Jakarta, CNBC Indonesia – Berawal dari pelarangan ekspor bijih nikel, Indonesia ‘dikeroyok’ di World Trade Organization (WTO).
Mengutip situs resmi WTO, Uni Eropa mengajukan ke WTO diajukan pada 22 November 2022. Disebutkan, Uni Eropa mengklaim bahwa pembatasan ekspor bahan mentah tertentu, termasuk yang memerlukan persyaratan pemrosesan dalam negeri, kewajiban pemasaran dalam negeri, dan persyaratan perizinan ekspor, tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia juga dituding memberikan subsidi yang dilarang atau tidak sesuai dengan Pasal 3.1(b) Perjanjian SCM.
Dalam kasus ini, Indonesia tidak hanya akan menghadapi keberatan dari Uni Eropa. Tapi juga negara lain, yaitu: Brasil, Kanada, China, Jepang, Korea, India, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tidak menunjukkan ketakutan melawan ancaman ini. Dia bertekad untuk terus maju menghadapi WTO, bahkan jika harus gagal sekalipun.
“Nggak perlu takut setop ekspor nikel. Dibawa ke WTO nggak apa-apa. Dan keliatannya kita juga kalah di WTO. Nggak apa-apa, tapi barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Nggak apa-apa, kenapa kita harus takut? Kalau dibawa ke WTO kalah. Kalah nggak apa-apa, syukur bisa menang,” kata Jokowi di Jakarta.
Namun, di balik tuntutan WTO ini, ada negara-negara yang akan bertepuk tangan jika RI kalah.
Negara-negara di Eropa adalah yang paling diuntungkan jika kemudian Indonesia kalah dalam gugatan di WTO.
Pasalnya, hal ini berkenaan dengan ketahanan industri baja anti karat (Stainless steel) Eropa.
Nikel sendiri merupakan komponen penting dalam produksi stainless steel. Sebagian besar kandungan baja tahan karat mengandung nikel karena meningkatkan ketahanan korosi.
Juru bicara EUROFER, Charles de Lusignan menyebutkan penimbunan material ini di Indonesia meningkatkan daya saing industri baja tahan karatnya.
Dia menduga Indonesia ingin membangun sektor baja tahan karat berorientasi ekspor dengan maksud untuk masuk ke pasar lain.
“Mengingat bahwa nikel mewakili 45% dari biaya produksi baja tahan karat, mereka memperoleh bagian ini melalui cara yang tidak dapat dibenarkan,” katanya.
Industri baja telah lama menempati posisi strategis dalam ekonomi Uni Eropa (UE), mendorong inovasi, pertumbuhan, dan lapangan kerja.
Menurut EUROFER, industri besi dan baja menempati urutan ketiga nilai produksinya dibandingkan dengan sektor lain. Nilainya mencapai Euro 132 juta pada 2020.
Adapun lima negara anggota EU yang merupakan produsen baja terbesar adalah Jerman yang berkontribusi sebesar 25,6% dengan total produksi 35,66 juta ton dan Italia dengan produksi 20,38 juta ton atau berkontribusi 14,6% pada 2020 .
Kemudian di posisi ketiga adalah Perancis yang memproduksi 11,6 juta ton atau berkontribusi terhadap 8,3%. Posisi keempat dan kelima adalah Spanyol dan Polandia, masing masing produksinya mencapai 11,14 juta ton (8,0%) dan Polandia (5,6%).
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT