Sosial
Kampung wisata karst Rammang-rammang yang menawarkan pemandangan gunung kapur, merupakan salah satu objek wisata kebanggaan Kabupaten Maros dan masyarakat Sulawesi Selatan.
Terletak di Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kampung Berua, wisata Karst Rammang-rammang menyajikan keindahan batu gamping dan segala situs peninggalan arkeologi di dalamnya.
Ketenaran Kampung Berua sebagai wisata yang muncul berkat masyarakat lokal dan pemerhati lingkungan, tidak lantas membuat warga setempat berpuas diri atas berdirinya ekowisata Rammang-rammang.
Serupa dengan Kampung Berua, masyarakat Desa Salenrang kini sedang menyiapkan Kampung Massaleong, sebuah objek wisata baru yang akan memperkaya Kampung Karst Rammang-rammang, Maros, dan tengah digadang-gadang sebagai kampung budaya.
Kampung Budaya Massaleong akan menawarkan atraksi seni dan budaya sebagai kearifan masyarakat lokal. Sejarah kampung ini semakin menarik lantaran diketahui sebagai kampung tertua di Desa Salenrang, Maros.
“Di samping melestarikan kebudayaan, Kampung Massaleong juga menjadi identitas kami yang juga dibutuhkan untuk mendukung pariwisata Rammang-rammang,” ucap Sekretaris Desa Salenrang Sumantri yang ditemui pertengahan April lalu.
baca : Cerita Kemandirian Masyarakat Rammang-rammang
Sejarah seni dan budaya memang sangat melekat dengan kampung yang dihuni sekitar 30 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk sekitar 80 jiwa tersebut.
Sejak dulu, kampung itu menjadikan biola, kecapi dan gambus serta beberapa alat musik lainnya sebagai alat musik yang harus selalu ada pada setiap hajatan atau pesta pernikahan. Namun dewasa ini, pertunjukan musik tradisional tersebut sudah sangat jarang ditampilkan.
Status nyaris punah, kemudian memberi semangat baru bagi para kawula muda setempat untuk mengembalikan kejayaan kesenian budaya dari Kampung Massaleong.
“Itu pun sudah hampir hilang. Di situ saya dan teman-teman berfikir bagaimana jika kita kembali hidupkan dan kembangkan kekayaan budaya kampung ini,” kata Sunardi, seorang penggerak kaum muda di Kampung Massaleong.
Pelaku musik tradisional yang tersisa kini tengah melakukan regenerasi dengan mengajarkan para pemuda dan anak-anak untuk mencintai budaya dan seni lokal.
Mereka melatih para tunas desa, bukan hanya cara menggunakan alat, namun juga cara membuat alat musik.
Sunardi menyebut regenerasi yang dibangun oleh sejumlah penggagas kampung budaya mendapat respons luar biasa dari para pemuda. Alhasil, hampir setiap rumah sudah ikut memproduksi alat musik tradisional tersebut.
Selain melestarikan seni dan budaya lokal, pembuatan alat musik ini ikut menumbuhkan ekonomi baru bagi warga setempat, dengan menjajakan hasil kerajinan tangannya. Beberapa buatan warga juga telah merambah pasar melalui pameran.
Meski belum mematok harga untuk satu unit alat musik, namun harga jualnya juga terbilang tidak murah, yakni hingga Rp350 ribu per satuannya. Karena itu, hampir setiap anak muda memiliki alat musik khas Bugis – Makassar itu.
Sunardi menyebut bahwa hal itu menjadi salah satu wujud kesiapan masyarakat dalam menyiapkan Kampung Massaleong menjadi kampung budaya.
Menurut guru di SMPN 13 Bontoa itu, saat ini tinggal beberapa orang yang bisa memainkan alat musik mirip gitar itu. Sekarang pihaknya membuat grup yang mengajarkan anak-anak memainkan alat musik, dengan jadwal dua kali seminggu untuk latihan.
baca juga : Meramu Kuliner Khas di Ekowisata Karst Rammang-Rammang
Salah satu warga lokal yang masih paham terkait penggunaan dan pembuatan alat musik tradisional ini adalah Haji Ali, perantau yang telah berusia sekitar 65 tahun.
Haji Ali yang lama hidup di rantau kini kembali ke kampung kelahirannya Massaleong dan baru menetap sejak dua tahun terakhir.
Ia mengakui semangat anak-anak muda di kampungnya menjadi pijar baru pada fase hidupnya yang mengingatkan kembali saat ia masih muda dan menggandrungi seni musik tradisional.
“Kami kembali semangat dan tentu terhibur sejak ada kegiatan latihan menggunakan alat kecapi, kami merasa kembali muda dan sangat menyenangkan,” ujarnya.
Potensi
Selain mengembangkan seni dan budaya sebagai warisan pendahulu warga Kampung Massaleong, juga terdapat sejumlah potensi yang bisa dikembangkan di kampung itu.
Masyarakat setempat tengah mengembangkan umbi gadung atau ubi hutan (Dioscorea hipsida dennst) hutan bernama “sikapa” yang diketahui beracun, namun kaya dengan kandungan obat.
Konon, umbi ini pernah menjadi makanan utama masyarakat terdahulu karena khasiatnya yang dapat menjadi penawar atau obat untuk beberapa jenis penyakit, salah satunya penyakit diabetes.
Namun pada perkembangannya, ubi sikapa kini jarang dikonsumsi karena proses pengolahannya juga harus serba hati-hati agar tidak beracun.
Sementara ini, ada dosen dari Makassar yang mau meneliti dan ingin menguji coba bagaimana kandungan sikapa dan tingkat khasiatnya menjadi obat.
Potensi lain Kampung Massaleong adalah sumber mata air yang sedang dipersiapkan sebagai bendungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
baca juga : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang
Inisiasi masyarakat lokal kemudian mendapat dukungan dari sejumlah pihak, khususnya para akademisi yang ikut mendorong pengembangan potensi kampung budaya.
Politeknik Pariwisata Makassar (Poltekpar) sedang membantu pengadaan bendungan tersebut, yang jika hasilnya bagus, maka akan ikut menyuplai air untuk dusun tetangga.
Lebih dari itu, Poltekpar juga tengah membangun fasilitas ibadah berupa mushalla untuk warga Kampung Massaleong.
Pada perkembangan persiapan Kampung Massaloeng untuk menopang pariwisata Rammang-rammang, masyarakat bersama pemerintah desa telah mempersiapkan rute perjalanan di areal setapak dalam kawasan kampung.
Perencanaannya tahun ini, walaupun kepala desa sebagai penggagas sudah meninggal, tetapi Sunardi dan kawan-kawan tetap mengusahakan hal itu terwujud. Apalagi ada sumber mata air yang airnya bisa langsung diminum.
Dukungan pemerintah
Bupati Maros Chaidir Syam mengatakan sangat mendukung pembentukan Kampung Budaya Massaleong. Hal itu diwujudkan dengan memanggil para budayawan Maros untuk ikut meningkatkan pariwisata Rammang-rammang lewat kampung budaya.
Bupati sudah memanggil budayawan di Maros untuk ikut membahas dan merencanakan pengembangan kampung itu. Rammang-rammang adalah daerah kunjungan wisata bukan hanya didatangi untuk melihat keindahan, tapi juga menikmati seni budaya.
baca juga : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri
Pengembangan Kampung Massaleong diakui Chaidir telah menjadi rencana strategis ke depan dalam meningkatkan pariwisata karst Maros.
Maka dari itu, perbaikan sarana dan prasarana Kampung Massaleong menjadi perhatian utama Pemkab Maros tanpa mengubah apalagi merusak keadaan alam dan lingkungan.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) juga menjadi senjata utama pemerintah untuk mengedukasi masyarakat untuk menjaga lingkungannya dan meningkatkan kesadaran pengunjung agar tidak melakukan aktivitas merusak alam.
Sementara Sekretaris Desa Salenrang Sumantri mengatakan pemasukan menjadi kebutuhan utama dalam mengembangkan wisata karst tersebut guna menunjang keberlangsungan wisata dan pendapatan masyarakat lokal.
“Kita butuh pendapatan, artinya meskipun pengunjung berkurang, tetapi durasi tinggal di sini semakin lama, maka kami masih bisa bertahan,” kata Sumantri.
Guna mencapai tujuan tersebut, inisiasi kampung budaya disiapkan untuk menyajikan pertunjukan seni dan budaya, berupa festival oleh masyarakat Rammang-rammang.
Pemerintah desa mendukung lewat rencana pembentukan dan pendanaan sanggar yang ditargetkan telah ada pada 2023 dan akan dikelola oleh lembaga adat setempat.
Pertunjukan yang akan dipertontonkan didesain untuk menarik perhatian pengunjung agar betah tinggal lebih lama di Rammang-rammang.
***
*Nur Suhra Wardyah, jurnalis LKBN ANTARA Sulawesi Selatan. Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung oleh Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id