Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia berhasil melakukan hilirisasi nikel di Tanah Air. Hal ini terbukti dari nilai tambah yang melonjak signifikan dan ramainya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di dalam negeri.
Nilai tambah dari hilirisasi nikel ini terlihat melonjak signifikan terutama sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu.
Dengan pelarangan ekspor bijih nikel itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyebut bahwa Indonesia mendapatkan lompatan nilai tambah yang signifikan. Dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lantas, bagaimana dengan nasib hilirisasi bauksit yang rencananya ekspor bauksit juga akan dilarang mulai Juni 2023 mendatang? Apakah akan mengikuti jejak keberhasilan hilirisasi nikel?
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengakui bahwa kemajuan hilirisasi bauksit berbeda dengan yang telah dicapai nikel.
Dia menekankan bahwa roadmap atau peta jalan hilirisasi semua komoditas tambang tidak bisa disamakan.
“Saya sebetulnya ingin mencoba menggali lebih dalam, apakah tidak seyogyanya roadmap hilirisasi itu tidak disamaratakan, artinya, polanya sama. Kita semua sepakat hilirisasi, tidak ada satu pengusaha Indonesia yang tidak sepakat hilirisasi,” tutur Ronald Ronald kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (13/1/2023).
Dia mengatakan, hilirisasi nikel dan bauksit sangatlah berbeda. Perbedaan terdapat pada produk turunan bauksit yang terbatas, dan tidak seperti nikel, terdapat berbagai jenis produk hilirisasi dan jumlah cadangannya pun melimpah.
“Perbedaannya tingkat turunan, kalau bauksit itu dari bauksit itu hanya sampai di alumina, tidak ada antara bauksit dengan alumina itu di bawahnya nggak ada. Kalau nikel ini tergantung kebutuhan, itu ada beberapa step-step yang berbeda dengan bauksit, sifatnya berbeda. Kita hanya ada dua sampai ujung yaitu alumina dengan aluminium,” jelasnya.
Ronald juga mengungkapkan perbedaan dari sisi fasilitas pemurnian nikel dan bauksit. Untuk membangun satu smelter bauksit menurutnya diperlukan modal (capital expenditure/ capex) hingga US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 18,2 triliun (asumsi kurs Rp 15.160 per US$).
Dia mengatakan besaran modal yang dibutuhkan untuk mendirikan satu smelter bauksit tidak mudah didapatkan. Menimbang keadaan perekonomian dunia yang sangat tidak pasti karena perang antara Rusia-Ukraina, juga dipengaruhi oleh pandemi Covid-19.
“Capex-nya sangat besar untuk mendirikan satu smelter (bauksit) itu butuh US$ 1,2 miliar. Ini bukan uang kecil, karena saat ini kan dunia investasi juga tidak baik-baik amat. Karena ada perang, karena pandemi, dan sebagainya, banyak mengakibatkan hal-hal yang tidak bisa terejawantahkan perintah undang-undang itu,” tuturnya.
Ronald juga sempat menyebutkan, bila dibandingkan dengan China, di sana pembangunan hilirisasi untuk bauksit turut dibantu oleh pemerintahnya. Sementara di Indonesia, menurutnya kurang ada harmonisasi antara pelaku usaha dengan Pemerintah Indonesia.
“Pemerintah di China itu pembangunan hilirisasinya itu berdarah-darah. Artinya, China itu menyiapkan tempat ada pelabuhan, ada power plant, ada macam-macam. Tinggal bangun (smelter) saja. Kalau ada yang ganggu, pemerintah yang siap nahanin. Kalo kita (Indonesia) kan nggak, kita suruh bangun semuanya,” jelas Ronald.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa ikut membantu dalam pembangunan hilirisasi bauksit di Indonesia. Dengan demikian, amanah dari UU No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) untuk menyetop ekspor mineral mentah, khususnya bijih bauksit, dan melakukan hilirisasi di Indonesia, bisa terlaksana.
“Undang-Undang itu seharusnya pemerintah juga ikut campur dong. Kan itu tugasnya bukan tugas pengusaha saja, tugas pemerintah dan pengusaha untuk mengejawantahkan perintah undang-undang,” ucapnya.
Sedangkan pada sisi hilirisasi nikel, Indonesia diperkirakan akan memiliki ratusan pabrik nikel yang akan berdiri hingga tahun 2025 ini. Dari catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Indonesia diperkirakan akan mengoperasikan 136 pabrik nikel sampai dengan tahun 2025.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyebutkan saat ini di tahun 2023, Indonesia diperkirakan memiliki 43 pabrik pengolahan nikel.
Namun demikian, dirinya menekankan bahwa semakin banyaknya smelter di dalam negeri juga harus memperhatikan jumlah cadangan bijih nikel yang ada. Meskipun Indonesia merupakan pemilik sumber daya nikel terbesar di dunia, namun menurutnya bila konsumsi tembus ratusan juta per tahun, ini bisa menguras cadangan yang ada.
“Nanti tahun 2025 dan seterusnya, itu akan terbangun 136 pabrik. Kami hanya mempertimbangkan untuk cadangan, cadangan untuk bijih nikel, untuk dalam negerinya dulu bagaimana,” ungkapnya.
Meidy mengatakan bahwa pengusaha nikel sangat mendukung program hilirisasi nikel. Seperti diketahui, Indonesia sudah mendapatkan keuntungan jumbo dari hilirisasi nikel sejak 2020 lalu. Terbukti, pada tahun 2022 nilai tambah dari ‘harta karun’ nikel itu melejit signifikan.
“Kalau kita review dulu, sejak pemberhentian ekspor (bijih nikel) di tahun 2020 awal yang akhirnya kita dapat gugatan WTO. Sebenarnya program hilirisasi nikel ini sudah teramat berhasil. Malah bagi kami ini terlalu over,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT