Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto. Alinea.id/Erlinda P.W.
Indonesia saat ini terus menggencarkan industri hilirisasi terutama pada komoditas ekspor melalui hilirisasi pertambangan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Ini penting dilakukan mengingat Indonesia sebelumnya telah puluhan tahun hanya menjual hasil sektor pertambangan dalam kondisi bahan mentah.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, menyampaikan kegiatan yang hanya menggali dan menjual hasil tambang tersebut adalah praktik 'ekonomi ayam'. Sejalan dengan ambisi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan perekonomian nasional, maka Seto menegaskan bahwa Indonesia kini sudah beralih dari praktik tersebut.
Bukan hanya mengasosiasikan sebagai 'ekonomi ayam', Seto juga mengumpamakan sistem perindustrian di Indonesia telah meninggalkan praktik ekonomi 'monyet'.
“Kalau boleh saya asosiasikan, dahulu kita itu mindsetnya adalah ekonomi ayam. Kenapa ayam? Karena ayam kalau cari makan kan dia gali-gali, terus dia makan. Sama kaya kita, kita nambang, gali-gali langsung ekspor. Kalau ekonomi monyet juga sama, monyet kan petik langsung dimakan, petik langsung dimakan. Jadi ini saya kira mindset kita berubah,” tutur Seto saat ditemui awak media di sela-sela acara Forum Kemitraan Investasi, Rabu (7/12).
Seto berpandangan bahwa praktik pengelolaan sumber daya alam mineral dan kekayaan alam harus diubah dengan mengolahnya terlebih dahulu, baru kemudian diekspor.
Lebih lanjut, Seto juga menyebutkan, hilirisasi nikel telah sukses memberikan nilai tambah. Ini dibuktikan melalui pengolahan nikel menjadi besi dan baja, di mana saat ini pemerintah mulai mengarahkan pengkonversian menjadi baterai lithium. Ia bahkan membeberkan, hingga Oktober 2022, kontribusi pengolahan turunan nikel, nilai ekspornya mencapai US$28,3 miliar.
“Kalau sampai akhir tahun, kami estimasikan angkanya mungkin bisa mendekati angka US$33 miliar. Jadi ini sesuatu yang signifikan,” tuturnya.
Kegiatan mengubah praktik pengelolaan hasil tambang ini menjadi hilirisasi juga telah dimulai sejak 2014, yakni Presiden merancang peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Selain itu, pemerintah juga telah resmi memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel sejak tahun 2020 yang diatur dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2022.