Danau Sorowako, Luwu © Ardyanto Patandung/Shutterstock
Sepanjang sejarahnya, Luwu tak pernah terpisahkan dari logam. Kerajaan Majapahit mengenal sebagai penghasil besi berkualitas tinggi untuk produksi peralatan perang. Kini, daerah di ujung Sulawesi Selatan itu masyhur bergelimang nikel.
Besi dari Luwu diimpor Majapahit untuk membuat keris-kerisnya berpamor. Nama Luwu sampai tiga kali disebutkan dalam Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang bertahun 1365.
“Pamor Luwu kesohor di kalangan pecinta keris hingga sekarang,” M Final Daeng dan Nasrullah Nara dalam Luwu: Dari Pamor Besi ke Kilau Nikel.
Jejak purba produksi besi Luwu kini masih bisa dilihat di Desa Matano, Luwu Timur. Di sepanjang tepi danau terdalam di Indonesia itulah aktivitas peleburan besi berlangsung berabad-abad.
Kerak-kerak besi bisa ditemui dengan mudah di sepanjang jalan tanah Desa Matano. Di salah satu tempat, timbunan kerak besi sisa peleburan bahkan mencapai ketebalan 1 meter ke dalam tanah.
“Dari cerita orang tua, dulu terdapat 99 tempat pandai besi di desa ini,” ujar Mahading, tokoh masyarakat Desa Matano.
Pada masa lalu, warga menambang besi dalam wujud batu dari perbukitan sekitar desa. Batuan yang mengandung besi itu lalu dilebur dan hasilnya ditempa menjadi badik, parang, atau kelewang.
Dari Matano, besi diangkut melalui sungai ke Ussu dan Cerekang, ibu kota awal Kerajaan Luwu yang terletak di pesisir Teluk Bone. Kedua lokasi itu kini masuk wilayah Kecamatan Malili, ibu kota Luwu Timur.
Arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri mengatakan di Usu dan Cerekang besi dan produk jadinya diperdagangkan ke luar Luwu, termasuk Majapahit. Orang pun lalu mengenal nama “besi Ussu” sebagai besi berkualitas tinggi pembuatan keris.
“Pada masa itu, besi merupakan komoditas ekspor utama Luwu selain damar. Kebudayaan Luwu tak pernah mengenal pertanian hingga abad XX,” ujarnya.
Iwan mengatakan, keistimewaan besi Luwu dibandingkan besi lain, yakni titik lelehnya rendah, tetapi kuat dan ringan. Hal ini diduga karena biji besi Luwu juga mengandung nikel, bahan tambang yang baru terungkap keberadaanya oleh peneliti Belanda pada 1901.
Di sisi lain, penelitian Origin of Complex Society in South Sulawesi (OXIS) yang dilakukan David Bulbeck dan Ian Caldwell (2000) mengungkapkan karakteristik unggul besi luwu karena pengaruh kandungan kromium ketimbang nikel.
Iwan menjelaskan dari kekayaan mineral itulah peradaban Luwu digerakkan dan kemakmuran diperoleh. Penduduk menambang biji besi lalu meleburnya menjadi bahan baku pembuatan keris, badik, kelewang (pedang) dan tombak.
“Bahan baku besi ataupun produk persenjataan itu lalu diperdagangkan ke dunia luar,” tegasnya.
Tetapi kini ketika mengunjungi Ussu tak lagi ditemui kejayaan besi itu. Begitu juga di Matano, tak ada lagi warga yang melanjutkan keterampilan pandai besi. Pemberontakan DI/TII pada dekade 1950-1960 memporakporandakan segala sendi kehidupan.
Seluruh warga desa mengungsi ke hutan selama 11 tahun. Ketika situasi telah pulih dan warga kembali menghuni desa pada 1969, aktivitas pandai besi telah terlanjur surut dan kemudian mati.
“Warga sekarang hidup dari berkebun dan bertani,” kata Mahading.
Tetapi kini setelah pamor besi surut, nika muncul berkilau. Perusahaan multinasional Vale memiliki konsesi penambangan nikel di Sorowako dan sekitarnya seluas 118.386 hektare. Vale menambang dan mengolah bijih nikel menjadi bahan setengah jadi.
Produksi rata-rata mencapai 75.000 metrik ton per tahun dengan perkiraan deposit pada 2010 mencapai 75,4 juta metrik ton. Keberadaan nikel membawa manfaat ekonomi bagi warga Luwu.
Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.
Daftar komentar untuk artikel “Kegemilangan Luwu: Dari Pamor Besi Berkualitas hingga Kilau Nikel”
Terima kasih telah membaca sampai di sini
Terima kasih telah melaporkan penyalahgunaan yang melanggar aturan atau cara penulisan di GNFI. Kami terus berusaha menjadikan GNFI tetap bersih dari konten yang tidak sepatutnya ada di sini.
Sedang mengambil data