Flora Fauna
Tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Ungkapan tersebut menggambarkan bagaimana keberlanjutan konservasi badak jawa terkait habitat kedua yang kembali menyeruak pada peringatan Hari Badak Sedunia, yang dirayakan setiap tahunnya pada 22 September.
Usulan habitat baru dan translokasi terkait pembangunan second population badak jawa, sejatinya sudah diinisiasi sejak 1989. Acuan konservasinya tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) badak jawa melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.43/Menhut-II/2007.
Dalam Permenhut yang berlaku 2007-2017 itu, disebutkan tiga mandat aksi strategis konservasi yang harus dilakukan: meningkatkan populasi 20%, membangun habitat kedua, dan mendirikan suaka badak jawa. Seperti yang kita ketahui, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan satu-satunya kantung eksistensi badak jawa di dunia. Namun, wilayah TNUK ini sendiri dinilai cukup riskan bagi keberlajutan konservasi Rhinoceros sondaicus tersebut.
Artinya, populasi yang hanya terdapat di satu areal, memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Terlebih, kawasan yang memiliki luas sekitar 20 ribu hektare itu terbilang “jenuh” bagi 67 induvidu badak.
Baca: Kisah Badak Jawa yang Kini Hanya Ada di Ujung Kulon
Yuyun Kurniawan, Rhino Conservation Specialist Word Wide Fund (WWF) menilai, arah kebijakan pemerintah cenderung tidak tegas dalam hal memutuskan habitat kedua tersebut. Pasalnya, telah hampir 30 tahun rencana ini terus digulirkan tanpa ada kepastian dan kejelasan.
“Keputusan itu, hingga sekarang belum ada. Padahal, mandat sudah jelas dalam rencana aksi,” terangnya, saat ditemui di Bandung, baru-baru ini.
Yuyun memaparkan, tujuan habitat kedua adalah melindungi badak jawa dari bencana alam, misalnya, ledakan Gunung Krakatau, gempa bumi, dan tsunami. Disamping itu, karena badak jawa memiliki sebaran terbatas, diperlukan kebijakan jangka panjang.
Degradasi habitat, inbreeding, penularan penyakit, dan perburuan dalam kawasan merupakan sejumut persoalan yang mesti diperhitungkan. Maka, perlu tindakan pengelolaan yang tepat dan terencana. “Habitat kedua juga diperuntukan untuk menambah populasi. Sehingga, manajemen pengolaan kawasan mesti diintesifkan.”
Terkait lokasi ideal bagi habitat kedua, lanjut dia, WWF telah melakukan kajian kawasan secara parsial di Pulau Jawa. Disimpulkan bahwa sulit menemukan kawasan yang memiliki hutan dataran rendah minimal 20 ribu hektare dari luasan hutan 38,543 hektare yang jadi pesebaran badak jawa di Semananjung Ujung Kulon.
“Luasan hutan di Jawa sudah menciut dan terfragmentasi. Sangat sulit menemukan luasan hutan ideal,” ujarnya.
Baca: Indikasi Perburuan Badak Jawa Memang Ada
Studi lokasi itu dilakukan di beberapa wilayah. Lokasi habitat baru di luar TNUK, diupayakan, berdasarkan sejarah distribusi alaminya. Penilaiannya pun berdasarkan aksesibilitas, kemiripan ekologi, dan beberapa faktor kunci lainnya.
Yuyun mengatakan, ada beberapa lokasi yang dinilai memenuhi kriteria. Wilayah tersebut di antaranya adalah Taman Nasional Halimun Salak, Cagar Alam Rawa Danau, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Cikeusih, dan Cagar Alam Sancang.
“Berdasarkan kajian ekologi dan faktor kunci lainnya. SM Cikepuh dipilih karena memiliki kemiripan dengan TNUK. Sehingga, direkomendasikan untuk dijadikan sebagai calon habitat baru,” tambahnya.
Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan juga membentuk tim khusus bersama WWF dalam tahapan rencana translokasi. Rencana bloking zonasi pengelolaan kawasan pun sudah ditentukan. Nantinya, di cagar alam seluas 8.000 hektare itu akan dibagi tiga zona.
Zona 1, diperuntukkan sebagai lokasi calon habitat kedua badak jawa dengan luas 4.000 hektare. Zona 2 sebagai penunjang aktivitas dan ketersediaan pakan badak. Sedangkan zona 3 merupakan areal pemanfaatan.
Tumpang tindih regulasi
Yuyun menyebut, di kawasan Cikepuh sendiri terindikasi terjadi tumpang tindih pemanfaatan. Selain wilayah tersebut dikhususkan untuk konservasi, ternyata di lokasi yang sama juga merupakan tempat latihan perang Pasukan Komando Cadangan Stategi Khusus Angkatan Darat (Kostrad).
Dia mengatakan, bila merujuk aturan perundangan-undangan, baik kehutanan ataupun konservasi dan keanekaragaman hayati, jelas tidak diperkenankan. Ini berlandaskan fungsi zonasi. Telebih, Cikepuh bersatus suaka margasatwa, wilayah perlindungan flora dan fauna.
Lagi pula, menurutnya, sejauh ini KLHK belum melakukan MoU dengan angkatan darat atas usulan lahan di Cikepuh sebagai lokasi latihan perang. “Harusnya, KLHK lebih memprioritaskan rencana awal, sebagai habitat kedua badak jawa,” tuturnya.
Baca juga: Penelitian Ini Coba Singkap Ancaman Tsunami pada Kehidupan Badak Jawa
Selain itu, kata Yuyun, di dalam zonasi Cikepuh, terdapat juga lahan milik Kostrad yang telah disertifikasi sekitar 300 hektare. Selain itu, lokasi habitat kedua badak jawa ini masuk juga dalam skema pengembangan Geopark Ciletuh, programnya Pemprov Jawa Barat.
“Habitat badak jawa di TNUK diperkirakan hanya mampu mendukung populasi viabel tidak kurang dari 50 individu. Sementara itu, berkembangnya invasive species tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) merupakan ancaman utama perubahan ekosistem habitat badak jawa di Ujung Kulon.”
Yuyun mengatakan, keseriusan pemerintah adalah kunci kesuksesan peralihan habitat badak jawa ini. SRAK badak jawa harus dilaksanakan sebagai program strategis, yang berakhir tahun ini. Dua dari tiga mandat telah dijalankan yaitu peningkatan populasi dan pembangunan suaka badak.
“Bagaimana dengan kebijakan untuk membangun habitat kedua? Sebaiknya kepentingan konservasi harus menjadi prioritas pemerintah,” tandasnya.
Manfaat konservasi
Dihubungi terpisah, Peneliti Molekuler ITB Dr. Adi Pancoro mengatakan, upaya konservasi di Indonesia harus diimbangi dengan roadmap penelitan. Tujuannya, agar konservasi dapat berkelanjutan dan terarah. Pada perkembangannya, perlu dilakukan terobosan baru seperti konservasi genetik sebagai faktor penunjang.
Dalam rangka menunjang upaya-upaya konservasi badak jawa, misalnya, usaha identifikasi keanekaragaman genetik mempunyai arti dan manfaat penting. Data yang diperoleh dari analisis genetik populasi pun dapat digunakan sebagai landasan.
“Sejauh ini, kita banyak kehilangan informasi dalam hal genetik. Variasi genetik menjadi penting guna memahami dan memantau populasi yang tersisa. Dan seharusnya, konservasi menggunakan kombinasi ekologi, biologi molekuler, genetika populasi, pemodelan matematis dan taksonomi,” jelasnya.
Adi melanjutkan, konsekuensi persebaran badak jawa yang terbatas, berpotensi terjadinya inbreeding atau perkawinan sedarah. Hal ini tentunya harus dihindari agar tidak terjadi “kelainan” atau cacat fisik. Selain itu, bisa berakibat pula menurunkan genetik yang berujung pada kerentanan populasi terhadap kepunahan.
“Begitu juga dengan peran biologi molekuler. Molekuler berbasis DNA yang sifatnya diwariskan, kedepannya diharapkan bisa diaplikasikan. Metode ini, kasarnya menjodohkan. Setidaknya bisa menyilangkan, mengindari inbreeding. Keuntungan lainnya adalah menjaga kelesatarian di level DNA sehingga lebih mudah memahami permasalah populasi maupun habitat,” terangnya.
Yang perlu ditekan, kata Adi, dari agenda translokasi dan reintroduksi membangun second population ini, adalah mengintensifkan kawasan. Sebab, sudah tidak bisa lagi areal hutan yang ideal sebagai habitat satwa. “Yang terpenting adalah perlindungan kawasan. Jangan sampai habitatnya hilang. Karena, sekuat apapun satwa survive bila habitatnya rusak, akan mati juga,” tuturnya.
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia berpostur tegap. Tingginya, hingga bahu, sekitar 128-175 sentimeter dengan bobot tubuh 1.600-2.280 kilogram. Meski penglihatannya tidak awas, akan tetapi pendengaran dan penciumannya super tajam yang mampu menangkap sinyal bahaya yang menghampiri kehidupannya. Satu cula berukuran 27 sentimeter berwarna abu-abu gelap atau hitam merupakan ciri khas utama jenis ini.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id