Salurkan donasi Anda untuk korban banjir bandang wilayah Jatinangor melalui Unpad Peduli Sesama, no rek BNI 9881957133000018 Donasi korban banjir bandang wilayah Jatinangor yang terkumpul s.d. tanggal 26 Desember 2022 pukul 16:00 WIB sebesar Rp26.767.808
[Kanal Media Unpad] Orang Sunda sejak zaman dahulu sudah banyak menggunakan berbagai macam teknologi tradisional yang dikembangkan dari hal-hal di sekelilingnya. Teknologi ini mendorong orang Sunda tetap bertahan dan eksis menjadi salah satu kebudayaan di Indonesia.
“Ada ketahanan diri dan masyarakat Sunda yang membuat bertahan. Salah satunya menguasai teknologi yang ada di sekelilingnya,” ungkap penulis dan pendiri Rumah Baca Buku Sunda (RBSS) Mamat Sasmita saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Teknologi Tradisional Urang Sunda” yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, Rabu (30/3/2022) lalu.
Sasmita menjelaskan, teknologi tradisional tersebut terdiri dari berbagai alat ataupun keterampilan yang dikembangkan dari bahan-bahan yang ada di sekeliling masyarakat Sunda. Suatu alat atau keterampilan akan menjadi teknologi apabila sudah digunakan masyarakat dalam jumlah banyak dan menjadi kebiasaan yang turun temurun dilakukan.
Salah satu teknologi yang dijelaskan adalah kemampuan menyalakan api. Kendati saat ini menjadi kebutuhan sehari-hari yang mudah dinyalakan, api berperan penting dalam peradaban masyarakat Sunda pada zaman lampau. Tidak heran jika orang Sunda memiliki ilmu untuk menyalakan api.
Hal ini terlihat dari berbagai temuan artefak dari peninggalan masyarakat prasejarah di beberapa wilayah di Jawa Barat. Bahkan, istilah-istilah mengenai teknik menyalakan api juga terlihat dari beberapa cerita rakyat Sunda.
Pada “Kamus Umum Basa Sunda” yang diterbitkan Lembaga Basa Sunda jeng Sastra (LBSS) ditemukan kata “miruha” yang berarti aktivitas menggosokkan dua bilah kayu hingga panas kemudian ditaburi kawul/rabuk untuk memantikkan api. Hal ini menandakan, miruha menjadi ilmu yang digunakan masyarakat Sunda lampau untuk menyalakan api.
Sasmita mengatakan, walaupun ilmu ini kerap ditemukan di wilayah lainnya, bahasa Sunda ternyata memiliki kata khusus untuk menyebutnya.
“Kita tidak tahu apakah bahasa Indonesia ada kata juga untuk mewakilkan aktivitas itu. Kalau tidak ada, ini bisa diusulkan untuk masuk ke KBBI,” kata Sasmita.
Selain kemampuan menyalakan api, teknologi lain yang dijelaskan Sasmita adalah kemampuan mengolah logam. Dalam catatan sejarah Thomas Stamford Raffles (1817), disebutkan bahwa penduduk di Pulau Jawa sudah dapat memanfaatkan besi untuk keperluan membuat bermacam perabot pertanian, senjata tajam, hingga perabotan lainnya.
Pada kebudayaan Sunda, aktivitas pengolahan logam disebutkan dalam naskah kuno, salah satunya Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Dalam naskah tersebut disebutkan berbagai senjata atau perkakas yang dibuat dari bahan logam, seperti golok, keris, kala katri, hingga péso teundeut.
Kemampuan mengolah besi didukung dengan sumber daya alam yang dimiliki tanah Sunda. Di pesisir pantai Selatan Jawa Barat mengandung bijih besi yang menjadi bahan baku dalam pengolahan logam. Potensi ini kemudian diolah oleh masyarakat Sunda lampau menjadi perkakas ataupun senjata berbahan logam.
Meski sampai saat ini belum ada penelitian yang mengungkap bagaimana orang Sunda bisa mengolah bijih besi, Sasmita menemukannya dalam sejumlah cerita pantun Sunda. “Cerita pantun ini tentu menjadi gambaran kemampuan orang Sunda.Tetapi ini perlu diteliti lebih lanjut,” kata Sasmita.*