Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia bisa kalah gugatan di World Trade Organization (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Sarahsehan 100 Ekonomi oleh INDEF dan CNBC Indonesia, Rabu (7/9/2022).
“Kelihatannya kita kalah (gugatan) tapi tidak apa-apa, industri kita akhirnya sudah jadi. Jadi kenapa takut? kalah tidak apa-apa syukur bisa menang,” terang Jokowi.
Lantas apa yang akan terjadi jika Indonesia benar-benar kalah gugatan terhadap ekspor bijih nikel?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aliran ekspor bijih nikel mungkin akan kembali mengalir dimulai ke Eropa. Indonesia pun akan mendapat uang dari transaksi ekspor tersebut. Dengan pasokan ke dunia kembali bertambah, harga nikel tentunya bisa merosot.
Sejak pelarangan pada 2020 volume dan nilai ekspor bijih nikel mencapai titik 0. Padahal tahun sebelumnya ekspor bijih nikel nilainya mencapai US$ 1 miliar, tepatnya US$1.09 miliar atau Rp16,35 triliun. Sementara volumenya mencapai 32,38 miliar ton.
Namun di balik itu ada dampak yang lebih besar jika sampai Indonesia kembali mengekspor kembali bijih nikel. Minat investor untuk menanamkan modal dalam pembangunan smelter pemurnian nikel bisa saja hilang.
Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, apabila RI kalah di WTO, konsekuensinya paling tidak harus membayar kompensasi kepada pihak yang memenangkan gugatan dengan nilai yang tidak kecil. Selain kompensasi, implementasi hasil gugatan WTO berkorelasi dengan dibukanya kembali keran ekspor bijih nikel ke perusahaan di Eropa.
“Meskipun ada rentang waktu pembukaan bijih nikel, tapi keputusan membuka ekspor bijih nikel sebenarnya blunder bagi daya tarik investasi terutama perusahaan China di proyek smelter. Karena 50% lebih penguasaan smelter nikel di Indonesia oleh investor China,” ujar Bhima kepada CNBC Indonesia Kamis (8/9/2022).
Hal ini bisa saja mengurangi eksposur ekspor nikel olahan seperti Ferro yang banyak dikirim ke China sebagai bahan baku pembuatan besi tahan karat (stainless steel).
Perkiraan investasi nikel di Indonesia hingga 2024 mendatang, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diperkirakan mencapai US$ 8 miliar atau Rp 119 triliun (asumsi kurs Rp 19.000 per US$).
Smelter pemurnian nikel nikel juga akan menjadi komponen penting dalam proyek hilirisasi. Proyek tersebut akan menjadikan Indonesia sebagai raja nikel dunia sekaligus pusat sumber bahan baku dalam industri baterai kendaraan listrik.
Target pembangunan smelter nikel hingga 2024 mencapai 30 smelter. Dari target 30 smelter tersebut, 15 smelter sudah memiliki kemajuan pembangunan di atas 90% dan ada yang sudah beroperasi, 10 smelter masih dalam tahap pembangunan 30%-90%, dan lima smelter masih kurang 30% progress pembangunannya.
Menurut catatan ESDM pada 2021 terbangun 3 smelter nikel dan 14 smelter dalam pengerjaan. Tingkat pembangunan smelter nikel pada 2021 melonjak tinggi dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Paling banyak 2019 yakni 2 smelter dibangun.
Aliran ekspor bijih nikel yang berpotensi dibuka jika Indonesia kalah gugatan juga akan berdampak negatif terhadap harga nikel dunia. Sebab posisi Indonesia sebagai pemasok nikel utama dunia.
Menurut data USGS, Indonesia adalah produsen terbesar nikel dunia dengan total 1 juta ton pada 2021 dan cadangan ditaksir mencapai 21 juta ton.
TIM RISET CNBC INDONESIA
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT