Sosial
Sampah plastik terus menjadi persoalan. Sifat plastik yang sulit terurai sedang konsumsi produk sekali pakai ini terus meningkat. Pencemaran pun terjadi di mana-mana. Untuk itu, perlu keseriusan semua pihak mengatasi persoalan ini. Pemerintah Indonesia perlu aktif berperan dalam negosiasi perjanjian internasional soal sampah plastik ini.
Kini, berbagai negara sepakat menyusun perjanjian internasional guna mengakhiri polusi sampah plastik. Kesepakatan ini muncul dalam pertemuan United Nations Environment Assembly (UNEA) 5.2 di Nairobi, awal Maret lalu. Proses negosiasi terkait perjanjian ini akan mulai pada 2023. Bagaimana peran Indonesia?
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, Indonesia perlu mengambil peran strategis dalam proses negosiasi perjanjian internasional ini. Apalagi, Indonesia sudah mempunyai aturan mengenai sampah lewat UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Lewat aturan itu, pemerintah berupaya menyelesaikan masalah sampah termasuk plastik, sejak fase produksi, tak hanya ketika selesai konsumsi.
“Ini juga sesuai perbincangan tentang penyelesaian plastik global yang menghendaki ada perjanjian global khusus mengatur permasalahan plastik secara menyeluruh,” katanya.
Saat ini, hukum internasional mengenai plastik tersebar di beberapa konvensi antara lain, Konvensi Basel, Konvensi Marpol dan Konvensi Stockholm. Beberapa konvensi ini dianggap belum mampu menyelesaikan masalah plastik secara holistik.
Cukup beralasan bagi pemerintah, katanya, untuk terlibat aktif dalam pembahasan dan penyusunan perjanjian internasional soal plastik ini terlebih kondisi meteorologis dan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang panjang. Dengan kondisi ini, katanya, sangat mungkin ada perpindahan sampah plastik di lautan dari satu negara ke negara lain. Dengan begitu, katanya, ada potensi besar pencemaran sampah plastik dari dalam maupun luar negeri.
ICEL dan beberapa organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyarankan, pemerintah pengetatan produksi dan konsumsi bahan baku plastik murni masuk dalam perjanjian internasional itu.
Berdasarkan data proyeksi investasi global, kata Fajri, produksi etilen dan propilen yang menjadi prekursor dalam produksi bahan baku plastik murni nakal meningkat 33-36% pada 2025 atau 100 miliar metrik ton. Peningkatan ini, katanya, berbanding lurus dengan konsumsi plastik sekali pakai.
Selama rentang 1950-2015, setidaknya ada 8.300 juta dan 6.300 juta metrik ton produksi bahan baku plastik. Dari jumlah itu, sebanyak 4.900 juta metrik ton berakhir di tempat pembuangan akhir atau media lingkungan.
“Jika negara-negara tidak melakukan terobosan dalam pengurangan produksi plastik, akan makin banyak pula plastik berakhir di tempat pembuangan akhir atau media lingkungan,” katanya.
Sisi lain, Indonesia juga tercatat sebagai konsumen bahan baku plastik murni. Data Kementerian Perdagangan 2019 menyebut, Indonesia perlu 7,2 juta ton bahan baku plastik murni padahal produksi domestik baru 2,3 juta ton. Kondisi ini, katanya, menyebabkan Indonesia impor bahan baku. Saat bersamaan, pemerintah juga harus mengelola sampah palastik pasca produksi.
“Sebenarnya, pembatasan perdagangan sampah plastik diatur dalam Konvensi Basel. Tapi pembatasan perdagangan bahan baku plastik murni belum diatur dalam perjanjian internasional manapun. Dalam perjanjian ini perlu mendorong pembatasan perdagangan bahan baku plastik murni.”
Hal lain, katanya, soal larangan produksi plastik yang sulit atau tak dapat terdaur ulang seperti saset.
Perjanjian internasional dan pemerintah, katanya, juga perlu mendorong pendefinisikan dan pengaturan transparansi bahan beracun dan berbahaya dalam plastik, mikroplastik, dan nanoplastik. “Juga penghapusan penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam plastik.”
Selama ini, kata Fajri, pelaku usaha cenderung menutup informasi mengenai bahan-bahan dalam produksi plastik hingga melanggengkan ancaman pada kesehatan dan lingkungan hidup dalam seluruh daur plastik.
Perjanjian internasional itu juga perlu mengatur standarisasi guna dan desain ulang. AZWI mendorong, Pemerintah Indonesia mengusulkan aturan mengenai kewajiban desain ulang produk atau peralihan menuju sistem guna ulang. Sebab, standarisasi berbeda antara satu negara dengan negara lain menyebabkan kebingungan dan tak kompatibel dengan sistem perdagangan global.
Selain itu, katanya, dalam perjanjian internasional juga perlu mendesak negara-negara menghentikan segala bentuk pembiayaan maupun transfer teknologi insinerator kepada negara lain.
Di Indonesia, katanya. sudah ada PLTSa yang beroperasi yakni di Surabaya. Pemerintah, harus menghentikan pembangunan PLTSa rencanak akan dibangun di beberapa kota lain.
“Pemerintah Indonesia juga perlu menutup peluang daur ulang kimia untuk berkembang sebagai solusi pengelolaan sampah. Sebab, produk hasil daur ulang kimia mengandung kandungan metal tinggi dan dioksin.”
Selain itu, juga mengeluarkan emisi setara proses produksi bahan baku plastik murni. “Belum lagi pencemaran limbah cair dari proses daur ulang kimia.”
Dalam perjanjian internasional itu, pemerintah juga perlu mengusulkan teknologi daur ulang yang boleh dan terbukti tak mencemari lingkungan.
Rahyang Nusantara, Co-coordinator AZWI, mengatakan, pemerintah perlu berperan aktif dan punya posisi kuat dalam proses negosiasi perjanjian internasional guna mengakhiri pencemaran plastik.
“Kesuksesan upaya pengakhiran pencemaran plastik juga berkaitan erat dengan pembangunan ekosistem guna ulang. Perjanjian internasional ini dapat jadi peluang mengatur standar internasional terhadap sistem guna ulang agar kompatibel dengan sistem perdagangan global,” katanya.
Hadi Rahmat Purnama, pengajar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, pembahasan perjanjian internasional juga perlu memperhatikan kesenjangan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Kesenjangan ekonomi ini, katanya, akan mempengaruhi banyak hal, seperti sensitivitas dan proses mengatasi polusi plastik.
“Gap ekonomi tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan di suatu negara. Juga bagaimana persepsi berkaitan lingkungan dan polusi. Ini erat kaitan dengan gap teknologi. Kemampuan Indonesia untuk daur ulang perlu teknologi cukup tinggi.”
Dalam berbagai perjanjian internasional, selalu membahas mengenai transfer teknologi. Ia sering digemborkan antara negara-negara maju dan negara berkembang. Nyatanya, transfer teknologi seringkali tak ada hasil.
“Karena tidak ada teknologi yang mau begitu saja diberikan kepada negara lain. Teknologi mahal. Butuh riset dan development. Belum lagi dilindungi copyright. Apakah negara-negara kurang maju mampu membeli teknologi ini? Ini juga harus menjadi perhatian.”
Indonesia, katanya, harus melihat posisi perjanjian internasional ini dari dua hal. Pertama, Indonesia sebagai penghasil plastik sekaligus limbah. Kedua, Indonesia sebagai importir plastik.
Ujang Solihin, Kasubdit Tata Laksana Produsen KLHK mengatakan, resolusi UNEA 5.2 di Nairobi sudah menyepakati kalau plastik dianggap sebagai polutan. Hal itu, merupakan perkembangan radikal.
Selama ini, katanya, pembahasan mengenai plastik hanya di lautan. Kini tarik mulai hulu.
“Resolusi juga mengamanatkan pembuatan international legally binding instrument,” katanya.
Resolusi ini juga menyebut polusi sampah plastik sudah mencapai tingkat tinggi dan meningkat secara cepat pada ekosistem daratan dan lautan. Kondisi ini, mengancam lingkungan hidup, kehidupan sosial, dan pembangunan ekonomi.
Polusi plastik secara natural dapat bersifat transboundary, terutama marine plastic. Untuk itu, katanya, perlu kerjasama antar negara dengan pendekatan full life cycle plastic mulai dari disain, produksi, distribusi, konsumsi, pasca konsumsi, dan guna ulang serta daur ulang pasca konsumsi.
Ema Setyawati, Plh Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM mengatakan, sesuai UU 18/2019 tentang Pangan dan Peraturan Presiden Nomor 80/2017, BPOM bertugas untuk pengawasan demi menjamin keamanan mutu, khasiat, kemanfaatan, gizi dari obat dan makanan.
Dalam kebijakan BPOM No 20/2019 tentang kemasan pangan, diatur mengenai zat kontak pangan, bahan kontak pangan dan tipe pangan dan kondisi penggunaan untuk pengujian kemasan.
“Kami melihat, bahaya atau tidaknya, satu kemasan terhadap kesehatan manusia itu dapat dibuktikan dari apakah memepngaruhi pangannya? Apakah mengalirkan sesuatu ke pangan, atau mencemari pangan?”
Hal itu, katanya, berlaku untuk setiap kemasan pangan termasuk dari bahan daur ulang. “Jadi bahan daur ulang pun diperbolehkan asalkan sesuai standar.”
Ema bilang, setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan
Ke depan, katanya, BPOM akan lebih mengarah kepada produksi dan konsumsi berkelanjutan. Cara produksi pangan olahan yang baik dan memperhatikan dampak bagi lingkungan, katanya, tentu akan mempengaruhi keberlanjutan produksi pangan itu sendiri.
“BPOM mengajukan satu inisiatif baru untuk mulai menerapkan cara produksi yang baik dan berbasis ramah lingkungan. Ada roadmap yang kami kembangkan.”
********
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id