Sosial
Sampah plastik telah menjadi salah satu masalah global yang cukup mendapat perhatian beberapa tahun terakhir. Berbagai solusi untuk pengurangan sampah plastik telah dikampanyekan secara berkala, mulai dari penggunaan bahan yang mudah di daur ulang, pengelolaan sampah terpadu dan metode lainnya yang dapat diterapkan.
Hanya saja, keefektifan pengurangan sampah plastik dinilai masih kurang jika tanpa sinergi antara intervensi hulu dan hilir. Ketergantungan penggunaan plastik dalam keseharian masyarakat menjadikan potensi polusi plastik sekali pakai meninggi dari tahun ke tahun dan memberikan dampak serius kepada lingkungan hingga memicu terjadinya perubahan iklim yang ekstrem.
Menurut laporan The Pew Charitable Trusts dan SYSTEMIQ, sampah plastik yang salah kelola akan bertambah menjadi 239 juta ton pada tahun 2040 jika skenario business-as-usual masih dijalankan.
Dalam diskusi bertema #AsikTanpaSampahPlastik yang diselenggarakan oleh anggota Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi yang terdiri dari Belantara Foundation, Dompet Dhuafa, Climateworks Centre, Greeneration Foundation, dan Filantropi Indonesia, dalam rangka perayaan Hari Bumi 22 April 2022, Rabu (20/4/2022), terungkap berbagai inisiatif yang dilakukan berbagai pihak sebagai upaya kolaborasi berbagai pihak mengurangi sampah plastik.
Tetra Pak Indonesia, sebuah perusahaan global yang bekerja bidang pemrosesan pengemasan produk pangan makanan dan minuman, supplier kemasan bagi produsen seperti Ultra Milk, Teh Botol Sosro dan beberapa produk lainnya memiliki komitmen secara global untuk mendukung bisnis yang bertanggung jawab dalam mengurangi jejak lingkungan.
“Kami memiliki beberapa komitmen yaitu untuk melindungi pangan, manusia, dan planet. Konteks dalam melindungi planet ini kami ingin menciptakan kemasan yang ramah lingkungan. Kami ingin turut berkontribusi terhadap lingkungan dengan terus berinovasi untuk menyediakan kemasan yang rendah karbon dan tidak mencemari lingkungan,” ungkap Fatma Nur Rosana, Sustainability Analyst Tetra Pak Indonesia.
baca : Sampah Plastik Kemasan, Persoalan Lingkungan yang Harus Diselesaikan
Menurut Fatma, dari awal Tetra Pak Indonesia membuat kemasan yang 75 persennya adalah kertas karton yang berasal dari sumber-sumber yang bertanggung jawab dan tidak memilih sumber yang hanya asal ditebang. Mereka bermitra dengan supplier kayu yang sudah tersertifikasi.
“Terkait bahan plastiknya, kami berinovasi dengan menyediakan bahan polimernya terbuat dari bahan dasar tanaman yaitu tebu. Ini sebagai alternatif bagi produsen yang ingin mengurangi jejak karbonnya,” tambahnya.
Untuk pasca produksi, Tetra Pak Indonesia bermitra dengan pelaku-pelaku industri daur ulang dan jaringan pengumpul.
“Kami melakukan pendekatan dengan industri daur ulang, tentunya industri daur ulang kertas di mana kami bekerja sama. Jadi kami melakukan pendekatan ke mereka bagaimana mem-value kemasan Tetra Pak itu. Di situ kami masuk melalui industri paper melalui co investment, melakukan investasi sebuah mesin khusus untuk daur bekas kemasan bekas minum,” jelasnya.
Selain Tetra Pak Indonesia ada juga QYOS, sebuah start-up berbasis digital yang menyediakan stasiun refill otomatis untuk produk rumah tangga, yang ditempatkan di toko-toko di area tinggal masyarakat. QYOS yang didirikan sejak tahun 2020 berfokus untuk mengurangi sampah plastik dari hulu dengan bekerja sama langsung dengan produsen.
Menurut Fazrin Rahman, pendiri dan Direktur QYOS, model isi ulang seperti yang dikembangkannya sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia, namun mereka mencoba menawarkan produk-produk yang tidak eksklusif untuk hanya produk-produk yang organik tetapi juga melayani produk mainstream.
“Jadi tujuannya untuk mengurangi sampah plastik yang lebih masif dan sustainable. Costumer lebih mudah menerimanya karena yang kita serve produk-produk yang mereka sudah familiar dan intinya adalah untuk model ini bisa dirancang tidak hanya ketika masyarakat bertemu mesinnya sudah familiar tetapi juga industrinya cukup masif, sehingga kita perlu desain circular system-nya bagaimana kemudian produk-produk tadi tidak hanya bisa dilayani di Jabodetabek, tetapi juga di pulau-pulau lainnya di Indonesia.”
baca juga : Mencari Cara Merdekakan Bumi dari Sampah Plastik
Salah satu tantangannya saat ini adalah mekanisme produk daur ulang di Indonesia belum memiliki ‘aturan main’ yang jelas, sehingga dibutuhkan kehati-hatian, baik bagi QYOS sebagai penyedia jasa maupun brand owner mitra mereka.
“Kita lihat yang menjadi pekerjaan rumah bagi kami untuk adanya standar keamanan konsumen apalagi untuk makanan dan kosmetik. Insight kami dengan brand quality level itu berbeda-beda, karena tergantung konteks di mana standar itu dipakai. Tanggung jawab kami untuk confirm bahwa produk ini aman baik untuk brand maupun bagi pemerintah.”
Tidak hanya industri, inisiatif dalam pengurangan sampah juga dilakukan oleh Dompet Dhuafa melalui platform yang disebut Zona Madina.
Udhi Tri Kurniawan selaku Direktur Zona Madina Dompet Dhuafa menjelaskan bahwa Zona Madina adalah skema pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kawasan.
“Jadi intervensinya bukan hanya dalam satu perspektif, misalnya pendidikan dan kesehatan, tetapi perspektif yang diintervensi di suatu kawasan itu beragam, menyesuaikan dengan situasi atau kebutuhan masyarakat,” katanya.
Zona Madina sendiri berdiri sejak 2014 dengan komitmen memastikan skema pengembangan kawasan yang menjawab kebutuhan keberlanjutan secara jangka panjang.
“Jadi pendekatan-pendekatan yang kita lakukan meskipun mungkin secara perspektif ekonomi dominan tetapi kita juga terus memasukkan unsur-unsur edukasi dan juga value tentang keberlanjutan dalam perspektif lingkungan.”
baca juga : Kurangi Sampah Plastik dengan Membangun Budaya Isi Ulang
Zona Madina saat ini sangat concern dalam memastikan isu keberlanjutan, termasuk dalam hal paling pengelolaan sampah di area kawasan inti dan kawasan sekitarnya agar bisa tetap terkelola.
“Jadi pertama kita membuat semacam produk-produk dan edukasi di mana sasaran utamanya adalah mereka yang hadir di kawasan inti dan masyarakat di sekitar kawasan. Kemudian, kita juga punya produk-produk dalam bentuk insentif. Mereka yang menggunakan alat-alat reuse akan mendapatkan insentif tertentu.”
Zona Madina juga menginisiasi bank sampah, di mana sampah dikelola berdasarkan jenisnya kemudian diolah sesuai potensi ekonomi yang bisa muncul dari proses pengelolaan itu.
Zona Madina juga di setiap programnya selalu menyandingkan atau mengakomodir isu-isu lingkungan, termasuk dalam perspektif pertanian, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, kemudian perambahan wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi wilayah konservasi menjadi lahan pertanian.
“Kalau kemudian kita hanya batasi mereka dalam konteks bahwa itu tidak mencerminkan nilai keberlanjutan dsb. maka pasti tidak akan berjalan di lapangan. Karena itu kita juga harus pikirkan bagaimana agar kebutuhan praktis masyarakat bisa terpenuhi khususnya kebutuhan primer, di sisi lain kepentingan untuk isu keberlanjutan juga bisa diakomodir.”
Di tingkat kebijakan, masalah sampah ini banyak didorong oleh National Plastic Action Partnership (NPAP), yaitu sebuah platform multipihak yang mempertemukan para pembuat kebijakan, ahli, sektor bisnis, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama berupaya mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada 2025.
baca juga : Cerita Aeshnina, ‘Duta’ Anti Sampah Plastik dari Gresik
Menurut Fahrian Yovantra, Head of Program Greeneration Foundation, sebagai salah satu bagian dari NPAP, di Indonesia ini NPAP merupakan kolaborasi antara Global Plastic Action Partnership (GPAP) dengan pemerintah Indonesia. GPAP sendiri ini selain kerja sama dengan pemerintah Indonesia juga dengan negara lain Ghana, Vietnam dan Nigeria.
“Tujuan GPAP ini adalah karena lautan dunia ini penuh dengan sampah plastik. GPAP ini sekretariat yang di-lead oleh World Economic Forum. Mereka memperkirakan akan lebih banyak sampah plastik di laut dibandingkan ikan berdasarkan beratnya pada 2050.”
Menurutnya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara memegang peranan kunci sebagai global dan regional.
“Perkembangan ekonomi Indonesia dan kondisi geografisnya sebagai negara maritim membuat sampah plastik di laut dan sungai cukup challenging untuk diupayakan, seperti dampak ekosistem yang parah, terus juga dampak kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mengganggu sektor pariwisata dan perikanan.”
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id