(Refleksi atas gerakan “Tungku Api” di Keuskupan Timika)
Uskup Timika, almarhum Mgr. John Pilip Saklil mendeklarasikan gerakan “Tungku Api” dengan slogan “Stop Jual Tanah-Stop Jual Tambang” di Lembah Pihakunu, Diyeugi, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua (kini Provinsi Papua Tengah), 26 Juli 2017 (Jeratpapua.org, 29/6/2017).
Berikut cuplikan isi deklarasinya:
“Tanah adalah MAMA. Ia memelihara dan memberi makan minum. Tanah adalah asal mula dan akhirat (Pengkhotbah, 12:7). Ia menyimpan emas, perak, kemenyan dan minyak bumi. Tanah dan segala isinya bukan barang jual beli. Mari kita bersama jaga tanah agar berguna bagi anak cucu sampai selama-lamanya. Caranya, Satu Kepala Keluarga, Satu Tungku Api (Odha- Owada).”
Deklarasi ini menjadi “tungku api”, dasar, substansi. Tungku api itu seperti halnya arkhe (arche). Arkhe adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani untuk menunjukkan sesuatu yang menjadi pertama dalam suatu rangkaian.
Arkhe juga dapat berarti asal-muasal, prinsip atau sebab yang pertama, asas atau prinsip alam semesta filsafat Yunani kuno pra-Sokratik, yang dikenal dengan lingkaran Miletus, yang berdialektika seputar asas dasar pembentukan alam semesta dan kehidupan.
Seperti halnya filsafat Miletus yang mengenal arkhe. Tungku api menjadi arkhe bagi pemberdayaan kehidupan masyarakat adat dan peradaban bangsa Papua di tengah fenomena kekinian, yang defacto mengancam eksistensi bangsa dan tanah Papua. Bahwa tungku api itu adalah “akar, fondasi, sentra, sentrum, sendi dan substansi” bagi kehidupan OAP dan peradabannya.
Penulis hendak meneropong peristiwa bersejarah di atas dengan memakai kacamata “kode alam”. Penulis akan berusaha membaca Noumena (gagasan di balik fenomena; apa yang ada di belakang peristiwa deklarasi) di balik peristiwa deklarasi tungku api di atas secara maraton dan blak-blakan.
Apa itu “kode alam”?
Pertama-tama kita mesti memahami definisi dan substansi dari “pisau bedah” yang akan kita gunakan untuk meneropong atau meneleskop noumena di balik fenomena deklarasi tungku api di Lembah Pihakunu, Diyeugi, Mapia Tengah di atas. Istilah “kode alam” biasanya kita dengar atau ucapkan. Saat tertentu ketika seseorang atau sekelompok orang hendak melakukan sesuatu atau sedang membicarakan sesuatu, tiba-tiba terjadi sesuatu di alam; misalnya kilat atau guntur. Seketika itu, orang akan sampaikan bahwa itu “kode alam”.
Saat hendak bepergian atau dalam perjalanan, tiba-tiba bertemu dengan ular atau binatang lainnya menghalangi jalan, seketika itu orang akan berkata atau berpikir bahwa itu “kode alam”. Sering terjadi saat pembicaraan sedang serius, tiba-tiba cecak di dinding bersuara “ciii ciii ciii”, orang akan berpikir dan berkata itu kode alam.
Ini juga seringkali digunakan dalam permainan togel. Ketika seseorang atau sekelompok orang hendak memasang angka dan sedang menghitung rumus togel, tiba-tiba mereka bertemu salah satu binatang atau anak kecil balita menunjukkan jari tangan dan atau bersuara mendengar bunyi angka atau salah satu binatang, orang akan berpikir dan berkata itu kode alam.
Seringkali juga bila di malam hari, kupu-kupu masuk dalam rumah, atau binatang lainnya masuk dalam rumah, orang sering berpikir dan berkata itu “kode alam”. Sepintas, orang hanya mengiyakan, bahwa itu benarlah kode alam. Sepertinya orang sudah mengerti yang dimaksudkan dengan “kode alam”. Apakah demikian halnya?
Kode adalah tanda yang menandakan. Kode merupakan pesan yang disampaikan melalui berbagai sarana, yang dapat berupa benda-benda yang berbentuk simbol atau gambar/lukisan, ukiran, foto dll. Kode juga berupa gejala-gejala alam semesta dan Binatang-binatang tertentu.
Lantas, apa yang dimaksudkan dengan istilah kode alam sebagaimana yang telah diuraikan di atas? Kode alam adalah tanda yang menandakan;
Pertama, Menyetujui suatu tindakan atau pembicaraan; Kedua, Peringatan terhadap suatu tindakan yang akan dilakukan; Ketiga, Larangan untuk tidak melakukan sesuatu; Keempat, Perintah untuk melakukan sesuatu; Kelima, Akan menerima/mendapatkan berkat.
Itu “kode alam”, berarti tanda setuju, peringatan, larangan, perintah, atau tanda berkat.
Berkaitan dengan tulisan ini ada salah satu “kode alam” yang akan kita selami bersama, yakni, lokasi deklarasi (Lembah Pihakunu, Mapia Tengah). Sebelum menakar “kode alam” yang tersebut, alangkah baiknya jika kita menyelami terdahulu esensi dan substansi dari deklarasi gerakan “tungku api” dengan slogan “stop jual tanah-stop jual tambang” itu sendiri yang diprakarsai oleh Keuskupan Timika.
Mengenal gerakan “tungku api”
Gerakan tungku api merupakan gerakan untuk menyelamatkan umat dan masyarakat secara keseluruhan, dengan memanfaatkan potensi alam yang ada untuk dikembangkan demi keberlanjutan hidup. Stop jual tanah berarti menyelamatkan hidup kita dan generasi penerus. Karena orang asli Papua (OAP) tak bisa hidup tanpa tanah, walaupun banyak uang.
“Jangan menjual tanah” agar tidak kehilangan harta benda berharga para pendahulu yang akan menyulitkan anak cucu di kemudian hari. Jaga baik dari ancaman jual-beli tanah yang semakin marak dilakukan pemilik tanah dan menjadi kebiasaan baru. Tanah adalah mama yang memberi hidup seperti lazimnya dinasihati leluhur.
Pencetus gerakan ini, Uskup Saklil memprediksikan, bahwa di kala OAP tidak punya tanah, maka OAP akan menjadi miskin dan melarat, bahkan akan punah dari negerinya sendiri.
“Untuk itu, saya minta jangan berkeliaran di kota-kota besar, seperti Nabire, Jayapura maupun Jakarta. Tapi harus mengolah tanah menanam, beternak dan lainnya. Tanah dan segala isinya bukan barang jual beli. Mari kita bersama-sama menjaga tanah agar berguna bagi anak cucu sampai selama-lamanya. Caranya setiap kepala keluarga harus satu tungku api.”
Gerakan tungku api itu mendapatkan respons dan antusiasme positif dari umat Katolik di Keuskupan Timika, bahkan oleh seluruh bangsa Papua sebagai sebuah terobosan baru, di tengah fenomena eksploitasi sumber daya yang membabi-buta dan menggurita di Papua. Tungku api yang dimaksudkan di sini adalah;
Pertama, tanah (orang asli Papua) diharapkan tidak hidup dari hasil jual-beli tanah, tetapi hidup dari hasil olah tanah; maka stop jual tanah, OAP bisa hidup tanpa uang, tapi tidak bisa hidup tanpa tanah; stop jual tanah-stop jual tambang/kekayaan SDA (emas, perak, uranium, thorium, titanium, cobalt, bijih besi, migas, batubara, dan lainnya). Mari kita bersama-sama menjaga tanah agar berguna bagi anak cucu sampai selama-lamanya, caranya setiap kepala keluarga satu tungku api;
Kedua, dusun, hak ulayat, zona ekologi budaya/adat (jaga dusun sagu, dusun keladi, dusun petatas, dusun sayur, ikan di laut, sungai dan danau);
Ketiga, nilai-nilai (hidupkan filosofi kebudayaan, kibarkan bendera kearifan lokal, pegang teguh hukum adat, rawat terus nilai-nilai suci dalam adat istiadat dan kebudayaan). Gerakan tungku api itu juga jika kita cermati secara kritis, analitis dan objektif, maka gerakan tersebut sebenarnya bertalian langsung juga dengan beberapa semangat yang sedang diperjuangkan oleh warga global;
Pertama, gerakan tungku api merupakan produk pastoral kontekstual, untuk menjawab tuntutan dan seruan rekonsiliasi ekologis dari Sri Paus Fransiskus melalui ensikliknya, Laudato Si’ (Pujian Bagimu).
Ensiklik tersebut, tertanggal 24 Mei 2015, dipublikasikan secara resmi pada siang hari (waktu setempat) tanggal 18 Juni 2015 dan disertai dengan konferensi pers. Vatikan merilis dokumen tersebut dalam bahasa Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, Prancis, Polandia, Portugis, dan Arab. Isinya mengajak seluruh dunia untuk bersama-sama melakukan perubahan demi menjaga dan memastikan kelestarian bumi kita bersama;
Kedua, gerakan tungku api juga sesuai dengan visi-misi global untuk membentengi bumi sebagai rumah bersama dari ancaman global warming. Kita tahu bersama bahwa perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang.
Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas. Alhasil, warga bumi terancam global warming.
Salah satu resolusinya adalah green state vision (visi negara hijau) menuju world green (dunia hijau). Gerakan tungku api persis bernadi di sini, yakni menghijaukan bumi Papua yang sudah lama berwarna merah dan hitam akibat praktik-praktik ekosida (pemusnahan ekologi Papua) yang sudah dilakukan melalui eksplorasi, eksploitasi dan ekstraksi tambang, mineral, emas, tembaga, nikel, batubara, uranium, thorium, titanium, cobalt, minyak sawit, gas, illegal logging, illegal fishing dan skandal perampokan SDA Papua lainnya.
Secara sepintas kurang lebih demikian gambaran gerakan “tungku api” dengan slogan “stop jual tanah-stop jual tambang” yang sudah diprakarsai oleh mendiang Mgr. John Philip Saklil. Bersambung. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua