ACEHTREND.COM, Banda Aceh — Budayawan Aceh Tarmizi A Hamid mengatakan generasi muda Aceh perlu mengenal identitas mereka selaku orang Aceh sebagai “bekal” hidup di era yang semakin modern. Bicara mengenai identitas Aceh kata pria yang akrab dipanggil Cek Midi ini, tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang identik dengan perjuangan. Terkait hal ini kata dia juga tak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu Aceh yang menjadi sumber hikmah dan dasar pengetahuan bagi masa sekarang dan masa mendatang.
“Ini sejarah adalah manusia dan aktor sejarah adalah manusia,” ujar Cek Midi dalam dialog Pendirian Rumah Adat: Islam, Khazanah Budaya, dan Identitas Keacehan yang diselenggarakan Kesbangpolinmas Aceh di Hotel Permata Hati Ulee Lheue, Banda Aceh, Jumat (22/10/2021).
Kesultanan Aceh Darussalam yang mencapai puncak kegemilangannya pada masa Sultan Iskandar Muda menurutnya merupakan peradaban Islam terbesar di dunia kelima setelah Turki Usmani, Maroko, Isfahan, dan Agra. Masyarakatnya pada saat itu juga terbiasa berbicara multibahasa seperti penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa “nasional” di wilayah kesultanan, termasuk bahasa-bahasa daerah lain yang menjadi bahasa ibu; bahasa Melayu sebagai bahasa diplomasi dan hubungan antarbangsa di kepulauan Nusantara dan Asia; terakhir menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu pengetahuan.
Di antara kekayaan intelektual di masa lalu itu masih bisa dilihat dari peninggalan berupa manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh, seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdul Rauf As-Singkili, Syekh Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin As-Sumatrani. Kitab-kitab dan karya sastra mereka kini berada di Rumoh Manuskrip Aceh milik Cek Midi dan siapa saja dipersilakan datang untuk melihat dan mengkajinya.
“Ini sumber pengetahuan kita. Bayangkan, dengan keterbatasan sarana pada saat itu, kertas masih diimpor, tinta harus dibikin dari bijih besi, listrik tidak ada, tetapi para ulama ini bisa menuliskan mahakarya-mahakarya yang masih bisa kita lihat sampai saat ini,” kata Cek Midi sambil memperlihatkan manuskrip Mi’rath Ath-Thullab koleksinya yang turut dihadirkan dalam forum itu.
Seharusnya, berbagai peninggalan itu menjadi semacam pemantik bagi generasi muda agar lebih terpacu dalam melahirkan karya-karya intelektual sebagai estafet dari para ulama dan intelektual di masa lalu.
“Tetapi kalau kita tidak tahu identitas kita, kita tidak bisa mencintai bangsa kita yaitu Aceh, susah bagi kita untuk menghargai karya-karya ulama terdahulu,” ujarnya sambil menambahkan, manuskrip-manuskrip berusia ratusan tahun yang ditulis dengan tangan di atas kertas-kertas yang diimpor dari Eropa dan tinta dari bijih besi itu hanya akan menjadi pajangan semata di museum-museum atau tangan kolektor karena tidak ada yang peduli.
Selain Tarmizi Hamid, dialog ini juga menghadirkan Zulfahmi Abdullah selaku Kasubbah Organisasi Tata Laksana dan Kerukunan Umat Beragama di Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, serta akademisi UIN Ar-Raniry Hasan Basri M Nur yang sekaligus menjadi pemandu acara.
Dalam kesempatan itu Hasan Basri memaparkan tentang berbagai keistimewaan yang diperoleh Aceh melalui perjuangan yang panjang dan berdarah-darah mulai dari masa DI/TII hingga GAM. Rangkaian dari berbagai peristiwa itu setidaknya melahirkan tiga undang-undang yang menjadi dasar keistimewaan Aceh, yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang populer dengan sebutan UUPA.
“Perjuangan-perjuangan ini kemudian melahirkan berbagai sebutan untuk Aceh mulai dari Daerah Istimewa Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, hingga sekarang menjadi Provinsi Aceh saja,” kata Hasan Basri dengan topik Kedudukan Keistimewaan Aceh dalam NKRI.
Undang-undang tersebut dalam implementasinya melahirkan sejumlah peraturan daerah yang disebut qanun di antaranya yang mengatur tentang syariat Islam, baitul mal, Majelis Pendidikan Aceh, Majelis Adat Aceh, hingga Lembaga Wali Nanggroe. Oleh karena itu kata Hasan, generasi muda Aceh sebagai estafet kepemimpinan di masa yang akan datang tidak boleh abai dengan berbagai keistimewaan Aceh karena tidak ada di daerah lain. Dengan semakin memahami berbagai keistimewaan itu, maka akan semakin membuka pikiran bahwa Aceh ini memang berbeda dengan daerah lain.
Sementara Zulfahmi menyampaikan tentang moderasi beragama sebagai syarat utama hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Sebagai negara dengan masyarakat yang multiagama, etnis, budaya, dan bahasa moderasi beragama menjadi mutlak dibutuhkan untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.
Zulfahmi menekankan, moderasi beragama menitikberatkan pada cara seseorang melakukan interaksi sosial yang tidak mengedepankan pada sikap-sikap egoisme dan ekstrimisme. Sedangkan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah (agama) sama sekali tidak bisa diutak-atik. Menurutnya ada empat indikator prinsip moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, antikekerasan, toleransi, dan penerimaan budaya.
Kegiatan ini diikuti lebih dari 20 peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa dan anak muda.[]
© 2015-2023 aceHTrend.com.
Powered by GampongIT.com.