Kementerian Investasi atau BPKM menyatakan sedang fokus membangun hilirisasi sektor pertambangan, khususnya nikel. Pasalnya, nilai tambah dari hilirisasi ini sangat luar biasa terbukti dari nilai ekspor nikel tahun ini yang diproyeksi dapat mencapai 10 kali lipat dari capaian 2017 yang hanya sekitar US$ 3 miliar.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencaatat nilai perdagangan nikel Indonesia pada 2021 telah mencapai US$ 20,9 miliar. Seperti diketahui, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel pada 2020 dan memaksa pelaku industri nikel melakukan hilirisasi.
“Menurut data perdagangan, kami akan menutup perdagangan nikel pada 2022 dengan nilai US$ 27 miliar sampai US$ 30 miliar,” kata Bahlil dalam Indonesia Net Zero Summit 2022, Bali, Jumat (11/11).
Namun demikian, Bahlil mengatakan banyak negara-negara yang tidak setuju terhadap kebijakan hilirisasi pemerintah Indonesia. Negara yang dimaksud oleh Bahlil tergabung dalam Uni Eropa.
Bahlil mengatakan pelarangan ekspor bahan baku termasuk dalam upaya pemerintah dalam mengurangi emisi karbon. Menurutnya, pengolahan bahan baku di dalam negeri dapat mengatur emisi yang dikeluarkan dalam pengolahan bahan baku.
Menurutnya, salah satu hal yang akan menjadi syarat pengolahan bahan baku di dalam negeri adalah penggunaan energi baru terbarukan atau EBT. Namun demikian, Bahlil mengatakan pemerintah Indonesia tetap digugat ke Organisasi Dagang Dunia atau WTO atas kebijakan tersebut.
“Tapi, kami Indonesia bangsa yang sudah merdeka, sedikit pun tidak mundur ketika negara kami ingin maju,” kata Bahlil.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan industri pengolahan di dalam negeri dapat menghasilkan baterai litihium secepatnya pada kuartal II-2024. Saat ini, hilirisasi nikel yang dilakukan pelaku industri domestik adalah membuat baja nirkarat.
Luhut menilai, ekspor baja nirkarat asal Indonesia membuat nilai ekpor tahun lalu mencapai US$ 232 miliar. Pasalnya, 70% dari total nilai ekspor nasional adalah ekspor besi dan baja. Luhut menargetkan angka tersebut dapat tumbuh 14,22% menjadi US$ 285 juta.
Berkat pertumbuhan nilai ekspor tersebut, Luhut meyakini neraca dagang Indonesia dengan Cina dapat berada di zona hijau yang tahun lalu masih defisit senilai US$ 2,5 miliar.