PT Smelting mengolah konsentrat tembaga hasil tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Perusahaan ini mempunyai tiga pabrik, terdiri dari pabrik peleburan, pemurnian, dan asam sulfat.
PT Smelting berkomitmen untuk terus melakukan upaya hilirisasi dengan meningkatkan kembali kapasitas produksi smelter tembaga hingga 30%. Dengan demikian, kapasitas produksinya akan meningkat dari 300.000 ton menjadi 342.000 ton katoda tembaga per tahun.
Proyek ekspansi ini juga untuk menambah pabrik asam sulfat baru. Selain itu menaikkan kapasitas beberapa peralatan di smelter dan menambah jumlah sel elektrolisa di refinery. “PT Smelting berkomitmen untuk terus berkontribusi terhadap negeri kita tercinta. Dengan peningkatan kapasitas produksi ini, tentu akan makin mengokohkan Indonesia sebagai salah satu produsen tembaga dunia,” kata Direktur Pengembangan Bisnis dan Komersial PT Smelting Irjuniawan P Radjamin, dalam keterangan resminya, pada 20 Februari 2022.
Irjuniawan mengemukakan, PT Smelting terus berkomitmen untuk terus berkontribusi terhadap negara. “Dengan peningkatan kapasitas produksi ini, tentu akan makin mengokohkan Indonesia sebagai salah satu produsen tembaga dunia,” ucapnya.
Upaya hilirisasi PT Smelting dengan meningkatkan kembali kapasitas produksi smelter tembaga hingga 30 persen mendapat apresiasi Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. “Kami mendapat laporan, investasi dari eskpansinya kali ini mencapai USD231 juta, dan ditargetkan pembangunannya selesai sebelum akhir Desember 2023,” ungkap Agus Gumiwang, dalam siaran pers 20 Februari 2022.
PT Smelting yang didirikan sejak 1996 di Gresik ini menjadi pembangunan refinery mineral yang pertama di Indonesia. Dengan ekspansi ini, PT Smelting juga menjadi pabrik smelter tembaga yang pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Selama ini PT Smelting telah melakukan ekspansi sebanyak empat kali dalam rangka peningkatan kapasitas produksi. Tahap pertama, kapasitas produksi katoda tembaga dari PT Smelting sebesar 200 ribu ton per tahun. Pada 1999, ekspansi pertama dilakukan dengan menambah kapasitas produksi katoda tembaga menjadi 255 ribu ton per tahun. Berikutnya, tahun 2001 ditingkatkan lagi menjadi 270 ribu ton. Ekspansi ketiga, pada 2009, menambah kapasitas jadi 300 ribu ton per tahun.
Selama ini, mereka mengolah konsentrat tembaga hasil tambang PT Freeport Indonesia di Papua. PT Smelting mempunyai tiga pabrik, terdiri dari pabrik peleburan (smelter), pemurnian (refinery), dan asam sulfat.
Melalui pembangunan pabrik baru, pabrik yang semula hanya mengolah 1 juta ton konsentrat tembaga per tahun, akan meningkat kapasitasnya menjadi 1,3 juta ton konsentrat per tahun. “Dengan kontribusi dari perusahaan refinery lainnya yang memiliki kapasitas serapan konsentrat 2 juta ton, maka di Gresik ini akan menghasilkan total serapan konsentrat 3,3 juta ton. Artinya, Gresik ini akan menjadi wilayah sentra hilirisasi tembaga,” kata Agus.
Agus meyakinkan, Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus menjalankan kebijakan hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri. Upaya strategis ini telah memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan devisa dari investasi dan ekspor serta penambahan jumlah serapan tenaga kerja.
“Kebijakan hilirasi menjadi salah satu sumber penerimaan negara, dengan produk turunannya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Kebijakan ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi bahwa pemerintah akan menghentikan ekspor raw material seperti minerba secara bertahap,” kata Agus.
Menperin optimistis, upaya hilirisasi tembaga ini bakal prospektif ke depannya seiring dengan adanya pengembangan sumber energi terbarukan, kendaraan listrik, dan solar panel. “Karena semuanya butuh tembaga,” ujarnya.
Lebih lanjut, ekspansi PT Smelting diharapkan dapat memenuhi kebutuhan produk di dalam negeri seperti katoda tembaga untuk industri kawat atau kabel (wire), batangan tembaga (rod bar), industri kimia, serta produk samping berupa asam sulfat untuk bahan baku pabrik pupuk serta copper slag dan gypsum sebagai bahan baku semen. Hal ini dinilai akan mendukung kebijakan substitusi impor.
“Hilirisasi industri ini menjadi penting dalam rangka menjamin ketersediaan bahan baku sumber daya alam dan peningkatan nilai tambah,” tegas Agus.
Hilirisasi dari bijih tembaga menjadi kawat konduktor akan meningkatkan nilai tambah dari USD3.900 per MT menjadi USD8.000 per MT atau naik hingga dua kali lipat. Agus menambahkan, berkembangnya industri smelter di dalam negeri, memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah setempat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Sebagai ilustrasi, kalau biasanya Kabupaten Konawe pertumbuhan ekonominya sekitar 5–6% sebelum ada investasi datang, selama dua tahun terakhir ini di wilayah tersebut pertumbuhannya sudah di angka belasan persen,” ungkapnya.
Efek positif yang luas dari aktivitas industri tersebut bahkan mampu mengurangi angka kemiskinan. “Hal ini membuktikan adanya kemitraan yang saling menguntungkan antara industri dan masyarakat guna membawa kemajuan bersama, termasuk tumbuhnya wirausaha di lingkungan pabrik serta dapat meningkatkan infrastruktur sosial yang dibutuhkan masyarakat,” imbuh Menperin.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kebijakan dari hilirisasi mineral membawa dampak positif terhadap penerimaan devisa dari ekspor. “Pada tahun kemarin, ekspor besi baja Indonesia mencapai USD20,8 miliar,” sebutnya.
Pendapatan itu naik hingga 20 kali lipat dibanding tahun sebelumnya, yang hanya ekspor bahan mentah nikel dengan pendapatan USD1 miliar. Besi baja merupakan turunan hasil olahan dari tambang nikel.
“Ekspor ini menjadi bagian yang berkontribusi menciptakan neraca dagang yang positif. Oleh karena itu, pemerintah berupaya bahwa kebijakan hilirisasi terus berjalan, dan tidak ada lagi hambatan untuk ekspor,” ujar Menko Airlangga dalam acara groundbreaking proyek perluasan PT Smelting di Gresik, Provinsi Jawa Timur, 19 Februari 2022.
Saat ini Indonesia memiliki cadangan bijih tembaga sebesar 3,1 miliar ton dengan tingkat produksi sebanyak 100 juta ton per tahun. Cadangan bijih tembaga tersebut diperkirakan akan habis dalam 30 tahun apabila tidak ada tambahan cadangan baru. Oleh karenanya peningkatan nilai tambah bijih tembaga sangat diperlukan, baik dengan pembangunan pabrik baru atau ekspansi pabrik yang ada untuk ekstraksi tembaga.
“Dengan ekspansi di pabrik refinery mineral pertama di Indonesia ini, ada 3,3 juta ton konsentrat yang nantinya akan diolah, sehingga Gresik menjadi sentra dari hilirisasi tembaga. Ke depannya dengan renewable energi, electric vehicle, dan solar panel seluruhnya membutuhkan tembaga. Oleh karena itu, hilirisasi produk turunannya perlu untuk terus didorong, terutama untuk kebutuhan memproduksi produk elektronik,” kata Menko Airlangga.
Ekspansi PT Smelting tidak hanya memenuhi kebutuhan produk di dalam negeri seperti katoda tembaga untuk industri kawat/kabel, batangan tembaga, industri kimia, serta produk samping berupa asam sulfat untuk bahan baku pabrik pupuk serta copper slag dan gipsum sebagai bahan baku semen. PT Smelting juga mengekspor katoda tembaga dan tembaga telurida.
Keberadaan proyek ekspansi PT Smelting sebagai industri pionir dalam pengembangan hilirisasi produk minerba diharapkan dapat turut berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional maupun secara spasial di wilayah Provinsi Jawa Timur. Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur Wahid Wahyudi menyebutkan, industri logam berperan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur.
Kini, terdapat 191 industri logam di Jawa Timur dengan nilai produksi sebesar Rp28,6 trilun tahun 2021 atau meningkat 3,79% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai ekspornya mencapai USD1,79 juta pada 2020, dan meningkat jadi USD2,32 juta pada peridoe Januari–Oktober 2021.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Portal Informasi Indonesia © 2020