Sosial
Gugatan warga Riau, ke Pemerintah Kota dan DPRD Pekanbaru, berbuah kemenangan. Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Wali Kota, DRPD dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pekanbaru terbukti melawan hukum, karena lalai mengelola sampah.
“Walaupun tergugat telah melakukan berbagai tindakan, kenyataan pengelolaan sampah di Pekanbaru belum maksimal, sesuai pembuktian para penggugat,” kata majelis hakim dalam putusan 1 Agustus lalu, melalui persidangan daring.
Dalam putusan setebal 101 lembar itu, Majelis Hakim Efendi, Estiono dan Lifiana Tanjung, menyatakan, perbuatan Pemerintah Kota Pekanbaru bertentangan dengan kewajiban memenuhi hak-hak warga negara.
Majelis menghukum Wali Kota Pekanbaru menerbitkan peraturan kepala daerah tentang pembatasan penggunaan sampah plastik sekali pakai. Sasarannya toko, retail dan usaha modern. Fasilitasi UMKM dan komunitas: pengelolaan sampah, daur ulang dan pemanfaatan sampah (bank sampah terdata).
Wali Kota dan DPRD Pekanbaru juga dihukum untuk mengeluarkan kebijakan penanganan sampah, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampai pemrosesan. Kemudian menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, rencana dan strategi pengelolaan sampah jangka panjang, sistem tanggap darurat penanganan sampah serta sosialisasi sampah sekali pakai di masyarakat.
Eksekutif dan legislatif Pekanbaru itu juga dihukum mengalokasikan APBD pengelolaan sampah, guna pembuatan peraturan pembatasan sampah plastik sekali pakai. Juga, pembentukan panitia penyusunan peraturan daerah pengelolaan sampah serta peralihan tempat pembuangan akhir dari control landfill ke sanitary landfill.
Tarmizi, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, mengatakan, anggaran penanganan sampah di APBD Pekanbaru 2019-2021 terus meningkat, tetapi belum berdampak pada perbaikan.
Atas dasar itu, majelis juga menghukum Kepala DLHK Pekanbaru agar mengawasi pengelolaan sampah secara maksimal. Caranya, membentuk panitia khusus memantau, memeriksa dan mengevaluasi dan bertindak kalau terjadi penyalahgunaan dalam praktik. Juga, sosialisasi pada masyarakat ihwal pengelolaan sampah, pemberdayaan dan permbinaan terkait pemanfaatan sampah.
Kemudian, para tergugat dihukum bayar biaya perkara secara tanggung renteng Rp1.615.000.
Dalam putusan Nomor 262/Pdt.G/2021/PN Pbr itu, majelis hanya mengabulkan sebagian gugatan. Salah satu yang tak dikabulkan adalah hukuman agar Pemerintah Pekanbaru meminta maaf pada warga melalui sejumlah media cetak maupun elektronik.
Menurut majelis, gugatan warga negara terhadap pemerintah atau penyelenggara negara dibatasi hanya menyangkut kebijakan.
Apresiasi dan harapan
Warga Pekanbaru juga penggugat, Riko Kurniawan dan Sri Wahyuni mengapresiasi putusan majelis hakim. Keduanya menggugat karena resah, tiap hari, melihat tumpukan sampah di sembarangan tempat.
Bahkan, jelang penghujung tahun, pengangkutan sampah selalu bermasalah karena harus menunggu pemenang tender. Akibatnya, sampah meluber sampai ke badan jalan dan masuk ke parit. Kondisi itu mengganggu pengguna jalan dan mengakibatkan banjir karena sampah tadi menyumbat aliran air.
“Dasar kami menggugat adalah buruknta tata kelola persampahan di Pekanbaru. Pemerintah semacam abai dan tak mau tahu persoalan,” kata Riko. Dia punya hak menggugat karena sudah menjalankan kewajiban membayar retribusi sampah.
Gugatan itu, katanya, secara tak langsung membantu pemerintah menata kota lebih bersih dan bebas sampah. Dia meminta pemerintah menghormati putusan pengadilan dan segera koreksi kebijakan yang merugikan warga Pekanbaru.
Riko berharap, persoalan sampah tidak terulang lagi. Pemerintah Pekanbaru benar-benar menjamin kehidupan yang layak, berkelanjutan dan nyaman bagi warga. “Masalah harus segera dibenahi. Itu baru satu persoalan. Belum termasuk kemacetan dan begitu juga banjir.”
“Saat ini, Pekanbaru seperti autopilot dan semakin mundur. Tidak mencerminkan kota dalam konteks pembangunan berkelanjutan,” kritik Riko.
Dia berharap, Pekanbaru kembali meraih Adipura, penghargaan bagi kota yang berhasil menjaga kebersihan dan pengelolaan lingkungan.
Pekanbaru terakhir kali meraih Adipura pada 2011, persis penghujung masa kepemimpinan Wali Kota Herman Abdullah (alm). Itu penghargaan ke tujuh kali dan berturut-turut selama dia menata kota ini. Setelah jabatan Wali Kota beralih ke Firdaus, selama 10 tahun penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup itu tak pernah mampir lagi.
Saat hari jadi Pekanbaru ke 238 tahun, 23 Juni lalu, Penjabat Wali Kota Muflihun, bermimpi hendak mendatangkan kembali piala itu. Penghargaan itu tak asing baginya. Sebab dia pernah jadi camat di Pekanbaru. Sebelum sampai pada jabatan sekarang, dia terlebih dahulu menduduki kursi Sekretaris DPRD Riau.
Sri Wahyuni senada dengan Riko. Harapannya, tak ada lagi tumpukan sampah. Terkhusus perempuan atau ibu-ibu, tidak lagi menghadapi persoalan sampah sampai ke rumah. Dengan begitu, Pekanbaru dengan julukan kota madani pun, bisa mewujudkan udara sehat, bersih dan nyaman.
“Terimakasih pada majelis, telah mengabulkan tuntutan kami, sebagai warga negara, agar pengelolaan sampah berjalan baik.”
Boy Jerry Even Sembiring dan Noval Setiawan, Tim Advokasi Sapu Bersih Pekanbaru, kuasa hukum penggugat, juga merespon positif putusan majelis. Keberhasilan mereka membuktikan fakta-fakta di persidangan, makin memperjelas sistem pengelolaan sampah di Pekanbaru buruk.
“Kami mengambil posisi kritis, memfasilitasi Ayu dan Riko, menggunakan haknya sebagai warga negara untuk masuk ruang yudisial atau peradilan,” kata Boy, juga Direktur Eksekutif Walhi Riau.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id