ASKARA – Indonesia punya modal dasar lengkap dan besar untuk menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat yaitu jumlah penduduk 274 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040.
Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat tampil sebagai nara sumber pada Focus Group Disccussion (FGD) virtual “ESQ Kelautan dan Kehutanan” Pandu Tani Indonesia, Kamis, 5 Januari 2023.
“Dimana hal tersebut, merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestik yang luar biasa. Kemudian potensi Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Hal ini merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestic yang luar biasa besar,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema “Pengembangan ESG Sektor Kelautan Dan Perikanan Untuk Peningkatan Daya Saing Dan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.
Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, Indonesia memiliki modal dasar pembangunan yaitu jumlah penduduk 274 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040. Dimana hal tersebut merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestic yang luar biasa. Kemudian potensi Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut.
Agro-Maritim, lanjut Prof Rokhmin Dahuri, merupakan keunggulan komparatif Indonesia, yang dengan sentuhan inovasi IPTEKS, Manajemen modern, dan kebijakan politik ekonomi yang tepat dan benar dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif sekaligus sebagai prime mover pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas 2045.
“Pada tataran ekonomi mikro (perusahaan), keunggulan kompetitif tercermin pada kemampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing: (1) kualitasnya unggul (top quality), (2) harganya relatif murah, dan (3) volume produksinya dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar) domestik maupun ekspor setiap saat secara berkelanjutan,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.
Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 triliyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2022). Catatan: Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur tranportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari. Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri) mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa.
Lebih dari itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, mulai tahun 2020 hingga 2035 Indonesia mendapatkan ‘Bonus Demografi’, dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar ketimbang jumlah penduduk berusia tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun). Artinya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia mampu meningkatkan kualitas SDM dan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk usia produktif tersebut; maka produktivitas, efisiensi, dan daya saing perekonomian Indonesia pun bakal melejit. Dan, Indonesia Emas tercapai pada 2045 adalah sebuah keniscayaan.
Sebaliknya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia gagal melakukan dua hal tersebut, maka bukan berkah ‘Bonus Demografi’ yang bakal kita peroleh, tetapi ‘Bencana Demografi’ yang diwarnai dengan banyaknya pengangguran, khususnya pengangguran terdidik serta merebaknya kriminalitas dan baragam penyakit sosial lainnya. “Sehingga, Indonesia akan terjebak sebagai negara-berpendapatab menengah (middle-income trap), alias bakal gagal menjadi negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan RI,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.
Kedua, sambungnya, adalah potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang cukup melimpah, baik di wilayah daratan, apalagi di wilayah laut Indonesia. SDA itu ada yang berupa SDA terbarukan (renewable resources) seperti ekosistem hutan, lahan pertanian, mangrove, terumbu karang, perikanan, dan material industri bioteknologi. Dan, ada juga yang berupa SDA tidak terbarukan (non-renewable resources) termasuk minyak, gas bumi, batubara, emas, tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), dan mineral lainnya.
“Artinya, Indonesia memiliki potensi produksi (supply capacity) berbagai macam komoditas, produk, dan jasa yang dibutuhkan bukan hanya oleh bangsa Indonesia (pasar dalam negeri), tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain di dunia (pasar ekspor, global),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini.
Ketiga, secara geokonomi dan geopolitik, Indonesia berada di posisi yang sangat strategis, di jantung perdagangan global (Global Supply Chain System), diapit oleh dua Samudera (Pasifik dan Hindia) dan dua Benua (Asia dan Australia). Dimana sekitar 45% dari seluruh komoditas dan produk (barang) yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 trilyun per tahun diangkut oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2018).
Sayangnya, kita bangsa Indonesia bukannya memanfaatkan (to capitalize) posisi geoekonomi yang sangat strategis itu untuk memproduksi dan mengekspor berbagai produk, barang, dan jasa. Sebaliknya, kita gunakan secara dominan sebagai media untuk mengimpor beragam komoditas, produk, barang, dan jasa dari bangsa-bangsa lain untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak pelak, neraca perdagangan – RI sejak 2012 hingga 2019 selalu ‘minus’ (tekor), total nilai impor lebih besar ketimbang total nilai ekpsor. Inilah penyebab utama dari kecilnya cadangan devisa kita, yang hanya sekitar US$ 120 milyar.
“Bandingkan dengan negara kecil, tetangga kita Thailand yang saat ini punya cadangan devisa US$ 140 milyar. Terbatasnya cadangan devisi ini berimbas pada rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang utama dunia lainnya,” ucapnya.
Keempat, Indonesia merupakan ‘swalayan potensi bencana alam’. Sekitar 70% dari seluruh gunung berapi aktif terdapat di Indonesia. Indonesia pun merupakan salah satu negara dengan potensi bencana tsunami tertinggi di dunia. Demikian juga halnya, dengan bencana hidrometri, seperti banjir dan tanah longsor. “Ini mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” ujarnya.
Belum lagi dampak negatip akibat Pemanasan Global (Global Warming) seperti gelombang panas (heat waves), kebakaran lahan dan hutan, cuaca ekstrem, pola iklim yang tidak menentu, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), dan ledakan wabah penyakit.
“Mengapa bencana alam, saya anggap sebagai hal positip bagi kemajuan bangsa Indonesia. Karena, negara yang secara alam kaya raya (modal dasar pembangunan yang besar dan lengkap) ini, tetapi sudah 77 tahun merdeka, masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah, diyakini kualitas SDM nya masih rendah, terutama malas dan kurang produktif akibat sebagian besar pemimpin dan rakyat Indonesia menganggap tidak ada tantangan kehidupan yang serius,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.
Selain itu, sambungnya, dengan alam yang kaya raya dan kultur masyarakat yang ‘gotong royong’ (saling membantu), orang malas pun masih bisa makan dan hidup relative mudah. Tidak seperti di negara bermusim empat (ada winter, semi, summer, dan gugur) dan di masyarakat kapitalis yang sangat egois dan cuek bebek.
“Maka, hendaknya para pemimpin (elit) bangsa dan rakyat Indonesia menjadikan ‘swalayan bencana alam’ ini sebagai tantangan bersama (common challenge) untuk kita meningkatkan kualitas diri, sehingga kita mampu membantu bangsa tercinta ini lebih produktif, berdaya saing, maju, dan sejahtera secara berkelanjutan (sustainable),” tandasnya.
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).
Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.
“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebutnya.
Ironisnya, menurut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.
“UNEP dan WWF mengungkapkan Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia,” kata Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu.
Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.
Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun. Bahkan pada 2014, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin (Bank Dunia, 2014). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” tuturnya.
Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), lanjutnya, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB).
Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022).
Dari 65 juta rumah tangga masih 61,7% rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” kata Prof..Rokhmib Dahuri.
Sementara itu, lanjutnya, Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020.
“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” ucap Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.
Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2021.
Untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, dengan potensi produksi lestari akuakultur terbesar di dunia, sekitar 150,5 juta ton/tahun (FAO, 2022).
Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China. Pada 2019 total produksi akuakultur – RI mencapai 16,3 juta ton (13,5% total produksi dunia), dimana 9,9 juta ton berupa rumput laut. Sementara produksi akuakultur China di tahun yang sama mencapai 68,4 juta ton (57% produksi dunia). Dan, produksi akuakultur India (peringkat-3 dunia) sebesar 7,8 juta ton (6,5% produksi global).
“Sebagai ilustrasi betapa fantastisnya potensi ekonomi akuakultur Indonesia adalah 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu mengembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (intensif-moderat), maka akan dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap tahunnya,” ungkapnya.
Domain Industri Bioteknologi Kelautan
Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan. Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif/hasil alam dari biota laut menjadi bahan baku industri nutraceutical (makanan & minuman sehat), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan berbagai industri lainnya.
Kedua, Rekayasa genetika untuk menghasilkan induk dan benih unggul ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya.
Ketiga, Rekayasa genetika mikroorganisme (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan tercemar. “Dan keempat aplikasi bioteknologi untuk konservasi,” tuturnya.
Secara geoekonomi, lanjutnya, perairan laut Indonesia dengan 3 Sealane-nya sangat strategis terletak di pusat Global Supply Chain System, dimana 45% dari total komoditas dan produk yang diperdagangkan secara global diangkut melalui perairan laut Indonesia dengan nilai ekonomi rata-rata sekitar US$15. triliun per tahun (UNCTAD, 2016).
Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan S. Hindia dengan S. Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-1) melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika.
Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.
Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun. Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).
“Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun). Bandingkan anggaran (APBN) KKP 2021 hanya Rp 7 trilyun,” katanya.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik NKRI sangat strategis di dunia, karena menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Secara geologis, oseanografis, dan klimatologis;
Selain itu, ARLINDO yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari S. Pasifik ke S. Hindia juga berfungsi sebagai “nutrient trap” (perangkap unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki marine biodiversity (keanekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; KKP, 2017).
Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di Khatulistiwa menjadikan Indonesia secara klimatologis sebagai pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998).
“Terlepas dari peran dan fungsi penting pesisir dan lautan, hampir di semua tempat, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa,” ujar Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Republik Korea itu.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutannya yang tercermin antara lain dari: (1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan berlebihan; (3) terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya yang terdegradasi; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.
Hal ini terutama berlaku di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina.
Isu, masalah, dan ancaman utama terhadap keberlanjutan pantai dan laut, antara lain: 1. Hilangnya Habitat dan Keanekaragaman Hayati, 2. Eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, 3. Polusi termasuk plastik, 4. Erosi dan Sedimentasi, 5. Perubahan Iklim Global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan kenaikan permukaan laut, 6. Konflik pemanfaatan ruang, 7. Kemiskinan.
Lebih dari 220 juta galon minyak tumpah di kawasan Asia-Pasifik sejak 1965; sekitar 96% dari ini (212 juta galon) terjadi di Asia Timur. Tumpahan Asia Timur berasal dari sejumlah sumber, meskipun 80% melibatkan kapal.
Selain itu, ARLINDO yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari S. Pasifik ke S. Hindia juga berfungsi sebagai “nutrient trap” (perangkap unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki marine biodiversity (keanekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; KKP, 2017).
Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di Khatulistiwa menjadikan Indonesia secara klimatologis sebagai pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998).
“Jika Potensi Ekonomi Kelautan didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesional, maka Kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045”.
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin memaparkan Isu Dan Tantangan Pembangunan Kelautan Indonesia. Secara makroekonomi, pembangunan kelautan Indonesia telah menghasilkan kinerja yang cukup baik: volume produksi perikanan, ESDM, pariwisata, dan industri jasa dan jasa maritim terus mengalami peningkatan. Demikian juga halnya dengan, kontribusinya terhadap PDB, nilai ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, masih banyak nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholder kelautan lainnya yang miskin; ketimpangan ekonomi kian melebar; overfishing, pencemaran perairan, dan kerusakan lingkungan semakin meluas; dan Pemanasan Global dengan sederet dampak negatipnya. “Sebab itu, pembangunan, investasi, dan bisnis ESG (Environment, Social, dan Governance) di sektor KP harus terus dikembangkan,” ujarnya.
Indonesia, kata Prof Rokhmin, memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Namun, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa) sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur.
“Secara ekonomi, Indonesia Emas 2045 akan terwujud, bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable),” katanya.
Maka, lanjutnya, diperlukan Kebijakan dan Program Transformasi Struktural Ekonomi meliputi: 1. Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable);
2. Dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor; 3. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. ;
4. Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya;
5. Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya;
6. Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).
Dari perspektif pembangunan bangsa, kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia) merupakan bagian integral dari upaya nasional menuju Indonesia Emas 2045.
PMD mencakup dua tataran: filosofis dan praksis, antara lain: Tataran Filosofis: “PMD berarti reorientasi paradigma (platform) pembangunan bangsa, dari berbasis daratan (land-based development) menjadi berbasis kelautan (marine-based development)”
Tataran Praktis: “PMD bermakna menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil-makmur dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim serta mampu menjadi a role model (teladan) dunia dalam berbagai bidang kelautan seperti pendidikan, IPTEK, infrastruktur, ekonomi, hankam, dan tata kelola kelautan (ocean governance)”
Kebijakan dan Program Pembangunan
Adapun Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan yang harus dilakukan antara lain: 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.
2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing). 4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Kelautan baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, dan deep sea water industry.
5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model).
6. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital melalui Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam – Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).
Kemudian Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri serta Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman) termasuk Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.
7. Semua kegiatan usaha (ekonomi) maritim harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0 & Society 5.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles.
8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.
9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.
10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).
Selanjutnya, melalui mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya, Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan, Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS, Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif, Peningkatan budaya maritim bangsa.
“Serta Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan,” kata Prof. Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.
Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri MS meminta perbankan untuk terus memberikan akses kemudahan dan suku bunga kredit rendah di sektor kelautan dan perikanan. Menurutnya, Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.
“Tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah,” Katanya.
Dari total alokasi kredit perbankan nasional, jelasnya, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen.
Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Prof. Rokhmin Dahuri.
Dalam satu dekade terakhir, lanjutnya, investasi dan bisnis di bidang ESG (Environmental, Social, and Governance) telah menjadi arus utama di dunia (ILO, 2022).
Pada Aspek Lingkungan berarti berinvestasi dalam pembangunan, investasi, dan kegiatan bisnis yang ramah lingkungan seperti: mengurangi emisi karbon, menggunakan sumber daya secara lebih efisien, mengurangi produksi limbah, dan mematuhi peraturan lingkungan.
Pada aspek Sosial: memastikan keselamatan tempat kerja, pekerjaan yang layak, keragaman dan inklusi, dan mengamati persyaratan data dan privasi untuk karyawan, dll.
Pada aspek Tata Kelola: tingkat gaji eksekutif, komposisi dewan, hak suara pemegang saham, sikap perusahaan terhadap suap dan korupsi.
Secara global jenis investasi ini menyumbang antara satu dan dua dari setiap empat dolar investasi. Lebih dari 2.250 pengelola uang yang secara kolektif mengawasi aset senilai US$80 triliun kini telah menandatangani Prinsip Investasi Bertanggung Jawab yang didukung oleh PBB.
Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, Investasi Dan Bisnis ESG Perikanan Budidaya, terdiri: 1. Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.
2. Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).
3. Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. 4. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.
Selanjutnya, Komoditas (Output) Budidaya Perairan, antara lain: a) Peran dan fungsi akuakultur konvensional menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.
b) Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) wisata berbasis perikanan budidaya; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.
Semua unit usaha pada program-1 (Revitalisasi), program-2 (Ekstensifikasi), dan program-3 (Diversifikasi) harus sesuai atau menerapkan: (1) economy of scale; (2) Integrated Supply Chain Management System (Pra-produksi, Produksi, Industri Pengolahan, dan Pemasaran); (3) teknologi mutakhir yang tepat (Best Aquaculture Practices, Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Best Aquaculture Practices: (1) induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas air; (5) pond design & engineering; dan (6) biosecurity.
Industry 4.0 technologies: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.
Prinsip pembangunan berkelanjutan: (1) RTRW yang melindungi kawasan budidaya perikanan; (2) laju (intensitas) budidaya < Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam) maupun makro (kawasan); (3) pengendalian pencemaran supaya lingkungan perairan tetap suitable dan sustainable untuk usaha aquaculture; dan (4) konservasi biodiversity pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik.
“Pastikan bahwa semua unit usaha akuakultur harus menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, dengan pendapatan bagi karyawan (buruhnya) > US$ 300 (Rp 4,5 juta/karyawan/bulan),” kata Prof. Rokhmin Dahuri.
Disamping itu, US$ 300 dihitung berdasarkan garis kemiskian versi Bank Dunia (2010): US$ 2/orang/hari atau US$ 60/orang/bulan. Rata-rata ukuran keluarga akuakultur 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak), dan pada umumnya yang bekerja hanya ayah.
5. Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.
6. Revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan.
“Sehingga, kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen !. Sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan,” tandasnya.
7. Peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.
8. Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.
9. Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) – based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.
10. Aplikasi Blue Economy: zero waste, zero carbon emission (penggunaan energi terbarukan seperti matahari, angin, kelautan, dan lainnya), ekonomi sirkuler, dan lainnya.
11. Perbaikan dan pengembangan infrastruktur: jalan, listrik, air bersih, telkom, internet, irigasi dan drainasi tambak, dan lainnya.
12. Penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif: perizinan, keamanan berusaha, kosistensi kebijakan, kepastian dan keadilan hukum, ketenagakerjaan, dan lainnya.
13. Kebijakan politik ekonomi yang kondusif: moneter (bunga bank), fiskal, ekspor-impor, RTRW, IPTEK, dan lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri juga membahas kebijakan dan program peningkatan pendapatan nelayan, yaitu:
1. Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable). Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.
“Maka, perlu modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan//bulan. Pengembangan kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan Kapal Ikan > 50 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas). Intensitas (laju) penangkapan = MSY. Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing,” tuturnya.
Yang berikut, 2. Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll.
3. Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).
Kemudian, 4. Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system. 5. BUMN, KOPERASI atau SWATA menyediakan (menjual) sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI.
Selanjutnya, 6. Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri). 7. Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya) supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.
Berikutnya, 8. Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan. 9. Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak. 10. Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan. 11. Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing. 12. Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement.
Lalu, 13. Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain: kapal ikan dengan energi surya, dll. 14. Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.
Kebijakan Dan Program Pengendalian Pengeluaran Nelayan
Terkait kebijakan dan program pengendalian pengeluaran dan resiko nelayan, Prof Rokhmin menuturkan, 1. pemerintah membantu membangun kawasan pemukiman nelayan yang bersih, sehat, cerdas, produktif, aman, dan indah. “Sehingga, nelayan beserta anggota keluarga bisa hidup dan tumbuh kembang dengan sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.
2. Penyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga agar nelayan dan anggota keluarganya bisa hidup ‘tidak lebih besar pasak dari pada tihang’ seperti pembatasan jumlah anak, gemar menabung, dan lainnya.
3. Selain kerja cerdas dan keras sebagai nelayan, mereka harus meningkatkan iman, taqwa, dan doa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
“Jika ekonomi Kelautan dan Perikanan dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir, maka sektor ekonomi KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya INDONESIA EMAS (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045,” tutupnya.