal Rais Abin merasa heran Komandan Operasi United Nations Emergency Force (UNEF) II Kolonel Kwalu sering terlambat menyiapkan bahan rapat bagi para komandan kontingen. Padahal, sebelumnya, perwira asal Ghana ini selalu menunjukkan kinerja yang baik.
Satu-dua kali Rais masih memakluminya. Tapi rupanya kejadian ini selalu berulang. Terpaksa sang panglima turun tangan menyelidiki. “Saya tanya Kwalu, ‘Kok, sekarang kamu kurang rajin?’” ujar Rais menceritakan kisah itu kepada detikX, Selasa lalu.
Rais Abin, yang lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Panglima UNEF II, pasukan perdamaian PBB untuk mengawal gencatan senjata Mesir dengan Israel setelah Perang Yom Kippur, sejak Januari 1977. Sampai sekarang dia merupakan satu-satunya jenderal Indonesia yang pernah menjabat Panglima Pasukan Perdamaian PBB.
Kolonel Kwalu berkilah, ia tidak lagi mendapat bantuan dari sekretarisnya. Sekretaris Kolonel Kwalu seorang pegawai sipil PBB. “Pacaran melulu kata Kolonel Kwalu,” kata Rais. Ternyata staf tersebut memadu kasih dengan seorang perwira tinggi berkebangsaan Swedia yang menjabat Kepala Staf UNEF II. “Mungkin dia merasa hebat jadi pacar perwira tinggi, akhirnya mengabaikan tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan untuk Kolonel Kwalu.”
Bersama Anwar Ibrahim (kanan), yang saat itu memegang jabatan Menteri Urusan Pemuda.
Foto: dok. pribadi
Saya tak habis pikir, saya kan hanya mau menyelamatkan organisasi ini.”
Awalnya Rais memanggil perwira tinggi tersebut. Rais meminta kepala stafnya mengingatkan pacarnya agar tidak mengabaikan tugas. Ternyata tetap saja tak ada perubahan. Kwalu kembali dipanggil. “Saya tak mau menyusahkan Panglima lagi. Terpaksa saya panggil bantuan dari Kontingen Ghana,” ujar Kwalu. Kaget dan jengkel mendengar jawaban tersebut, akhirnya Panglima Rais Abin memanggil staf sipil itu.
Kepada perempuan tersebut, Jenderal Rais mengatakan berniat memutasinya ke posisi lain. “Tampaknya Anda tidak senang bekerja untuk Kolonel Kwalu. Jadi saya minta New York (PBB) memberikan solusi yang tepat,” kata Rais. Staf berkebangsaan Australia itu minta kebijakan khusus dari sang panglima. “Usia saya sudah 40 tahun. Saya berperilaku seperti ini karena hubungan saya sudah semakin erat. Saya harap Anda menjadikan ini sebagai pertimbangan,” perempuan itu memohon kepada Jenderal Rais.
“Bagaimana saya bisa menjadikan hubungan Anda sebagai pertimbangan kalau justru itu menjadi penghalang pekerjaan kami di sini? Saya lebih baik mengirim Anda kembali ke New York,” ujar Rais dengan tegas. Staf tersebut merajuk. Sambil menangis, ia meninggalkan kantor Rais Abin. Tak lama setelah itu, Panglima Rais Abin menerima sepucuk surat berkop Serikat Pekerja Staf Sipil PBB. “Serikat ini kuat. Mereka tanya kronologinya seperti apa.”
Dalam surat balasan, Rais memaparkan situasi kerja di lingkungan staf tak berlangsung baik karena hubungan pribadi. Akhirnya Markas Besar PBB memindahkan staf tersebut ke Markas Besar UNFICYP, pasukan penjaga perdamaian PBB di Siprus. Staf itu akhirnya mau menerima, walaupun tetap menyampaikan protes. Ia masih mengirimkan nota protes kepada Serikat Pekerja. Dia menulis bahwa Panglima Rais telah berlaku sewenang-wenang dan menginjak hak asasinya. “Saya tak habis pikir, saya kan hanya mau menyelamatkan organisasi ini,” kata Rais sambil tertawa mengenang kisah asmara itu.
Bukan hanya kisah asmara di antara pembantu-pembantunya yang bikin pusing Jenderal Rais dalam menjalankan tugas sebagai Panglima UNEF II. Dia juga harus merasakan situasi Perang Dingin di antara pasukan yang dipimpinnya. UNEF II berkekuatan sekitar 4.000 prajurit dari tujuh negara. Suatu ketika ia melakukan inspeksi ke Kontingen Polandia, yang mengelola sebuah rumah sakit di Ismailiyah, Mesir.
Baca Juga: Anak Koto Gadang di Balik Perdamaian Israel-Mesir
Baca Juga: Jenderal Minang Jadi Panglima Pasukan PBB
Rais Abin memimpin rapat koordinasi bulanan di Markas Besar UNEF II.
Foto: dok. pribadi
“Saya lihat-lihat daftar siapa saja yang memanfaatkan fasilitas kesehatan dan pengobatan,” ujar Rais. Ternyata hanya Kontingen Kanada yang tak pernah berobat ke sana. Kontingen Kanada memilih menerbangkan personelnya ke Yerusalem jika membutuhkan perawatan intensif.
Rais bertanya kepada komandan Kontingen Polandia. Komandan itu menjawab sembari tersenyum, “Mungkin karena kami punya doktrin yang berbeda.” Saat itu Perang Dingin antara Blok Barat, yang terdiri atas negara-negara Eropa Barat serta Amerika Serikat, dan Blok Timur, yang disokong Uni Soviet, masih panas-panasnya. “Doktrin yang mereka bawa memang mereka tidak boleh bersahabat. Tapi sebatas hubungan dingin saja, tak pernah sampai ada ketegangan.”
Setelah kesepakatan Camp David terlaksana dan perjanjian damai Mesir dengan Israel ditandatangani pada 26 Maret 1979 di Gedung Putih, Amerika Serikat, masa tugas pasukan perdamaian UNEF II berakhir. Mayjen Rais Abin diperintahkan kembali ke Tanah Air. Setelah Rais menjalani penugasan di Markas Besar ABRI, Presiden Soeharto menugasinya ke Malaysia sebagai duta besar. Pangkatnya pun dinaikkan satu tingkat menjadi letnan jenderal.
Setahun setelah Rais bertugas di Malaysia, Pemilihan Umum 1982 berlangsung. Hasilnya sungguh mengejutkan. Golongan Karya memang meraih kemenangan mutlak di Kuala Lumpur dengan mendapatkan 88 persen suara. Namun, untuk seluruh Malaysia, Golkar hanya mendapatkan 40 persen, kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.
Pada masa itu, haram hukumnya bagi Golkar mengalami kekalahan. Kepala Badan Intelijen Strategis LB Moerdani menghubungi Rais dari Jakarta. Benny bertanya, “Bagaimana itu kok bisa kalah?” Rais menjawab, “Habis, bagaimana lagi. Di sini banyak orang Aceh dan Minang. Mereka lebih bersimpati kepada Islam.”
Rais Abin
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
“Ini ada pesan Pak Harto, ‘Rais suruh pakai sarung saja, tidak usah pakai celana panjang lagi,’” kata Benny. Keduanya lantas tertawa terbahak. “Bilang sama Pak Harto, saya dari dulu lebih suka pakai kain sarung daripada celana panjang. Lebih praktis,” ujar Rais menanggapi pesan Presiden Soeharto. Menurut Rais, saat itu dia hanya berupaya menegakkan prinsip pemilu langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Anehnya, meski Golkar kalah di Malaysia, Rais masih memegang jabatan duta besar tersebut sampai dua tahun berikutnya. “Saya dengar ada yang bilang, kalau orang lain, pasti sudah diganti,” ujar Rais. Meski ‘gagal’ memenangkan Golkar di Malaysia, Rais ternyata masih dipercaya Presiden Soeharto untuk pindah ke Singapura dengan jabatan yang sama.
Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban