NIKEL.CO.ID, 12 April 2022-Pemerintah menargetkan sampai tahun 2024 terealisasi pembangunan 53 smelter. Untuk menggerakkan industri hilir tersebut, tentu membutuhkan energi listrik yang besar. Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Ditjen Minerba, Sugeng Mujiyanto menyebut, industri smelter sedikitnya membutuhkan 5,635 gigawatt (GW).
Sugeng Mujiyanto mengatakan, kapasitas energi 5,635 GW untuk memenuhi kebutuhan 53 smelter yang tersebar di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. 53 smelter tersebut masing-masing untuk klasifikasi pengolahan dan pemurnian konsentrat tembaga, konsentrat besi, konsentrat mangan, konsentrat pasir besi, konsentrat timbal, konsentrat seng, dan bijih nikel.
Ia juga menyampaikan ada 13 smelter yang sedang dalam tahap on progress. Di antaranya PT Ceria Nugraha Indotama di Sultra yang direncanakan selesai tahun 2023. Smelter menggunakan teknologi RKEF dengan kapasitas input 5.636.000 ton nikel kadar tinggi atau saprolite dengan kapasitas output feronikel sebanyak 252.728 ton, dan membutuhkan tenaga listrik 350 megawatt (MW).
Kemudian PT Bintang Smelter Indonesia di Sultra, direncanakan selesai 2023 dengan kapasitas input saprolit 2,5 juta ton dan kapasitas output NPI 254.919 ton, membutuhkan energi PLTD 6 MW. Ada juga PT Macika Mineral Industri di Sultra yang direncakanan beroperasi di 2023 dengan kapasitas input saprolite 1,1 juta ton dan kapasitas output 276.264 ton, membutuhkan energi dari PLN 45 MW.
“Sebanyak perusahaan smelter sudah melakukan MoU dan SPJBTL (Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) dengan PLN,” kata Sugeng dalam FGD bertema: Kesiapan PLN dan Pemerintah dalam Mendukung Kesuksesan Industri Smelter via zoom, pada Selasa (12/4/2022).
Menurutnya, sesuai surat dari Kemenko Perekonomian perihal Laporan Hasil Reviu Usulan Program Strategis Nasional (PSN) yang ditujukan ke Presiden RI, terdapat 21 smelter yang saat ini menjadi kewenangan ESDM yang diusulkan sebagai PSN. Masing-masing 5 smelter bauksit di Kalbar, 13 smelter nikel di Maluku Utara, Sulteng, dan Sultra, 2 smelter konsentrat tembaga di NTB dan Jatim, dan 1 smelter pasir besi di Maluku Utara.
Sugeng juga menjabarkan tentang pohon industri dan ekspor-impor nikel di tahun 2020. Untuk laterit ore menjadi NPI sebanyak 4,5 juta ton, feronikel 2,5 juta ton, nikel matte 91,2 ribu ton, dan olahan Ni Scrap 940 ribu ton.
Untuk olahan lanjutan NPI dan NI Scrap dapat menjadi stainless steel slab, stainless steel HRC, stainless steel CRC, dan stainless steel welded pipe. Sementara olahan lanjutan FeNi dan nikel matte menjadi stainless steel billet, stainless steel rod/bar, stainless steel pipe dan tube, dan stainless steel wire.
“Jadi, semakin ke hilir energinya semakin intensif. Sehingga 5,6 GW hanya untuk smelting, untuk hilirisasi pasti lebih dari itu. Inilah tantangan dari PLN untuk menyediakan listrik dengan harga bersaing,” ujarnya.
Secara umum, jelasnya, neraca perdagangan tahun 2020 untuk komoditas nikel mengalami surplus. Namun sebagian besar berasal dari ekspor feronikel, nikel matte, dan stainless steel HRC. Sedangkan untuk industri stainless steel di bagian hilir lainnya juga paduan berbasis nikel masih mengalami defisit.
Ke depan, lanjutnya, Indonesia membutuhkan energi, khususnya energi listrik di bidang hilirisasi mineral mulai dari penambangan, smelting, sampai ke industri hilir.
“Apalagi jika industri ini ditempatkan di kawasan industri khusus yang dekat dengan resources-nya, saya rasa akan banyak sumber daya energi yang belum dieksploitasi. Masih ada tenaga angin, PLTA, panas bumi yang lumayan besar di Sulawesi maupun di Maluku dan Maluku Utara, kita juga mempunyai kawasan di Membramo 25 GW potensi sumber daya air yang notabene renewable energy,” papar Sugeng.
Menurutnya, jika Indonesia bisa merealisasikan semua energi itu, maka hilirisasi akan tercapai. Pemanfaatan suistainability dari mining tercapai, cita-caita dari kebijakan energi nasional juga tercapai.
Menanti Kehadiran PLN di Area Pertambangan
Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, Indonesia saat ini memegang peranan penting, khususnya untuk komoditas nikel. Indonesia adalah negara terbesar untuk cadangan maupun produksi nikel sejak 2020 sampai saat ini.
Sumber daya dan cadangan nikel Indonesia update Badan Geologi Indonesia pada Juli 2020, cadangan yang sudah terukur untuk bijih nikel sekitar 4,3 miliar ton. Sebarannya terbagi di beberapa wilayah timur, dan terbagi lagi menurut cadangan bijih nikel masing-masing di atas kadar 1,7% dan di bawah 1,7%.
Seberan untuk pelaku hilir di Indonesia. Menurut data APNI sebelumnya sebaran IUP nikel ada 328 IUP di Indonesia timur, yaitu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Ada sekitar 81 badan usaha olahan smelter, terbagi dari 71 pirometalurgi yang menggunakan teknologi RKEF dan 10 hidrometalurgi.
“Ini data sebelum adanya pencabutan IUP,” kata Meidy.
IUP yang dicabut oleh Kementerian Investasi/BPKM sejak 2 Februari sampai 5 Maret 2022 sebanyak 385 IUP, terdiri dari 248 IUP mineral dan 137 batu bara. Sementara khusus IUP Nikel, menurut data APNI, saat ini yang sudah dicabut pemerintah ada 62 IUP.
Meidy mengatakan, untuk industri olahan nikel dari 81 badan usaha pada tahun 2025 akan membutuhkan input bijih nikel sekitar 254 juta wet metric ton per tahun. Tentu ini akan memacu semangat sisi produksi dari pelaku pertambangan bijih nikel di sektor hulu.
Dari 81 badan usaha itu terdiri pabrik pirometalurgi berteknologi RKEF yang menghasilkan NPI dan feronikel, yang beroperasi saat ini sekitar 27 pabrik. Sementara pabrik hidrometalurgi yang mengolah katoda untuk baterai EV saat ini sudah beroperasi 2 pabrik. Tahun ini sudah direncanakan ada penambahan pabrik hidromatulurgi.
“Konsentrasi APNI untuk pabrik hidrometalurgi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa, dan Maluku Utara. Keberadaan pabrik hidrometalurgi untuk optimalisasi bijih nikel kadar rendah atau limonit. Menurut data APNI, sekitar 70% total cadangan bijih nikel adalah bijih nikel kadar rendah,” tutur Meidy.
Disebutkan, produksi nikel olahan Indonesia sejak 2017 hingga 2022 terus bertambah. Di 2021 produksi olahan feronikel mengalami peningkatan didukung peningkatan harga bijih nikel saat ini lumayan drastis. Perang Rusia dan Ukraina sebagai salah satu dampak naiknya harga bijih nikel, dan Indonesia seperti mendapat durian runtuh dimana HMA dan HPM nikel ikut naik.
“Menarik kesiapan industri nikel dari PLN, di mana pemerintah saat ini mendukung industri baterai Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, ketika berbicara renewable energy atau climate changes di mana seluruh olahan bijih nikel difungsikan untuk katoda untuk baterai listrik. Baterai Indonesia ini tentu akan menjadi pusat kebutuhan dunia. Indonesia berharap olahan baterai listrik menjadi pusat dunia untuk baterai listrik.
“Ketika bicara baterai, tidak hanya tentang pengolahan bahan baku. Karena sudah berproduksi di Sulawesi maupun Maluku Utara, dan sebagian di Jawa,” imbuhnya.
Untuk pengolahan industri baterai listrik, lanjutnya, ada di Jakarta, Sumatera, dan di beberapa provinsi di Indonesia. Sementara ketersediaan bahan baku untuk baterai, khususnya dari nikel. Karena untuk lithium dan grafit belum dipastikan ketersediaannya di Indonesia. Indonesia mempunyai seluruh bahan baku baterai listrik, yaitu nikel, kobalt, mangan, aluminium, dan tembaga. Bahan baku ini untuk material katoda yang akan memberikan kontribusi tinggi terhadap harga sel baterai lithium sekitar 34%.
Menurutnya, dengan tuntutan harga baterai yang lebih murah, proporsi penggunaan kobalt di katoda semakin dikurangi dengan menambahkan proporsi nikel. Indonesia dapat memainkan peran strategis dalam industri kendaraan listrik dengan ketersediaan bahan baku, khususnya nikel dan kobalt.
Meidy mengutarakan, kebutuhan material untuk baterai mobil listrik dari material katoda, yaitu lithium, nikel, kobalt, mangan dan aluminium. Material anoda yaitu grafit dan silicon. Untuk pengumpul arus yaitu aluminium dan tembaga. Sedangkan untuk elektrolit yaitu LiPF, LiBF, dan lainnya.
“Dari bahan baku primer nikel menjadi produk laterit ore dilakukan proses mining atau mining pit seperti NPI, feronikel, nikel matte, MHP, nikel sulfat lalu processing plant dan menjadi produk. Dari bijih nikel menjadi bahan baku precursor katoda baterai MNC. Ada proses dari nikel ore diolah menjadi MHP atau nikel konsentrat lalu diolah menjadi precursor katoda,” jelasnya.
Indonesia, sambung Meidy, mempunyai potensi sumber nikel yang tersembunyi. Sebanyak 23% cadangan bijih nikel dunia ada di Indonesia. Nikel menjadi komponen bahan baku utama untuk electric vehicle (EV). Potensi di dalam nikel ada limonit, saprolit, dan terak nikel. Prospek luar biasa, industri sangat seksi, karena nikel dibutuhkan dunia untuk baterai EV.
Dikatakan, jika bijih nikel diolah menjadi produk turunan, termasuk baterai EV, maka meningkat 19 kali lipat di tahun 2030. Karena itu, pelaku pertambangan nikel membutuhkan perhatian dan dukungan dari pemerintah untuk memaksimalkan potensi nikel di dalam negeri.
“Bagaimana dukungan kebijakan pemerintah untuk ekosistem baterai EV. Tarif tenaga listrik untuk SPKLU sesuai tarif untuk penjualan curah. Bagaimana pelaku swap baterai EV hanya berkewajiban menyediakan, namun tidak wajib memiliki baterai tersebut,” paparnya.
Kembali disampaikan, ke depan dunia akan menggunakan EV, karena itu harus disediakan pula tempat pengisian EV untuk electric change. Bagaimana pembuatan baterai ESS (Energy Storage System), dan sistem yang terintegrasi.
Kembali ke program hilirisasi nikel, Meidy menekankan, dibutuhkan dukungan dari semua sektor, tidak terkecuali dari PLN dalam rangka pengolahan bahan baku menuju end product. APNI juga sudah melakukan pembicaraan dengan PLN tentang dukungan hilirisasi di wilayah-wilayah yang saat ini belum tersentuh oleh program PLN .
“Kalau berbicara industri nikel, kita bicara energi yang tinggi. Kalau kita berdiskusi dengan para investor agak membingungkan. Pertama, membangun power plant tentu investasinya besar. Kalau membangun on power plant juga kata investor investasi yang mati,” ungkapnya.
Kalaupun pelaku pertambangan, baik hulu maupun hilir minta dukungan dari PLN, mereka mengibaratkan: ‘mana lebih dulu yang muncul, telur apa ayam.’ Jadi, apakah sektor hilir yang lebih dulu membangun sarana, prasarana, dan infrastruktur atau PLN yang lebih dulu membangun.
“Banyak daerah pertambangan yang belum terjamah listrik. Membuat gardu induk biayanya besar, pembangunan transmisi biayanya besar,” tukasnya.
Para pelaku industri hulu, lanjutnya, juga membutuhkan energi untuk kegiatan pertambangan. Saat ini, masih banyak wilayah pertambangan gelap gulita. Untuk membantu menggerakkan alat-alat berat terpaksa mereka menggunakan genset.
“Sekarang, dengan meningkatnya harga BBM tentu biaya produksi mulai meningkat, karena itu kami meminta dukungan dari PLN. Pertama, bagaimana sarana, prasarana, dan infrastruktur terutama jalan-jalan utama menuju area pertambangan. Kedua, bagaimana dukungan PLN untuk industri hilirisasi nikel, konsep kerja sama seperti apa yang saling menguntungkan,” harap Meidy. (Syarif)