Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan pihaknya bekerja sama dengan sejumlah kementerian untuk mengembangkan kawasan food estate di Kalimantan Tengah demi ketahanan pangan.
Namun, Masyarakat Sipil menyebut itu cuma dalih demi program cetak sawah yang akan merusak lahan gambut dan memicu kerugian negara.
Trenggono menyebut pihaknya bekerja sama dengan Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, serta Kementerian BUMN untuk mengembangkan kawasan food estate yang rencananya akan mulai dibangun di Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini, kata dia, dilakukan agar Indonesia memiliki lahan tetap guna mempersiapkan kekuatan pangan tersebut.
“Kita harus punya cadangan pangan dan punya lahan tetap untuk tanaman pangan yang akan dikembangkan. Jadi lahan tersebut tidak boleh berubah fungsi,” kata dia, dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (24/6).
Menurutnya, ketahanan pangan tak kalah penting dengan kekuatan senjata apalagi di masa pandemi Covid-19 ini.
“Belajar dari sejarah perang, kalau kita miliki senjata tanpa kekuatan cadangan pangan akan kocar-kacir juga,” kata Trenggono.
Lebih lanjut, Trenggono juga memaparkan ada tiga tanaman pangan utama yang perlu dikembangkan untuk ketahanan pangan nasional yakni padi, jagung, dan singkong.
Pada Selasa (23/6), Kementerian Pertahanan melakukan pembahasan tentang Pengelolaan Kawasan Kawasan Eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Provinsi Kalimantan Tengah, di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Masyarakat Sipil, yang merupakan koalisi sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menilai dalih pemenuhan pangan lewat program food estate di Kalimantan Tengah hanya “janji kosong” yang berpotensi besar merusak lahan gambut dan memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek pencetakan sawah di Kalimantan Tengah,” ujar koalisi dalam siaran pers yang dikutip dari situs ELSAM.
Menurut mereka, proyek food estate yang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) ini bakal digelar di lahan bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare era Orde Baru. Program ini, katanya, minim transparansi dan partisipasi masyarakat.
“Kami meminta pemerintah untuk tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membangun malapetaka yang baru. Pemerintah harus berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut,” kata Masyarakat Sipil.
Diketahui, Presiden kedua RI Soeharto meluncurkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuannya, menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektare lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.
Namun, Proyek itu gagal total. Transmigran di kawasan gambut tersebut meninggalkan lokasi. Sementara, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam akibat proyek tersebut.
Masyarakat Sipil pun menyebut proyek food estate ini mesti ditolak karena, pertama, menambah kerugian negara. Sebab, sejarah memperlihatkan bahwa program semacam ini hanya menghabiskan dana dengan hasil proyek yang nihil.
“Fakta menunjukkan, bahwa hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari anggaran pemeritah dengan melibatkan perusahaan terus mengalami kegagalan dan dibarengi dengan isu korupsi,” menurut koalisi.
Kedua, merusak lingkungan. Pasalnya, proyek di gambut rentan memicu kebakaran dan mengikis keanekaragaman hayati dan habitatnya.
Ketiga, memicu ketimpangan kepemilikan dan konflik lahan. Program lama menunjukkan bahwa perkebunan sawit jadi penguasa lahan dan tanah adat terampas.
“Seharusnya pemerintah mengembalikan urusan pangan kepada petani, dan berikan hak atas tanah,” tandas Masyarakat Sipil.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT