Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus untuk terus meningkatkan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, salah satu kebijakan strategis yang tetap dijalankan adalah hilirisasi industri.
NERACA
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, “sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo, kita perlu memperkuat hilirisasi sektor industri manufaktur. Kami optimistis, hal ini dapat kita lakukan, karena selama ini telah terbukti sebagai prime mover bagi perekonomian nasional.”
Agus juga menyebutkan, multiplier effect atau dampak berganda dari aktivitas hilirisasi industri yang telah terbukti nyata, antara lain adalah meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menarik investasi masuk di tanah air, menghasilkan devisa besar dari ekspor, dan menambah jumlah serapan tenaga kerja.
“Guna mencapai sasaran tersebut, pemerintah bertekad menciptakan iklim usaha yang kondusif agar bisnis bisa berjalan baik,” tutur Agus.
Selain itu, perlunya sinergi dan koordinasi antara pemerintah dengan dunia usaha. “Kami akan selalu mendengar aspirasi dari para pelaku usaha,” imbuh Agus.
Agus menyatakan, pihaknya sedang fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri di tiga sektor, yakni industri berbasis agro, berbasis bahan tambang dan mineral, serta berbasis migas dan batubara. “Seperti yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, kita secara bertahap akan menyetop bahan baku mentah, seperti minerba. Kita sudah setop ekspor nikel, dan selanjutnya setop ekspor bauksit,” ungkap Agus.
Terkait pengembangan industri berbasis tambang dan mineral, Kemenperin tengah berupaya memacu nilai tambah pada lima komoditas ini, yaitu bijih tembaga, bijih besi dan pasir besi, bijih nikel, bauksit, serta logam tanah jarang.
“Perkembangan dari hilirisasi di sektor ini telah menghasilkansebanyak 27 smelter yang telah beroperasi meliputi pyrometallurgy dan hydrometallurgy nikel, kemudian 32 yangdalam tahap konstruksi, dan enammasih tahap feasibility study,” jelas Agus.
Kedepannya, Agus berharap, smelter nikel tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk NPI maupun bahan baku baterai, tetapi dalam bentuk produk lebih hilir seperti produk hilir berbahan baku stainless steel dan baterai listrik.
“Kemampuan hilirisasi sektor ini juga akan menghasilkan produk-produk di hilir atau produk jadi seperti peralatan kesehatan, dapur, kedirgantaraan dan kendaraan listrik. Peningkatan nilai tambah dari bijih nikel bisa mencapai 340-400 kali lipat,” papar Agus.
Agus pun menerangkan, dampak positif dari hilirisasi sektor tambang dan mineral ini telah menunjukkan peningkatan signifikan pada capaian nilai ekspor nasional. Hingga Oktober 2022, nilai ekspor dari industri ini menembus USD36,4 miliar, naik 40 persen dibanding tahun lalu. “Kami menargetkan, pertumbuhan di sektor ini pada tahun 2022 mencapai dua digit, di angka 10-11 persen,” tandas Agus.
Hilirisasi Berbasis Agro
Sementara itu, untuk hilisasi industri berbasis agro, Kemenperin sedang melakukan peningkatan nilai tambah pada komoditas kelapa sawit menjadi oleofood complex(pangan dan nutrisi),oleochemical and biomaterial complex(bahan kimia dan pembersih), dan bahan bakar nabati berbasis sawit (seperti biodiesel, greendiesel, greenfuel, dan biomass).
“Hilirisasi minyak sawit yang diolah menjadi berbagai produk turunan dapat menghasilkan nilai tambah sampai dengan empat kali lipat,” ungkap Agus. Hingga September 2022, ekspor produk industri berbasis kelapa sawit telah mencapai USD29 miliar.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika menyampaikan, ekspor produk sawit mencapai hampir 89% dari komoditas perkebunan lainnya seperti kelapa, kakao, kopi, teh dan minyak atsiri. Dalam sepuluh tahun terakhir, seiring dengan digalakkannya hilirisasi industri berbasis kelapa sawit, terjadi penambahan pesat jenis produk hilir komoditas tersebut, dari 54 jenis produk di tahun 2011 menjadi 168 produk pada 2021.
“Ekspor komoditas ini juga mengalami pergeseran dari hulu ke hilir. Pada 2010, volume ekspor hulunya 60% dan hilirnya 40%, sedangkan 2021 ekspor produk hilir mendominasi hingga 90,73% dan hulunya 9,27%,” kata Putu.
Putu pun menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam upaya hilirisasi kelapa sawit. Di antaranya perlunya revitalisasi teknologi produksi CPO dan kebijakan tata kelola pemenuhan kebutuhan produk hilir minyak sawit untuk alokasi dalam negeri dan ekspor, serta kendala tingginya input energi dan biaya logistik pada industri pengolahan minyak sawit khususnya yang berorientasi ekspor.
“Salah satu upaya yang perlu diambil untuk mengatasi tantangan tersebut adalah membangun pabrik pengolahan kelapa sawit di lokasi perkebunan,” jelas Putu.
Mengawali tahun 2023, OREO, biskuit favorit di dunia dari MondelÄ“z International secara resmi meluncurkan kolaborasi OREO x BLACKPINK secara menyeluruh…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kebutuhan industri, di antaranya…
NERACA Jakarta – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan ketersediaan dan pendistribusian BBM dan Gas, Pasokan…
Mengawali tahun 2023, OREO, biskuit favorit di dunia dari MondelÄ“z International secara resmi meluncurkan kolaborasi OREO x BLACKPINK secara menyeluruh…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kebutuhan industri, di antaranya…
NERACA Jakarta – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan ketersediaan dan pendistribusian BBM dan Gas, Pasokan…